Oleh : Marah Halim*
Selama ini kita sangat akrab dengan istilah Memorandum of Understanding atawa MoU. Nenek kitapun mungkin tahu istilah itu saking seringnya disebut-sebut. Tahun 2008, dalam salah satu berita di Serambi Indonesia, ada satu istilah spontan yang diucapkan oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, ketika menanggapi rencana investasi pengusaha Medan pemilik Hermes Palace Hotel, Hermes Thamrin. Pengusaha perhotelan ini tertarik untuk berinvestasi di agribisnis di kota dingin Takengon. Menanggapi rencana itulah Irwandi mengatakan, āYang penting sekarang bukan Memorandum of Understanding (MoU), tapi Memorandum of Action (MoA).
Tanggapan Gubernur Irwandi tersebut memang ada benarnya, sebab selama ini begitu banyak dilakukan MoU, baik dengan pengusaha lokal atau pengusaha manca negara, sampai-sampai Irwandi pun merasa perlu bersafari untuk meyakinkan para pengusaha luar negeri menanamkan modalnya di Aceh; namun sampai saat ini baru sedikit yang menampakkan batang hidungnya.
Apakah mungkin ada kesan kesal dalam tanggapan Irwandi tersebut? Penulis tidak tahu persis, mungkin juga kesal atau mungkin juga putus asa sebab dari sekian banyak calon investor yang telah survey atau bahkan yang telah membuat kesepakatan, masih sedikit yang betul-betul action. Tapi apa mau dikata, kita tidak bisa memaksa orang untuk menternakkan modalnya di tempat kita. Agar mereka tertarik sendiri dan tidak usah pake dirayu-rayu, maka yang perlu kita lakukan adalah menciptakan suasana yang membuat mereka tertarik dan betah berlama-lama menanam modal di Aceh.
Kiat Meyakinkan Investor
Selama ini pendekatan yang dilakukan Irwandi maupun Nazar adalah mengundang atau menerima kedatangan calon investor di Kantor Gubernur dengan penuh kehormatan. Perlakuan itu diberikan dengan harapan mereka akan benar-benar akan tertarik untuk berinvestasi di Aceh. Namun ke depan, pendekatan itu hendaknya tidak terlalu lama dilanjutkan, sebab itu hanya akan menurunkan marwah kita sendiri sebagai ureung Aceh. Salah satu kiat untuk menarik investor adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Penulis yakin, faktor keamanan merupakan alasan utama mengapa para investor tersebut belum action. Bagaimana mungkin mereka merasa tenang berinvestasi di Aceh jika masih ada pungli, intimidasi, dan sebagainya. Kita harus ingat, berinvestasi artinya menanam modal untuk dapat untung, mana ada orang berinvestasai untuk rugi. Psikologi investasi ini pasti siapapun mengetahuinya, karena itu mari kita wujudkan situasi yang betu-betul kondusif.
Metode jemput bola ala Irwandi-Nazar ini baru sekarang popoler, menurut penulis para pendahulu beliau tidak seligat dan seagresif beliau. Namun satu hal yang mungkin menjadi batu sandungan, yaitu kurangnya pemahaman orang-orang di samping dan di belakang beliau untuk menindaklanjuti upaya yang telah dirintisnya.
Orang samping yang penulis maksud adalah para legislatif yang tugasnya membuat peraturan. Sampai saat ini qanun investasi belum rampung, mungkin itu juga yang menjadi alasan mengapa investor nggak nongol-nongol. Sedangkan orang belakang yang penulis maksud adalah dinas dan badan teknis yang mendukung dunia investasi. Ibaratnya selama ini Gubernur sebagai lokomotif yang menarik gerbong dinas-dinasnya, lokomotif sudah bergerak gerbong masih tinggal di belakang. Ā Tampaknya analogi kereta api tidak cocok lagi dipakai, yang cocok adalah analogi bus OH Mercy yang mesinnya menggenjot dari belakang sehingga roda-roda berputar blingsatan.
