Siapa yang tidak mengenal tari SAMAN. Keistimewaan, keunikan, sinergisitas gerakan, gemulainya tarikan nafas, menjadikan SAMAN sebagai salah satu seni tari Bangsa Indonesia yang diandalkan dalam berbagai ajang di level internasional. Siapapun yang menyaksikan SAMAN, akan berdecak kagum dan tidak akan meninggalkan setiap inci gerakan didalamnya.
Saat ini, SAMAN bukan hanya sebagai pengenal Aceh, akan tetapi juga sebagai identitas Bangsa Indonesia di tingkat internasional dalam bidang seni tari. Dan, tidak mengherankan, bila banyak sekolah di Indonesia, menjadikan SAMAN sebagai salah satu ekstra kulikuler.
Kehadiran SAMAN, semakin memperlengkap akan kayanya khasanah budaya dan adapt-istiadat bangsa ini.
Namun, entah mengapa, keindahan SAMAN pun mulai “terbakar” jika tak elok dikatakan “dibakar”. Akhirnya, masalah lama pun kembali terusik.
Permasalahan:
1. Hal ini dimulai dari sebuah perhelatan akbar, Rekor Muri untuk 3000 penari SAMAN. Sebenarnya, tidak ada yang salah dari rekor Muri tersebut, dan tidak ada yang salah juga dengan pemberitaan yang diadakan oleh Kodam Iskandar Muda tersebut.
Saya berkeyakinan, Rekor Muri tersebut pun tidak ada kepentingan apapun, selain membawa nama Aceh dan memperkuat Aceh sebagai salah satu daerah kunjungan wisata dengan memperkenalkan seni budaya yang ada di Aceh. Terutama dalam menyongsong Visit Aceh 2011.
Semuanya masih berjalan normal hingga disini.
2. Sore harinya, berbagai pendapat pun bermunculan diberbagai milis dan media sosial. Diskusi itu pun, tentung mengundang banyak pembaca untuk berkomentar.
Ini pendapat beberapa teman dari tanah Gayo. Diantaranya, Aceh sendiri mencaplok tari SAMAN ini dari Gayo, suku minoritas yang terpinggirkan baik secara budaya maupun politik di daerah ini.
Mereka juga menklaim, pada sebuah acara, bagaimana tari SAMAN yang ditampilkan dalam pementasan itu tidak ditarikan dalam bahasa Gayo, semua penari berpakaian adat Aceh, bahkan kita tidak melihat satu pun penari yang memakai pakaian adat Gayo. Lebih fatal lagi tidak sedikit dari penari ini adalah perempuan.
Memang benar, tari saman dimainkan oleh kaum laki-laki (seharusnya).
Sejujurnya, saya tidak ingin membahasnya. Tapi, sesuatu dalam hati tetap berkata, TULIS!
Oke, sebenarnya hanya 2 (dua) poin diatas permasalahannya. Tapi saya menambahkan 1 lagi permasalahannya.
Yang ke 3.
Ini kutipan dari salah satu media di Aceh.
Pemerintah Aceh telah mendaftarkan tari Saman sebagai tari dunia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak setahun lalu. Saat ini proses pendaftaran tari yang mendapat nomor seri 00001 tersebut hanya tinggal menunggu surat penetapan saja dari Unesco, badan resmi PBB untuk urusan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Jika sudah mendapatkan ketetapan, maka Saman akan menjadi satu-satunya tari daerah di Indonesia yang memperoleh pengabsahan (legalitas) dari PBB sebagai tari rakyat yang menjadi milik sekaligus warisan dunia. Hal ini diinformasikan Wakil Gubernur (Wagub) Aceh, Muhammad Nazar.
Mudah-mudahan surat penetapan dari PBB untuk tari Saman disahkan menjadi tari rakyat yang mendunia bisa segera diperoleh Pemerintah Aceh. Untuk Indonesia, Aceh yang pertama mendaftarkan tari rakyatnya ke PBB, Bali saja belum melakukan langkah perlindungan sekaligus promosi kebudayaan ini,” kata Nazar.
Secara pribadi, saya tidak ingin masalah ini berlarut-larut dan “membuka” lubang antar suku yang ada di Aceh. Karena, sebagaimana daerah-daerah di Indonesia, Aceh juga dihuni oleh banyak suku.
Semua ini berkaitan sejarah. Sebagaimana dalam tulisan teman saya, Aulia. Karena itu, memang perlu diluruskan agar tidak terjadi “masalah” dikemudian hari. Apalagi, dengan adanya niatan Pemerintah Aceh untuk mendaftarkan SAMAN ke Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tentu harus diluruskan secepatnya. Karena, jika sudah keluar pengesahan dari PBB, masalah akan semakin ribet.
Sebenarnya, setiap masalah itu, memang harus “dipertemukan” antara person atau golongan yang menolak dengan orang-orang yang berkompeten, yaitu Pemerintah (Aceh). Jangan diperlambat, dan jangan main “belakang”. Berterusterang apa yang di “protes” tersebut. Karena, jika tidak, akan sangat berbahaya. Karena, biasanya, “konflik-konflik” kecil dan terkesan sepele, sering menjadi besar saat “angin” datang berhembus.
Konflik-konflik seperti ini, seharusnya bisa diminimalisir, tentu dengan mensegerakan “pertemuan” yang saya ungkapkan diatas tadi. Jika tidak, selama ini, terlalu sering “konflik” seperti ini berakhir dengan penderitaan. Bagi siapa? tentunya bagi masyarakat kita sendiri, masyarakat Aceh.
Mudah-mudahan, dengan “SAMAN”, Aceh semakin kuat dan kokoh. Sebagaimana pesan-pesan yang selalu dinyanyikan dalam setiap hentakan gerakan SAMAN. AMin.
Cat : Perdebatan itu tidak akan selesai jika tanpa dicari solusi. Perdebatan tidak akan habis jika masing-masing saling membenarkan diri sendiri.
Sumber : http://marthaandival.wordpress.com
Saudara Martha..
Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan jasmani dan rohani.
Setelah membaca tulisan anda disini, secara pribadi saya sepakat pada inti-inti tulisan anda. Sebenarnya saya juga berpikir tentang “polemik klaim Saman ” tidak harus menjadi pembahasan penting, tetapi karena ini menyangkut Indentitas saya sebagai “Urang Gayo”, akhirnya saya memutuskan untuk ikut menulis.
Tari Saman bukanlah tarian yang bersipat ekslusif, artinya siapa saja dapat belajar atau memainkan tari Saman, karena Tari Saman dipersembahkan para indatu bukan hanya untuk Aceh, melainkan Tari Saman untuk dunia. Tari Saman pernah ditampilkan dalam acara pembukaan Olympiade di Beijing-Cina, sebagaimana Martha sebutkan bahwa Tari Saman bukan hanya sebagai pengenal Aceh, akan tetapi juga sebagai identitas Bangsa Indonesia di tingkat internasional dalam bidang seni tari. Tetapi Bangsa Indonesia tau diri, bahwa Tari Saman ditampilkan dengan indentitas Gayo, karena memang Tari Saman merupakan salahsatu kesenian yang lahir dari kebudayaan suku bangsa Gayo. Ketika ACEH menampilkan Tari Saman keluar dari patronnya (dasar penciptaan Tari Saman), maka hal itu sudah melanggar etika dan norma-norma seni kebudayaan Gayo, sehingga wajar-wajar menimbulkan berbagai protes dari pemerhati dan pegiat seni dari Suku Bangsa Gayo. Akan tetapi saudara Martha, didalam tulisan anda yang saya kutip : “Berterusterang apa yang di “protes” tersebut. Karena, jika tidak, akan sangat berbahaya. Karena, biasanya, “konflik-konflik” kecil dan terkesan sepele, sering menjadi besar saat “angin” datang berhembus “. ini merupakan hal yang kurang wajar, artinya jangan persoalan Tari Saman terkesan digiring memicu konflik antara Aceh dan Gayo. Tetapi saya sependapat kalau persoalan Tari Saman harus diluruskan oleh Pemerintah Aceh. Demikian saya pikir yang dapat saya komentari, saya berharap kita semua dapat berpikir positif. Terima kasih. (Oya..salam dari temanmu Ados dari Takengon)