Hanya diri sendiri yang dapat merubah nasib, begitulah motivasi hidup yang sering di ucapkan orang untuk merubah hidupnya dari kesulitan menjadi kemudahan dari keterpurukan menjadi lebih baik.
Tidak ada yang mustahil, itu pula yang menjadikan semangat seseorang membara untuk menggapai cita-cita dengan jalan terjal yang ia lalui untuk menuju keberhasilan. Mungkin sekaliber Thomas Alva Edison, James Watt atau Socrates serta nama-nama besar lain pernah merasakan kesulitan untuk membuktikan apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang berarti.
Bahkan tak jarang hinaan, cacian serta di diskreditkan sebagiannya dari kehidupan sosial karena dianggap bertentangan dengan pemikiran orang banyak, hingga akhirnya penyandang nama-nama besar tersebut menunjukkan kepada dunia bahwa kita tidak layak meremehkan orang yang punya pemikiran dan jalan yang berbeda untuk menunjukkan sikap kerja keras yang membuahkan hasil bagi pribadinya dan orang banyak.
Itu pula mungkin menjadi pegangan Makmur Jaya (29), seorang pria yang semasa hidupnya menjalani beberapa peristiwa yang mungkin tidak banyak dilalui oleh orang-orang sekitar kita. Demi mengenakan toga untuk yang kedua kalinya, ia meninggalkan istri dan anak di kota dingin untuk mewujudkan impiannya tersebut ditengah ekonomi keluarga yang tergolong pas-pasan menjual cabe. Seora ng calon Magister harus berjualan cabe demi kebutuhan studi dan keluarganya, hah?
Makmur Jaya, lahir 12 Desember 1982 di Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues, pernah sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) I Takengon karena ngahnya (saudara pihak ibu) mendaftarnya di sekolah tersebut karena memang kehidupan keluarganya di kampung tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan Makmur.
Namun itu tidak berlangsung lama, karena alasan ekonomi keluarga ngahnya lah ia terpaksa kembali ke kampung halaman dengan perasaan kecewa. Ia harus menggigit jari pula, karena dikampung tempat ia dilahirkan tersebut teman-teman kecilnya berseragam merah-putih sambil menggandeng tas berjalan kesekolah dihadapannya.
Makmur Jaya tidak kehabisan akal, dua bulan “menganggur” karena putus sekolah, bermodalkan isi kantong Rp.8.000,- saat itu, tahun 1989 persisnya, ia nekat mendatangi pimpinan sebuah panti asuhan saat itu yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan dirinya untuk menerima ia tinggal dan disekolahkan oleh panti asuhan tersebut.
Makmur patut bersyukur, karena pihak panti asuhan mengizinkannya tinggal dan bersekolah dan selesai dengan prestasi membanggakan, meski Ibunda yang ia cintai sempat menolak rencananya untuk tinggal di panti yang notabenenya didiami oleh anak-anak dari keluarga yang sangat tidak mampu. Saat itu ibunya sempat menyembunyikan pakaiannya kedalam sebuah tong yang dikunci rapat, namun akhirnya ibunya mengerti dan mengizinkannya.
Lagi-lagi, Makmur boleh merasa lega, dimana akhirnya ia bersama teman-temannya di panti akhirnya selesai mengecap sekolah dasar dan Madrasah Tsanawiyah di negeri Louser tersebut pada tahun 1997.
Masa-masa sulit belum berakhir sampai disitu saja, Makmur merasa tidak puas jika hanya selesai pada pendidikan tingkat pertama, ia memberanikan diri dan cenderung nekat merantau ke Takengon kembali dan mendaftarkan diri ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) I Takengon dimana ia lagi-lagi menumpang dengan ngah yang dulu sempat membawanya ke kota dingin ini. Tiga bulan ia tinggal bersama familinya tersebut, Makmur kemudian sempat tidur beralaskan kardus di ruang Laboratorium Madrasah Aliyah tempat ia bersekolah itu demi memudahkannya belajar dengan baik.
Ternyata minat sekolah dan motivasi yang kuat untuk sekolah, seorang guru disekolah tersebut memperhatikan gerak-gerik Makmur dan merasa sangat perlu untuk membantunya.
Tanpa sepengetahuan Makmur, guru tersebut memerintahkan beberapa orang untuk mengambil pakaian Makmur ke rumah ngah tempat ia sempat menginap, alhasil pakaian Makmur sudah berada di rumah guru yang mereka akrab panggil Pak Nopi yang bernama lengkap Nopi Dorsain tersebut.
Ternyata saat itu Pak Nopi merasa prihatin melihat kegigihan dan perjuangan Makmur yang rela melakukan apapun untuk dapat menyelesaikan sekolahnya, berbeda dengan teman-temannya.
