Belajar Dari Sultan

Oleh Mukhlis Muhdan Bintang, S.S

Namanya Sultan yang bahasa Persianya artinya pemimpin. Matanya teduh seteduh bulan purnama. Tatapannya penuh dengan kepastian, di lihat dari paras wajahnya  penuh dengan ketenangan. Dia dilahirkan dari keluarga yang berpendidikan.

Ayahnya seorang magister pendidikan yang sangat bersahaja, apa adanya dan sangat bijaksana. Sepintas mungkin kawan-kawan pembaca berasumsi bahwa Sultan ini adalah seorang Profesor dan berusia senja. Bukan sobat, Sultan yang kutulis ini adalah anak Adam yang usianya belum akhil baligh. Sultan ini adalah salah satu generasi Gayo penyambung cerita tentang betapa leluhur gayo adalah manusia cerdas. yang aku yakin suatu saat dia akan menjadi salah satu manusia yang menebarkan sejuta manfaat pada alam Gayo ini. Dia sangat penting buat saya. Kenapa? Alasannya akan saya beberkan.

Awan mega menguning menggantung tepat di langit timur, suara bising hingar bingar. Bis mini perkotaan lamat tak lagi ngaur, suara jangkrik mulai bersahutan entah dimana sumber bunyinya. Lantunan ayat suci Al Qur’an bergemuruh dari surau ke surau sebagai pertanda senja akan pergi, waktu ashar akan berganti dengan datangnya waktu shalat wajib Maghrib yang harus ditunaikan oleh orang yang beriman. Aku terdiam dipojok baiti yang bukan milik diri. Tatapanku nanar menyaksikan seorang bocah yang bergerak tak tentu arah, mengeluarkan bunyi dari lidah yang tak searah alias menangis tersedu-sedu tanpa menghiraukan keberadaanku. Lama aku terdiam, pikiranku menghujam, hati iba melihat sang bocah yang belum genap berumur 2 tahun menangis. Entahlah! apakah sang bocah menahan hati yang miris. Aku berdiri melangkah mendekati sang bocah seraya berujar ” Kenapa nangis Sultan? udah cup-cup.”  Dia masih bergeming dengan tangisnya. Aku berusaha menghentikan tangisnya yang semakin menjadi-jadi. 5 menit sudah berlalu aku masih sibuk menghiburnya. Tiba-tiba terdengar ucapan salam ”Assalamualakum”. Walaikum salam sahutku. Belum lagi salamku habis di ucapkan mulut, sang bocah berlari mendekati lelaki dewasa yang ayahnya sendiri. Ada keanehan yang kurasa! Dia tak lagi menagis.. Dia pegang erat orang tersebut yang ternyata Amanya, dia cium leher Amanya mengisaratkan bahwa begitu penting sosok laki-laki yang belum paruh baya itu. Sambil sang bocah berada di pelukan Amanya, Sultan memandangiku tak berhenti, entah kenapa, entah apa yang ada dalam pikirannya, entah apa yang ingin disampaikannya.

Malam pekat, setelah kutunaikan kewajiban shalat Isya. Aku bergegas kedapur mengaduk secangkir kopi. kemudian duduk di beranda sambil menikmati nyanyian suara jangkrik berparade keroncong. Kutatap langit, terlihat bintang gemintang. Tepat diantara bintang tak hingga itu, ada cahaya lembut yang sangat indah, cahaya bulan purnama. Lama aku beradu pandang dengan sang primadona malam. Tatapanku buyar, setelah pikir ini berfikir tentang kejadian tadi. Lirih dalam hatiku bertanya, kenapa kau menatapku Sultan? Apa sebenarnya yang ingin kau sampaikan? Aku berimajinasi melayang, aku melihat kanan kiri sambil sesekali kuteguk secangkir kopi yang tak panas lagi. Aku mencoba menjawab sendiri pertanyaanku. Mungkinkah kau Sultan ingin mengingatkan dan mengajarkanku tentang bagaimana menjadi seorang Ayah? Inikah yang ingin kau ucapkan: Kelak ketika abang menjadi seorang ayah dari anak-anak abang. Jadilah abang ayah yang sholeh yang tidak hanya menikah karena angan-angan tapi menikah karena abang sudah siap menjadi imam dalam keluarga. Menjadi seorang ayah haruslah penuh kasih sayang, perhatian dan mampu menjadi tauldan bagi keluarga. Menjadi seorang ayah bukan hanya menunaikan kewajiban mencari uang, pergi pagi pulang malam. Lebih dari itu jadilah seorang ayah yang bijaksana. Jadilah ab seperti Muhammad SAW suami dari Khadijah ra dan ayah dari Hasan Husen. Abang tahu bagaimana Muhammad SAW menjadi ayah dari Hasan Husen. Itukah yang ingin kau sampaikan Sultan? Lirih suaraku terdengar, pikiran ini setengah lelah dan tubuh mulai rebah.

