Pendidikan Karakter

Keprihatinan semua pihak terhadap perubahan prilaku kearah yang tidak diinginkan menjadi ide Aceh TV dalam acara rutin “Keberni Gayo”,  Jum’at  (30/09) malam pukul 20.00 sampai dengan 21.00 Wib dengan mengambil tema “Pendidikan Karakter”. Narasumber yang berbicara tentang hal tersebut adalah Johansyah, MA dan Hayati, M.Ag, keduanya adalah Mahasiswa Program Doktor pada Pascasarjana IAIN Ar-Raniry disamping juga sebagai guru dan dosen.

Keduanya memulai paparan dengan memaknai pendidikan yang tidak hanya sebatas pemberian materi pelajaran di dalam ruang kelas,  tetapi juga cerminan materi tersebut dalam prilaku keseharian anak didik. Kendati masih banyak orang memahami bahwa pendidikan itu hanya ada dalam kelas, sehingga ungkapan “pelang sekolah” merupakan kebebasan dari semua tanggung jawab tercermin dari semua pihak. Orang tua tidak pernah menanyakan tentang apa yang terjadi di sekolah, prilaku anak-anak seolah tidak pernah diajar disekolah, sampai keesokan harinya sekolah kembali dan berlangsung secara terus menerus.

Sebenarnya istilah pendidikan karakter bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan, dahulu kita mengenal mata pelajaran aqidah akhlaq, kemudian berganti dengan budi pekerti dan sekarang ini berganti lagi menjadi karakter. Kesemuanya bertujuan sama yaitu menjadikan peserta didik memiliki prilaku yang baik kepada Tuhan, orang tua, diri dan keluarga serta bangsanya, hanyasaja harapan ini belum tercapai.

Ketidak tercapaian ini disebabkan oleh banyak hal : diantaranya anak didik tidak mempunyai panutan atau contoh, siapa yang akan dijadikan uswah hasanah. Di sisi lain kita ingin menjadikan tenaga pengajar sebagai contoh, tetapi dengan peraturan yang terlalu membebani guru, menjadikan guru hanya mengejar target kwantitas bukan kualitas, mereka harus mengajar dari pagi sampai sore untuk mengejar beban sertifikasi.

Seharusnya guru tidak hanya memberi materi di kelas, tetapi juga mengadakan pengawasan terhadap tingkal laku anak didik, mengadakan peneltian apakah materi yang diajarkan mempunyai efek kepada peserta didik, tapi kalau kita bertanya, apakah ada guru yang seperti itu ?

Dalam ilmu pendidikan guru adalah orang tua kedua, dimana ketika orang tuanya tidak ada di sisinya, gurulah yang membimbingnya. Juga ketika tidak ada guru di sisi anak, maka orang tualah yang bertanggung jawab terhadap pembelajaran anak, sehingga tidak ada waktu yang luang dalam kehidupan anak dari pendidikan. Malah realita dalam masyarakat terbalik, orang tua menganggap guru bukan sebagai mitra dalam proses pendidikan tetapi sebagai lawan, keikhlasan guru dalam menghukum dianggap sebagai pelanggaran HAM dan akhirnya guru harus dipengadilankan.

Sekolah tidak mengizinkan anak untuk memakai HP camera, orang tua membelinya. Peraturan pemerintah melarang anak yang masih di bawa umur untuk mengenderai motor/honda tetapi sekolah atau orang tua di rumah membeli dan memberi izin. Pemerintah membuat himbauan untuk mengaji (membaca Al-Qur’an) setelah maghrib, orang tua membuka TV dan menonton bersama anaknya. Itu bentuk keterputusan antara sekolah, keluarga dan pemerintah dalam pendidikan.

Kalau kita melihat kebelakang bagaimana aturan pendidikan yang diajarkan, bahwa pembentukan karakter sudak dimulai sejak anak dalam kandungan. Nara sumber berharap kepada semua pemirsa untuk berkelakuan baik kepada ibu yang sedang mengandung, tidak membuatnya suka marah, memakan makanan yang halal dan baik, membaca Al-Qur’an, dan berusaha selalu senang dan gembira. Karena itu akan berpengaruh kepada jabang bayi yang dikandung.

Sejak bayi lahir sampai berumur 5 tahun, si anak belajar mengenal bahasa, ajar mereka bertutur kata lembut, sopan dan bahasa yang baik. Jangan mereka diajar dengan yang tidak baik “binatang, anak anjing, monyet dan lain-lain”. Selanjutnya umur 6 tahun mereka sudah mulai bergaul dengan orang di luar rumah, tidak boleh mengajar mereka menjadi pelit “kue ini jangan kasih untuk kawan”, tetapi kita harus tanya bagaimana kawan-kawannya, siapa saja nama kawan, apa yang diajarkan di sekolah, siapa nama gurunya, dan lain-lain.

Masa sekolah SMP/MTs pengawasan dari orang tua harus lebih ketat, karena masa ini adalah masa pubertas, beri pasiltas untuk anak pada usia ini sesuai kebutuhan mereka, control waktu berangkat dan pulang sekolah, orang tua harus tahu dimana anaknya berada pada setiap saatnya, beritahu mereka akibat dari perbuatan tidak baik.

Usia SMA adalah usia anak dimana anak memiliki ego yang tinggi, dia menganggap dirinya sudah besar, lebih hebat dari orang lain. Karena itu beban orang tua menjadi lebih berat, beri gambaran masa depan kepada mereka dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai masa depan tersebut.

Kita masih teringat bagaimana pembinaan karakter anak dalam budaya Gayo, pada waktu tertentu (biasanya makan malam) harus makan bersama, dan waktu ini biasa dijadikan sebagai evaluasi terhadap apa yang dikerjakan selama seharian. Seorang kakak melapor apa tingkah laku adiknya yang tidak ia senangi, si adik mengatakan bagaimana perlakuan kakak kepada dia, kemana saja abangnya seharian. Di sini semua permasalahan terpecahkan dan tidak ada kebuntuan.

Anak-anak dilarang mendengar percakapan orang tua – kebiasaan orang Gayo bertamu pada waktu-waktu tertentu sambil minum kopi bahkan makan –, orang tua langsung mengatakan : pergi main-main atau belajar. Semua orang tua kampong dalam adat Gayo jadi panutan, semua orang berkewajiban melarang anak-anak yang berbuat tidak baik, semua anak berhak dimarahi oleh semua orang tua yang ada di kampong. Itulah pendidikan karakter dalam masyarakat kita. (Drs. Jamhuri, MA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.