Makmur merasakan kegembiraan, haru dan berucap syukur, tetapi ia merasakan betapa ia malu dengan peristiwa saat seorang temannya berpesan agar Makmur mengganti pakaian dirumah pak Nopi itu. Meski keluarga tempat ia tinggal sudah mengganggap Makmur bagian mereka, Makmur tidak ingin merasa “numpang gratis”, ia memanfatkan waktunya setiap pagi dan sore hingga malam hari untuk mengayuh roda tiga tanpa mesin demi membayar biasa kuliah, untuk membeli jajanan dan kepentingan sekolah yang menurutnya penting, bahkan tidak pernah sekalipun ia menengadahkan tangannya kepada keluarga tersebut.
Ya, Makmur akhirnya tinggal di rumah guru tersebut hingga akhirnya ia tamat dari MAN I pada tahun 2001, kemudian ia meminta izin untuk melanjutkan kuliah dan ingin “hengkang” dari rumah dan keluarga yang ia cintai itu untuk kembali mencari kos-kosan lain bergabung bersama teman-temannya.
Selesai sudah tiga tingkatan pendidikan formal yang ia pernah jalani, dalam hati Makmur berpikir mestilah ia masuk perguruan tinggi seperti teman-teman sekolahnya yang lain. Lagi-lagi dengan modal nekat ia memberanikan mendaftarkan diri ke Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon dan lulus test untuk jurusan guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Masih seperti sebelumnya, Makmur tetap mencari pelanggan barang untuk menggunakan jasa becak dayung yang dikayuhnya setiap hari hingga ia mencapai semester IV di kampus tersebut.
Beberapa tahun kemudian ia pernah terpilih menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (BEM STAI) Gajah Putih Takengon dimana pada saat itu Makmur telah tinggal dan bekerja atas tawaran Drs. Almisry, pimpinan kampus tersebut.
Pekerjaan yang ia geluti adalah pekerjaan yang menurut orang banyak tidak layak dan merupakan pekerjaan hina namun itulah pekerjaan Makmur Jaya, tukang sapu kampus.
Meski demikian optimisme Makmur dengan pekerjaan dengan gaji yang hanya Rp.150.000 Rupiah tersebut membuahkan hasil, tahun 2006 Makmur menggenakan toga sambil bersukacita mengembangkan senyum kepada teman-temannya, keluarganya, meski tak pelak menangis mengingat perjuangannya, petualangan hidupnya yang keras, berliku dan penuh kepahitan.
Pada tahun yang sama saat ia menyelesaikan pendidikan tingginya, ditahun itu pula ia menikah dengan Handaiyani, seorang teman dan alumnus kampus yang sama tempat ia mengambil studi saat itu karena merasa sudah siap secara lahir dan bathin.
Namun “kemenangan” terus saja ia raih, Pada tahun 2007 ia menerima secarik kertas dari Yayasan Gajah Putih Takengon dan namanya turut tertera di kertas tersebut. Ya, kali ini nama anak pasangan Aminah dan Alm. Sulaiman itu tercantum karena diminta menjadi tenaga pengajar di kampus tempat ia mengabdi.
Bukan itu saja, dirinya pada Juni 2010 dirinya menerima panggilan untuk mengambil gelar pasca sarjana ke Sumatera Utara meski ia harus mempertimbangkan ulang panggilan tersebut karena ia harus non aktif dari pekerjaannya dikampus, lalu bagaimana nafkah keluargaku? keluh Makmur dalam hati.
Namun akhirnya ia meminta izin restu “pak ume” dan “mak ume”, dirinya dan keluarga menyetujui Makmur melanjutkan jenjang kuliah ke sumatera utara, saat itu ia telah memiliki seorang putra yang diberi nama Shauman.
Saat ini Makmur Jaya sedang semester III di Pendidikan Pasca Sarjana (PPs) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara dengan konsentrasii Ilmu Komunikasi Islam.
Sambil kuliah, dirinya meluangkan waktu untuk mencari tambahan biaya kuliah dan keperluan dirinya dan keluarga dengan menjadi penjual Cabe di pusat pajak Sambu Medan bersama seorang temannya dari kampung halaman Rikit Gaib, Gayo Lues.
Bagi Makmur saat ini ia belum menikmati hasil, masih panjang lika-liku hidupnya semasih nafas berhembus. Masih banyak teka-teki hidup yang ia harus lalui untuk membuktikan kepada dunia bahwa ia bisa menjadi orang berhasil, bahwa dirinya tidak boleh terpuruk dan putus asa dalam keadaan apapun mestilah tegar, karena Tuhan tidak diam jika manusia mau berusaha. Insya Allah selalu ada jalan dan kemudahan, karena Allah selalu memberikan kemudahan diantara kesulitan.
Dari cerita ini kita dapat mengambil hikmah, bagaimana nama-nama besar dunia juga pasti punya pengalaman yang sama, meski berbeda cerita. Lalu bagaimana dengan kita ? (Iwan Bahagia)