Ekonomi keluarga telah memupuskan harapan Muis (22) untuk mengenakan seragam polisi. Apa yang di cita-citakan harus di simpan dalam-dalam karena keinginan berseragam cokelat tua lengkap dengan bedil di pinggang tidak mampu diraih karena keluarga tergolong kelas bawah yang tidak dapat berbuat banyak atas harapan Muis.
Namun itulah Muis, ibarat pepatah dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Itulah mungkin yang Muis sugestikan kepada dirinya, hingga ia memilih menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) daripada diam menerima nasip karena cita-cita itu tak tercapai ditengah teman-temannya yang mungkin sudah menjadi polisi, Tentara dan Pegawai negeri atau jabatan lainnya.
Pemuda kelahiran Kampung Rata Ara, Pintu Rime Gayo Bener Meriah 30 Agustus 1989 lalu ini bekerja di Saitama, Jepang. Kota yang didirikan pada 1 Mei 2001 dan ditetapkan sebagai “kota besar” di Jepang pada 1 April 2003. Muis menjadi operator perusahaan pabrik plastik bernama Maruchu untuk mencetak dan membentuk plastik menjadi tangki minyak perahu boat, tangki minyak mesin semprot rumput dan tangki minyak mesin tebas. Perlengkapan tersebut pasti sudah mendunia dan menjadi kebutuhan masyarakat banyak, karena kita semua tahu dan sepakat, bahwa tekhnologi asia pastilah jepang rajanya.
Dalam fikiran Muis, pastilah ia tidak pernah memikirkan sejauh ini. Dimana ia bertugas memasukkan Genrio (sejenis bahan pembuatan plastik) ke dalam mesin yang bersuhu 150-200ºC. Dua menit kemudian ia bersama teman-temannya di pabrik tersebut harus sudah mencetak jadi bahan plastik itu menjadi plastik, aktivitas ini berlangsung selama 10 menit. Dalam sehari ratusan tangki dan berbagai jenis plastik mereka produksi. Ya, begitulah aktivitasnya setiap hari kecuali ahad. Semua ini demi membantu ekonomi orang tuanya di Kampung Rata Ara Bener Meriah yang hanya petani kopi.
Anak pasangan Abdul Jalil dan Anisah ini merupakan Alumnus Sekolah Tekhnik Menengah (STM/sekarang SMK 2 Takengon) Pegasing jurusan Mesin pada tahun 2010 ini pastilah pemuda yang memiliki motivasi kuat untuk berani mengambil keputusan bekerja di negeri sakura itu. Mengapa tidak, ia sudah dua tahun ia melakoni pekerjaan yang memerlukan energi ekstra ini dan selama dua tahun pula ia tidak pernah kembali melihat tanah kelahirannya.
Melalui keakraban dunia maya, lewat situs jejaring sosial kepada penulis ia bercerita apa yang ia lakukan dari awal seleksi setelah tiga tahun mengecap pendidikan di STM pegasing. Berkat informasi mengenai peluang kerja yang di buka oleh Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) Aceh Tengah untuk menjadi TKI dari saudaranya, ia memberanikan untuk mendaftar ke Instansi tersebut. Namun Muis terlebih dahulu mesti mengenal dan mengasah bahasa jepang agar dapat dikirim ke negara yang pernah di bom oleh belanda yang kita kenal sebagai bom Herosima tu.
Syukurlah Muis berkesempatan mendaftar ke lembaga pelatihan bahasa jepang yang bernama Megumi di Lhokseumawe untuk mengikuti kursus bahasa jepang dan mulai mengikuti pelatihan tersebut sejak 1 Desember 2009 hingga Januari 2010 hingga akhirnya selesai.
Berbekal semangat dan tekad yang kuat, selama dua bulan kursus di kota yang pernah berjuluk Kota Petro dolar itu, Muis melanjutkan tahap seleksi demi seleksi, karena keinginannya merantau kenegeri seberang haruslah melalui persiapan yang matang, ia mengikuti seleksi Test Matematika, Menulis huruf jepang dan kata kerja dalam bahasa jepang serta tak luput mengkuti test fisi pada bulan Mei 2010. Test fisik yang ia lakukan bersama para calon TKI lainnya bukanlah muda, dimana ia mesti mampu melakukan Push Up 35 kali, Sit Up 25 kali dan lari 3 KM selama 15 Menit.
Tak cukup disitu saja, Muis melakukan Medical Check Up dan wawancara langsung dengan orang jepang demi mengejar harapan barunya menjadi TKI. Berkat upaya yang dilakukannya, ia dapat melihat namanya langsung terpampang di papan pengumuman dimana Muis melihat langsung di dinding papan kantor Depnaker yang pada saat itu ia saksikan di Jalan Lembaga Takengon. Berbeda dengan teman-temannya yang menunggu informasi kelulusan melalui Handphone, ia langsung datang dari Bener Meriah dengan “kuda jepang” yang ia tunggangi.
bekerja 8 Jam sehari dengan estimasi ia bekerja pukul 8.30 hingga pukul 17.15 waktu Jepang ditambah waktu lembur yang dia ambil selama 2 jam setelah itu. Berbeda seperti yang kita lihat dinegeri ini, betapa banyak pemuda seumur Muis yang duduk santai berhura-hura atau bahkan memakai narkoba dan membuang waktu percuma atau bahkan masih menadahkan tangan keorang tuanya, tapi tidak begitu dengan seorang Muis. Ia bersama teman-temannya mengayuh sepeda 10 menit setiap pagi dari asrama nya menuju tempat ia bekerja. Tentu ia tak sendiri, dua orang temannya asal Kabupaten Bener Meriah dan seorang dari Kutacane Aceh Tenggara juga Satu orang dari Aceh Tengah. Mereka berlima tak pernah berfikir bisa bergabung menjadi “pong wan ranto” yang bernasip sama.
Untuk makanan yang berlabel halal, sangat sulit untuk di peroleh di negeri. Bagi TKI muslim di jepang harus membelinya ke Tokyo, ibu kota negara tersebut. untuk memperoleh makanan halal itu mereka harus rela menempuh perjalanan ke Tokyo selama satu jam menggunakan kereta api. Karena memang penduduk yang di nominasi kepercayaan shinto tersebut tidak menyiapkan perusahaan atau makanan halal kecuali pada tempat-tempat tertentu. Jarak tempuh antara Saitama dan Tokyo persis jarak tempuh Takengon menuju Aceh Tenggara.Sedangkan perjalanan dari asrama ke lokasi mereka bekerja ia bersama lima teman nya menggunakan sepeda selama 10 menit menuju perusahaan plastik Maruchu tersebut untuk melakukan sesuatu bagi hidup dan masa depan mereka.
Begitulah cerita inspiratif yang harus menjadi motivasi dan renungan kita bersama, diantara sekian banyak pemuda yang menghabiskan waktunya untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Lain dengan Muis, berpacu waktu dan usia ia harus terus berusaha memberikan sesuatu untuk keluarga yang ia cintai, dari pada menambah angka pengangguran dinegeri ini. (bersambung). (Iwan Bahagia SP)