Oleh Zuliana Ibrahim*
Mungkin inilah yang dinamakan kehendak Ilahi, hidup penuh warna dengan onak berduri. Adalah sejak Karim mulai mengerti tentang hidup saat ia berada di tengah kemelut keluarga. Maka ia tak lagi berdiam dengan sederhana yakni hanya sekedar mengecup aroma Danau Lut Tawar. Sungguh ia berdecak kagum, seketika ia mulai mendayung sampannya untuk pertama kali dengan gagah gempita. Menghunus angin malam, sepanjang dari Mendale sampai One-one. Jauh nian, namun ia tak merasa itu sebuah rintangan. Ia sadar seharusnya ia bukan hanya sekedar menikmati percikan air Danau Lut Tawar atau meneguknya untuk menghilangkan dahaga. Juga bersama udara dingin, sungguh ia pun merasakan indahnya menyatu bersama alam. Padahal subuh ini, ia punya kewajiban untuk membawa seekor ikan bawal atau sekilo ikan depik. Ah, Karim. Ia tak pernah mengerti bahwa hidup keluarganya bergantung pada dayung sampannya.
Jangan pernah menyalahkan atau mengajar Karim untuk menenun mimpi di ujung dayung sampan, sebab ia belum pandai menggantungkan hidup pada sebatas danau yang ia kenal hanya keindahannya. Jika dipaksakan, itu merupakan keresahan baginya. Takut akan kerusakan yang bisa saja ia buat, sehingga semakin menyayatkan luka bagi para penghuni Lut Tawar.
“Karim, sudah kau antarkan sekilo depik ke rumah Pak Sarip?” pekik suara ayahnya, yang selalu saja berharap anaknya pulang dengan membawa seekor atau bahkan sekantung Ikan untuk dijual.
Karim hanya bisa menghadirkan setulus senyum yang ia punya, ia tak pernah menutupi segala apa yang ia peroleh. Jika ada, ia akan katakan ada. Pun sebaliknya.
“Bodoh! Kau pasti hanya bermain sampan, mendayung namun tak punya tujuan.”
Ya, Karim selama ini mulai dilatih oleh ayahnya untuk menjala ikan di sepanjang Danau Lut Tawar. Ia adalah harapan untuk dapat menjadi penerus pemegang jala ayahnya. Namun, meski ayahnya seorang nelayan. Selama ini Karim tidak pernah berjala, sama sekali tidak pernah! Ia tak ingin seperti ayahnya yang terus memburu mahkota Danau Lut Tawar. Ia ingin sekolah tinggi, setinggi yang ia mau. Agar ia tak hanya bergantung pada jala atau sampan sang ayah yang pasti akan diwarisi padanya.
Begitulah, sejak ayahnya jatuh sakit. Ia tak bisa melawan titah ayahnya untuk menyebar jala, sebab karena jala ayahnya pulalah ia dapat bersekolah. Ia pun akhirnya pulang dari rantauan, memutuskan untuk membantu ayahnya yang telah lama menjadi orang tua tunggal baginya sejak ia masih berumur dua tahun. Karim harus merawat ayahnya yang mulai sakit-sakitan dan harus mengurus tambak ayahnya pula. Betapa hidup memberi pelajaran baginya untuk menjadi anak yang patuh pada orangtua. Tapi bagaimana ia harus melanjutkan usaha ayahnya? sedang merasa teriris hatinya seketika mendapati banyaknya polusi pada air danau. Di pinggir danau banyak sampah berserakan, MCK warga yang dibangun sembarangan. Bagaimana mungkin pula, ia tega menangkap ikan yang semakin lama semakin berkurang jumlahnya? Apalagi menangkap ikan dengan menaburkan obat atau sejenisnya? Itu sama saja menghancurkan keindahan Danau Lut Tawar!
Karim tetap tak kehabisan akal, ia membuat sebuah jalan dengan menebarkan benih-benih ikan di sepanjang Danau laut Tawar. Setiap malam pekat di bawah kelap kelip bintang, ia menebar benih ikan. Dengan tenang ia mendayung sampannya, menikmati udara dingin Danau Lut Tawar. Sejenak Ia tersenyum dan menghadap pada malam lantas berbisik.
“Setelah benih ikan ini tumbuh besar, semoga memberikan manfaat bagi nelayan. Wahai ikan, bersiaplah kau akan disantap menjadi lauk untuk makan.” Maka, Karim pun siap untuk menebar jalanya sampai akhirnya benih yang ia tebarkan tumbuh menjadi ikan yang besar.
Ranah KOMPAK, Mei 2011
—-
*Zuliana Ibrahim, Lahir di Takengon, 13 Juli 1990 adalah alumni SMA N 1 Takengon dan tercatat sebagai mahasiswi FKIP Bahasa dan sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, dan juga ketua umum di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK).