Oleh Drs. Jamhuri, MA[*]
Pemahaman kebanyakan orang bahwa mengaji adalah membuka al-Qur’an dan membacanya, sehingga mereka yang tidak mampu membaca dikatakan dengan tidak bisa mengaji. Fenomena ini tidak hanya terdengar hangat ketika para calon pemimpin Aceh mengikuti testing membaca al-Qur’an, tapi sudah menjadi pengetahuan umum dalam opini semua orang. Di media massa dapat dibaca/tonton bahwa ada beberapa orang yang tidak lulus pada tahapan testing membaca Al-Qur’an, termasuk di Aceh Tengah berkembang isu ada yang tidak bisa atau tidak lancar membaca. Namun ketika hasil testing diumumkan semua peserta testing lulus, ini artinya isu yang berkembang di kebanyakan orang terbantahkan dan akhirnya kita semua sepakat bahwa semua calon pemimpin di negeri Antara bisa membaca Kitab Al-Qur’an.
Selama ini dipahami bahwa membaca teks al-Qur’an adalah penting, karena al-Qur’an adalah Kitab Suci yang isinya menjadi petunjuk dan harus diamalkan, dan tidak mungkin orang bisa mengamalkan kalau ia tidak mampu membacanya. Namun ketika direnungkan dan dikaji lebih dalam bunyi ayat pertama dari surat al-‘Alaq, yang memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca melalui Malaikat Jibril, Nabi beberapa kali menjawab dengan “saya tidak bisa membaca”, lalu renungan renungan dan kajian memunculkan pertanyaan, apakah ketika Tuhan menyuruh Nabi Muhammad membaca dengan lafazh “”إقرأ berarti ada tulisan yang terpampang di hadapannya ? atau Tuhan menyuruh Rasul membaca apa yang tidak tertulis. Kalau memang tidak tertulis kenapa nabi menjawab “saya tidak bisa membaca” !
Keyakinan membaca yang tertulis sudah terpatri dalam pikiran, berdasarkan hasil kajian dan pelajaran yang didapat selama ini. sehingga melahirkan keyakinan, apabila ada orang yang tidak bisa membaca al-Qur’an (Kitab al-Qur’an) adalah orang yang mempunyai keyakinan yang lemah kepada Allah, bahkan mereka ini tidak pernah diberi kepercayaan dan kesempatan untuk memperdengarkan apa yang ia ketahui dari firman Allah kepada orang lain, mereka tidak boleh menjad imam dalam shalat atau melantunkan gema Ilahi ketika ada acara-acara hari besar agama dan kenegaraan. Sebaliknya mereka yang mampu membaca yang tertulis dari teks al-Qur’an secara baik dan fasih dan dengan suara yang merdu, dianggap sebagai pengamal agama yang baik dan mempunyai tingkat keyakinan lebih sempurna dan akan selalu mempunyai kesempatan memperdengarkan bacaannya kepada semua orang dalam semua kesempatan.
Karena kepercayaan bahwa membaca harus ada teks, maka solusi yang sering ditawarkan kepada mereka yang tidak mampu membaca al-Qur’an secara menyeluruh dan baik, maka hendaklah membacanya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, tanpa harus merasa malu membaca dan apa yang dibaca tidak diberi nilai oleh Pemilik Firman. Sedang bagi mereka yang hanya mengetahui satu huruf dari al-Qur’an, hendaklah selalu membuka Kitab suci al-Qur’an dan membaca huruf yang diketahui (asal huruf tersebut ditemukan dalam Kita al-Qur’an bukan dalam buku-buku yan berbahasa Arab), tanpa harus memaksakan membaca yang tidak diketahui.
