Kisah WNI Putra Gayo di Jepang (Bagian II/Habis)

Mengenakan Jas, Berdasi , Tak gengsi bersepeda

Jika para petani kita sebagian besar masih melakukan pola bertani tradisional dan turun temurun, mulai dari menanam hingga memanen. Tetapi tidak begitu di jepang. Muis melihat  para petani di negeri itu begitu gigih bertani dengan cara yang modern. Mereka menggunakan mesin pengganti manusia dalam bertani untuk memenuhi kebutuhan manusia dinegeri sakura itu.

Muis juga melihat betapa dinegeri itu menghargai uang dan waktu, dimana uang ¥1 (Baca : Yen) sangat berarti. Jika banyak orang dinegeri khatulistiwa ini membiarkan uang Rp. 1.000 terjatuh dan membiarkannya tersapu angin, tetapi orang di jepang sana mencari dan sangat merasa kehilangan jika uang ¥1 yang menurut kita tidak seberapa itu hilang atau terjatuh, pasti mereka akan  mencari uang tersebut hingga ketemu.

Begitu pula mengenai waktu, Muis menyaksikan sendiri bagaimana bentuk konsistensi manusia di sana untuk hadir tepat waktu, merasa bersalah jika datang telat di tempat mereka bekerja dan merasa bersalah jika mereka terlambat dari waktu yang telah ditentukan. Timbul pertanyaan dari benak Muis, mengapa berbeda dinegeriku?

Mungkin Muis berfikir, mestilah ia dan orang-orang dinegerinya belajar banyak mulai saat bangun tidur hingga tertidur lagi. Bukan memperbandingkan dengan mereka disana, tetapi disiplin itu sangatlah penting untuk membangun negeri yang tercinta jika semua orang disini punya cara yang sama dengan orang-orang jepang.

Yang paling Muis sayangkan adalah pemuda di daerahnya, dimana mereka hanya melakukan hal-hal ringan untuk bekerja. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang seolah menerima takdir dengan menunjukkan sikap malas untuk mencari kerja, malas untuk mengurus dirinya apalagi keluarga yang harusnya dicintai pemuda di negeri lauser antara ini. Muis membayangkan betapa konyolnya pemuda yang seperti itu masih tidak mengubah nasipnya sedikitpun. Lalu Muis bertanya kembali, bagaimana mereka harus disiplin serta menghargai waktu dan uang?

Dalam pengalamannya Ia juga pernah menyaksikan sebuah perjuangan gigih seorang manusia renta berusia setengah abad dinegeri itu. orang tua yang tidak sempurna fisiknya, tetapi Muis melihat perjuangan orang tua yang mencari sesuap nasi itu begitu mengharukan, sehingga Muis sempat meneteskan air mata saat orang tua tersebut terjatuh persis didepan matanya sendiri. Ia kembali merenungi tentang banyak manusia dinegerinya yang fisiknya sempurna tetapi masih mengharapkan uang turun dari langit dan betapa meruginya mereka. Begitulah mungkin asumsi Muis saat itu.

Ia juga membayangkan orang tuanya yang saat ini ia tinggalkan di kampung halaman memikul cangkul dan memegang sebilah parang serta dengan pakaian compang camping menuju kebun kopi yang mereka miliki dan produksinya menjadi kebanggaan tersendiri di Gayo. Muis bersyukur dan sedih, karena orang tuanya kian gigih mencari penghidupan demi keluarga sedang mereka sedang berusia lanjut.

Saat ini di Saitama Jepang daerah Muis bekerja sedang menjelang musim gugur. Kerinduannya terhadap masakan pengat dan asam jing kian membesar. Betapa tidak, di sana ia hanya mengkonsumsi nasi dicampur daging ikan mentah dengan sejumlah bumbu racikan khas jepang yang ia rasakan. Dilain hal, makanan itu halal karena langsung ia buru bersama teman-temannya dari pinggiran sungai disana, atau ia beli dari kolam atau kerambah ikan terdekat dari kediamannya. Kecuali rempah-rempah Indonesia , Muis harus satu jam menuju Tokyo untuk mendapatkannya.

Di negeri yang hanya berbeda dua jam dengan Waktu Indonesia Barat itu Muis hanya bisa melepaskan rindu terhadap gayo melalui dunia maya, paling tidak membuka video musik gayo di You Tube atau melalui akun jejaring sosial Facebook bersama teman-temannya dan melihat Page I Love Gayo di media tersebut serta membuka berita online di situs berita yang ia kehtahui.

Ada cerita lain yang membuat Muis merasa patut mengacungkan jempol terhadap orang-orang sukses disana. Karena ia menyaksikan orang-orang mengenakan jas, berdasi tetapi tidak didalam kotak besi bermesin dan berkaca serta beroda empat, tetapi mereka mengayuh sepeda dengan senyum mengembang dari bibir mereka. “Subhanallah” dalam hati Muis jika saja ia menyaksikan itu di negerinya tercinta. Kali ini Muis membayangkan orang-orang sukses di negeri kelahirannya menggenakan kacamata hitam, berdasi duduk di jok belakang mobil bermerk, atau kadang membawanya sendiri sambil menutup jendela mobil itu dengan penutup kaca otomatis saat melihat orang-orang sekitarnya yang berjalan di atas aspal, bahkan banyak berkendaran dengan mobil meski jarak tujuan hanya beberapa meter saja. Muis dan kita bisa jadi mengucap “Astagfirullah” jika melihat hal tersebut di depan mata. Yang lebih miris bagi Muis adalah orang-orang sukses dan pemimpin di negerinya berlomba-lomba memperbanyak harta benda, bahkan kedepan rumah mereka sendiri saj
a enggan menampakkan wajah, apalagi bersepeda, tentu sangatlah mustahil.

Lagi-lagi Muis belajar banyak tentang apa yang ia saksikan, yang ia rasakan dari pengalamannya dinegeri seberang. Begitu berartinya setiap yang ia saksikan itu, sehingga Muis membandingkan dengan tingkah laku orang di sana dan di sini. Wajar saja Muis demikian karena kita semua tahu dan paham akan apa yang Muis rasakan dan yang dialaminya. Maka setidaknya ilmu yang ia dapatkan telah diceritakan kepada kita, sehingga semua menjadi pelajaran berharga, betapa waktu, uang haruslah dihargai. (Iwan Bahagia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.