Lama aku terpisah darinya, ada rasa kangen dan Alhamdulillah sekarang Sultan sudah tinggal satu daerah denganku. Rambutku sedikit basah, bekas air yang membasahi raga yang kusiram kurang dari 5 hari yang lalu. Kuraih kunci sepeda motor yang menggantung tepat didekat pintu. Kemudian kunyalakan dan beranjak menyambangi kediaman rumahnya Sultan. Sepuluh menit tak terasa aku tiba diplataran rumah Sultan. ku ketok pintu dan mengucapkan salam. Tak ada yang menyahut. Kulihat Sultan sedang asyik bermain dengan temannya. Kupanggil dia, Sultan…Sultan.. dia menghampiriku dan berucap apa bang? Ingin kucubit pipinya tapi sepertinya Sultan masih malu. Sultan Kil mana?, tanyaku. Gak tahu katanya apa adanya. 10 menit kutinggalkan dia dan duduk berbincang dengan kawan di depan lampu merah yang entah apa yang kami bicarakan waktu itu. Aku kaget mendengar ada anak kecil memanggil bang, bang Ama sudah pulang, katanya. Aku tersenyum padanya. Begegas kemudian aku kerumah Sultan. Lama aku berbicara dengan Kil Amanya Sultan. Sebelum pulang kutatap Sultan. Berkata pada hati. Sultan, pertemuanku denganmu selalu tidak sia-sia. Kau Sultan selalu mengajariku lewat kepolosanmu. Kau Sultan kembali mengajariku. Kau Sultan memberi tahu ku menjadi manusia harus saling meberi, peka dan memahami. Kau Sultan mengajariku betapa memberikan informasi itu harus dari hati. harus peka dengan lingkungan sekitar. Kau Sultan ajari aku, Tak harus menunggu disuruh lalu berbuat, tak harus menunggu dijelaskan lalu faham. Yang menurutku sifat itu sangat jarang bahkan hampir tidak ada pada orang dewasa yang sudah mempunyai pikiran. Orang dewasa sekarang sibuk dengan kesendirian dan penuh dengan keegoisan. Orang sekarang terlalu cuek dan mengkotak-kotakan manusia. Bagi orang sekarang termasuk saya tak lagi mengamalkan apa yang telah dituangkan seperti dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersuku-suku berbangsa-bangsa. Manusia sekarang tidak akan memberikan informasi kalau tidak ditanya. Memberikan informasi hanya pada orang tertentu, pada kerabatnya, koleganya dan almaternya. Kalau istilah Gayo yang berkembang sekarang ”pertalian darah”. Ketika hendak memberikan informasi ataupun jabatan harus ada pertautan darah dulu. Padahal Allah mengajarkan lewat Al-Qur’an pada manusia sungguh manusia itu tidak ada bedanya, yang membedakannya adalah takwanya.

Rabu senja menjelang gelap malam aku kembali menyambangi kediaman Sultan. Amanya Sultan mengajak ku yang biasa kupanggil Kil mengajak ku ke kondangan orang khitanan. Tiba di tempat kondangan aku kembali menyaksikan pelajaran yang disuguhkan oleh Sultan. Dia mengambil piring dan nasi adik kecil (Sultan yang masih berumur 2 tahun). Dia menyuapi adiknya, dia memberikan minum pada adiknya, dia dudukkan adiknya di kursi. Ketika Kil tadi mengajak kami pulang. Sultan menjawab dengan lembut. Ama bentar lagi, adik Teguh ni belum selesai makan. Dia terus suapi adiknya, memberinya minum dan akhirnya setelah selesai makan dia memangkunya sebentar dan kemudian pulang.

Sahabat pembaca, Sultan kembali mengajariku sifat setia. Dia mengajariku bagaimana cara setia pada seseorang. Dengan atau tanpa disuruh. Dia mengajarkan pada ku bhwa kesetiann itu harus dari hati diucapkan dengan mulut dan mengaplikasikannya dalam dunia nyata. Sultan telah menjalankan fitrahnya sebagai manusia dan sebagai orang gayo. Sultan kecil ini telah mengamalkan apa yang telah dikatakan oleh leluhur kita orang Gayo yang memberikan falsafah ”setie mate, gemasih papa”. Sultan kecil ini mengajari ku setia tidak hanya ketika menemani kwan kita bahagia, lebih dari itu kesetiaan haruslah kita implementasikan dalam keadaan apapun susah, senang ataupun bahagia. Aku tersipu malu, dan berfikir dalam hati, Sultan kau lebih baik dari aku, Sultan kau lebih baik dari pada orang-orang yang telah mempunyai ilmu. Sultan kau lebih baik dari orang yang mengaku bahwa kesetiaan itu adalah segala-galanya.

Sekarang mari kita lihat disekeliling kita, dimana-mana orang meyuarakan kesetiaan, kita harus bersatu. Kata-kata bersatu dan setia kita lebih-lebih saya hanya sebatas retorika dan hanya kesetiaan semu. Sungguh Sultan kau lebih baik dari aku dan bahkan kau lebih baik dari manusia yang berilmu disekelilingku. Akhirnya, semoga saya bisa sepertimu Sultan, apa adanya, setia, perhatian dan penuh kasih sayang. Wallahualam bisawaf, semoga bermanfaat.

 

*Urang Gayo Pemerhati Pendidikan, tinggal di Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.