Selain itu, yang juga kurang dilakukan adalah upaya sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya investasi di Aceh. Ini perlu agar masyarakat tidak melulu curiga kepada para investor, seolah-olah mereka datang untuk mengeruk kekayaan Aceh. Kesan ini masih kuat, apalagi yang datang itu adalah investor bule. Orang kampung saya begitu melihat bule jalan-jalan bawa kamera, dengan curiga mereka berkomentar pasti itu bule mau ambil emas yang ditinggalkan nenek moyangnya dulu. Itulah kesan yang masih kuat dalam masyarakat kampung.
Menggalakkan Investor Lokal
Mengundang orang luar untuk berinvestasi di Aceh mungkin membutuhkan waktu yang lama, selain menciptakan kondisi yang betul-betul bisa meyakinkan mereka, juga membutuhkan cost yang tidak sedikit seperti yang telah ditempuh selama ini. Daripada capek-capek mengundang orang lain membangun tanah kita, mengapa tidak menggalakkan investor lokal saja. Mungkin dengan bergairahnya investor lokal akhirnya akan menarik perhatian investor luar. Para pengusaha yang tergabung dalam Kadin Aceh atau Ikatan Saudagar Aceh yang baru saja mengadakan pertemuan serantau, adalah pihak yang paling utama yang harus diundang untuk membangun daerah sendiri. Merekalah yang lebih tau kondisi Aceh saat ini dan merekalah yang lebih tahu di sektor mana mereka bisa berinvestasi tanpa susah-susah memberikan penjelasan. Yang perlu kita ketuk dari mereka adalah rasa kedaerahan mereka.
Kemudian, agar pengusaha lokal dan serantau tersebut betah di rumah sendiri, maka yang perlu dilakukan adalah memberikan kemudahan-kemudahan sebagaimana halnya dengan kemudahan yang akan diberikan kepada investor luar. Sederhana saja alasannya, mengapa untuk orang luar kita beri kemudahan sedangkan untuk orang sendiri tidak.
Di tingkat lokal, sesungguhnya kita punya aset sumber daya manusia yang handal di bidang perdagangan. Hampir di seantero Aceh ini, bahkan sampai Medan, sektor perdagangan dikuasai oleh pedagang Pidie. Mereka tumbuh secara alami dan berantai. Di tangan mereka suatu daerah akan tumbuh maju. Namun yang kadang negatif adalah cepatnya merebak kecemburuan sosial dari masyarakat asli yang tidak mampu mengimbangi mobilitas mereka.
Di Gayo, gairah dagang saudara kita dari Pidie luar biasa. Sektor barang dan jasa hampir semua di kuasainya. Hampir semua grosir sembako, alat bangunan, logam mulia, dan sebagainya dipegang oleh mereka. Di sektor jasa mereka juga sangat agresif, mulai dari penjahit, warung makanan, warung mie, kebutuhan pertanian, dan sebagainya. Pokoknya hampir dalam semua sektor batang dan jasa mereka ada.
Menurut penulis, mereka adalah potensi yang harus ditingkatkan. Merekalah yang akan menjadi mesin OH bagi saudara-saudara mereka yang lain. Mari kita hilangkan rasa iri dan cemburu, yang pantas kita iri dan cemburu adalah pada mobilitas mereka yang luar biasa. Perlu kita ketahui, mobilitas mereka bukan hanya di negeri sendiri, tapi juga sampai ke negeri jiran. Di Malaysia orang tempatan menyebut mereka dengan sebutanāCina dari Acehā, sebagai perbandingan dengan mobilitas warga Cina di Malaysia yang sangat giat.
Di tengah kegalauan Gubernur Irwandi menanti investor dari luar, maka menurut penulis langkah memberdayakan potensi investor lokal adalah lebih tepat. Selama ini sumbangsih mereka tidak terpantau dengan baik, sebesar apa sesungguhnya peran mereka tidak pernah disensus dengan baik. Mengapa jika orang luar yang berinvestasi yang belum tentu mendatangkan keuntungan kita muliakan, sedangkan saudara sendiri yang dekat kita abaikan. Jangan ibarat kata pepatah, semut di seberang lautan tampak kelihatan, gajah di pelupuk mata seolah tidak pernah ada.
Ā ———–
*Widyaiswara BKPP Aceh Ā Ā Ā