KERAP terjadi bagi kalangan pehobi fotografi, hunting tanpa rencana justru mendapat sejumlah momen atau informasi berharga. Demikian yang terjadi saat seorang rekan yang baru membeli kamera beberapa waktu lalu, Azani,salah seorang anggota Gayo Fotografer Club (GFC) tiba-tiba mengajak hunting kearah Toa Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah, Minggu (17/10/2011) petang.
Saat tiba di kampung Wih Lah kami bertemu seorang pensiunan guru bernama Abdul Hamid, kelahiran tahun 1934. Pengakuannya, dia menamatkan menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Takengon pada tahun 1950 dan meneruskan pendidikan ke Pematang Siantar dan menjadi guru di Medan Sumatera Utara lalu pindah ke Tapak Tuan Aceh Selatan, kemudian ke Bireuen dan pensiun setelah di tahun 1990 setelah menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMPN Lampahan Kabupaten Bener Meriah.
Obrolanpun mengalir dan akhirnya mengarah ke asal muasal penyebutan Pegasing, sebuah kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah dengan batas-batas Barat dengan Kecamatan Silihnara dan Bies, Timur dengan kecamatan Lut Tawar, Utara dengan kecamatan Bebesen dan Selatan dengan kecamatan Atu Lintang dan Linge. Amatan kami Abdul Hamid tergolong orang yang sudah cukup tua dan mengetahui banyak hal yang terjadi dimasa silam.
“Menurut cerita turun temurun, Pegasing itu berasal dari dua kata yakni Peger dan Gasing,” kata Abdul Hamid mengawali ceritanya. Peger dalam bahasa Gayo berarti Pagar dan Gasing sebuah elat permainan rakyat Indonesia umumnya yang terbuat dari kayu yang diputar dengan seutas tali dan dimainkan di tanah.
Dulu, Pegasing ini berpusat di Lukup dan Reje Pegasing berdomisili di tempat tersebut. Lukup adalah sebuah kampung yang diapit kampung Kute Lintang dan Simpang Kelaping.
Pada suatu ketika terjadi wabah penyakit yang banyak menelan korban jiwa. Khawatir penyakit tersebut menular ke sang Reje, oleh seorang tabib dibuatkan semacam tangkal melindungi serangan penyakit menular tersebut dengan membuat 4 tonggak pagar yang diujungnya dibentuk seperti Gasing.
Keempat tonggak tersebut ditancapkan diempat sisi kediaman sang Reje dan sejak itulah kawasan yang juga disebut oleh orang Gayo Aceh Tengah dengan Toa ini disebut Pegasing.
Menurut Abdul Hamid, keturunan Reje Pegasing tersebut saat ini adalah keluarga (alm) Banta Cut, ayah dari Dr. Darma Tapa Gayo yang saat ini bertugas di RSU Fauziah Kabupaten Bireuen. Dr Darma dikenal sebagai pembawa olahraga bela diri Kempo ke Aceh Tengah dan seorang pecinta olahraga berkuda yang tercatat paling banyak memiliki kuda di Gayo umumnya, hingga puluhan ekor.
Keterangan ini dibenarkan oleh Dr Darma Tapa Gayo. “Kakek saya bernama Jamat adalah Reje Pegasing pertama bernama Jamat yang hidup dimasa penjajahan Belanda. Awalnya dia tinggal di Bebesen, namun karena tidak patuh dan tidak suka dengan Belanda dia pindah ke Lukup Pegasing. Dan saat dia hidup pernah mewabah penyakit sehingga dibuat penangkal berupa Peger yang diujungnya dibentuk seperti Gasing,” papar Dr. Darma.
Lebih jauh dijelaskan, setelah kakeknya Jamat meninggal, sebutan Reje tidak ada lagi di Aceh Tengah, namun oleh masyarakat dianggap ayahnya Banta Cut dianggap sebagai Reje yang juga pemangku jabatan Mukim di Pegasing.
“Untuk lebih jelasnya cerita ini, boleh dibaca buku yang ditulis ayah saya Banta Cut,” kata Dr Darma.
Versi lain menurut Abdul Hamid, dulu ada batu di lokasi pembangunan Rumah Sakit sekarang di kawasan Belang Bebangka. Batu tersebut bentuknya seperti Gasing. Namun sekarang batu tersebut hilang entah apa sebabnya tidak ada lagi ditempat tersebut. (Khalisuddin)