Penulis pernah mencoba bertanya kepada seseorang yang berusia lebih kurang 70 tahun tentang apakah ia bisa mengaji (membaca teks al-Qur’an) ? beliau menjawab, tidak, pertanyaan dilanjutkan dengan, kenapa tidak bisa membaca ? beliau menjawab. Pada masa kami kanak-kanak tidak ada tempat pengajian dan kalaupun ada sangat terbatas, tengku-tengku yang mengajar juga sangat sedikit, dan pada masa itu keadaan tidak kondusif (karu). berarti orang tua anda juga tidak bisa membaca al-Qur’an ? beliau juga menjawab tidak bisa.
Sebagai orang yang berprofesi sebagai tenaga pengajar bagi mahasiswa di Perguruan Tinggi merasa itu adalah kesalahan, sehingga sangat merasa kasihan, sedih dan sayang. betapa tidak, sebagai orang muslim beliau tidak bisa membaca Kitab Suci yang harus dijadikan sebagai pegangan dalam hidup di dunia dan setelah mati sampai hari qiamat. Namun ketika memperhatikan prilaku kesehariannya, hampir tidak pernah ia melakukan perbuatan yang bersalahan dengan agama, beliau tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu dan juga selalu berbuat baik kepada orang lain. Sehingga perasaan kasihan, sayang dan seding menjadi hilang bahkan mengaguminya. Karena berdasarkan pemahaman yang sebenarnya beliau bukanlah tidak mengaji, tetapi beliau hanya tidak membaca teks yang tertulias dari Kalam Allah.
Keyakinan menjadi bertambah kuat, dan percaya bahwa orang yang mengaji al-Qur’an tidaklah harus membaca Kitab al-Qur’an (teks yant tertulis). Karena al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril pada awalnya tidaklah berbetuk tulisan tapi hanya berbentuk ucapan (firman).
Karena itu tidak sembarangan mengatakan bahwa orang yang tidak bisa membaca teks al-Qur’an itu tidak bisa mengaji, kendati orang yang tidak pernah membuka dan membaca Kitab al-Qur’an, karena sering membacanya dengan cara menghafal dan mengucapkannya ketika melaksanakan shalat lima waktu ataupun shalat-shalat sunat.
Alasan lain lagi yang menambah keyakinan dan menguatkan argumen bahwa orang yang mengaji tidak harus membaca teks tertulis, adalah sejarah penulisan al-Quran baru dilakukan oleh sahabat pada masa Rasulullah, pada saat itu jumlah orang yang menghafal al-Qur’an jauh lebih banyak dari mereka yang mampu membaca apa yang tertulis dari al-Qur’an seperti kita pahami sekarang ini.
Kesempurnaan al-Qur’an menjadi sebuah mushaf yang utuh dan lengkap baru terjadi pada masa khalifah ketiga yaitu Usman bin Affan, itu juga merupakan kesepakatan untuk memilih mushaf Usman dengan memusnahkan mushaf yang berbeda dengannya. Dari situ kita berkeyakinan bahwa mereka yang tidak bisa membaca al-Qur’an, bukanlah orang yang tidak mengamalkan perintah Tuhan atau sebaliknya juga mereka yang mampu membaca teks al-Qur’an belum tentu lebih baik. Karena kemampuan membaca juga sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta pasilitas dan kebijakan yang ada, sebagaimana kondisi yang dialami oleh sebagian masyarakat yang hidup di sekitar kita.
Orang Islam dalam kehidupan sekarang ini sudah banyak terjebak dengan simbul, mereka hanya mau membaca teks yang tertulis dari al-Qur’an, kalau al-Qur’an yang tertulis tidak ada maka mereka tidak akan mengaji. Dan orang-orang yang tidak bisa membaca selalu dipersalahkan sehingga memunculkan ketidak mandirian dalam beragama.
Kita tidak memungkiri bahwa mereka yang mampu membaca yang tertulis lebih maju dari mereka yang yang tidak mampu membaca yang tertulis, tetapi tidak selalu demikian dengan pemahaman dan pengamalan isi al-Qur’an. (03)
[*] Mahasiswa Prodi Fiqh Modern Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh