Kepemimpinan Dambaan Ummat

Oleh:  Ramadana

Memimpin kelompok, organisasi, perusahaan, apalagi daerah memang tidaklah gampang. Tapi, tidak pula susah. Disebut memimpin berarti ada yang dipimpin. Ada mitra kerja (atau bisa disebut Masyarakat) yang akan menggalang kebersamaan untuk mencapai tujuan yang telah disepakati.

Jabatan pemimpin adalah sebuah amanah. Apalagi jika yang dipimpinnya adalah Daerah yang berlandaskan Syariat Islam yang punya cita-cita adil, yakni berupaya melanjutkan kehidupan Islam. Insya Allah hal itu merupakan amal shaleh, tentu saja jika ikhlas melakukannya. Karena memimpin adalah amanah, maka seorang pemimpin tidak berhak menjadikan daerah yang dipimpinnya sebagai hak milik pribadi, sehingga merasa perlu dan wajib (menurut ukuran diri sendiri) untuk memperlakukan daerah tersebut sesuai kehendaknya, atau merasa berhak mengorbankan bawahan dengan berlindung atas nama penyelamatan daerah.

Menjadi pemimpin bukan berarti anti-kritik. Bukan pula harus merasa benar sendiri. Sehingga anekdot dalam kepemimpinan akhirnya berlaku: 1). Pemimpin tak pernah salah. 2). Jika pemimpin bersalah, kembali kepada pernyataan pertama. Tentu ini sangat menggelikan.

Kepemimpinan yang baik memang bukan berarti tanpa cela. Sebagaimana halnya manusia yang bertakwa bukanlah yang selalu benar dalam menjalani kehidupannya, tapi manusia yang bertakwa adalah ketika ia berbuat salah, segera bertaubat. Itu artinya, pemimpin yang baik bukan berarti selalu benar, apalagi merasa benar sendiri. Maka, mendengarkan masukan dari Masyarakat yang di pimpin, adalah hal yang sangat dianjurkan. Karena apa? Karena pemimpin tidak ma`sum. Masih ada celah untuk lupa, termasuk berbuat maksiat. Jadi, ada baiknya mendengarkan masukan, saran, bahkan mungkin juga keluhan dan harapan dari masyarakat. Tak ada salahnya bukan?

Rasulullah saw bersabda : Ambillah hikmah yang kamu dengar dari siapa saja, sebab hikmah terkadang diucapkan bukan oleh orang yang bijak. Bukankah ada lemparan yang mengenai sasaran tanpa disengaja? (HR al-Askari)

Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah pernah berkata, Man ahsanal istima, taajjalal intifa –Siapa yang paling baik mendengarkan, dia akan cepat mendapatkan manfaat?. Beliau juga pernah mengingatkan kita untuk menyimak isi? pembicaraan dan bukan siapa? yang berbicara. Perhatikanlah apa yang dikatakan, dan bukan siapa yang berkata!

Jika sebagai pemimpin menginginkan ketaatan yang kritis (cerdas) dari masyarakatnya, bukan ketaatan yang kritis, maka tentunya harus memberikan teladan yang baik kepada masyarakatnya. Bagaimana pun juga, pemimpinlah yang seharusnya dan punya kewajiban memberikan teladan, karena seorang pemimpin lebih mungkin untuk didengar dan dipercayai. Lagi pula, bagaimana mungkin diangkat dan dipilih jadi pemimpin jika tidak bisa dijadikan teladan. Seseorang yang memimpin pasti umumnya lebih baik dari orang kebanyakan. Lebih baik semangatnya, lebih baik ilmunya, lebih baik kesabarannya, lebih baik segalanya.

Seorang pemimpin dikatakan telah gagal dan kepemimpinannya dikategorikan mengkhawatirkan adalah ketika seorang pemimpin tak mampu memimpin Masyarakatnya. Bahkan lebih memilih bermusuhan dengan Masyarakatnya yang berbeda sikap dan pendapat dengannya, ketimbang berusaha duduk bersama dan melakukan dengar-pendapat dengan masyarakatya yang berseberangan itu. Siapa tahu bisa dicari jalan keluar yang terbaik. Sebab, kita bukan hanya ingin bersama, tapi juga bersatu. Kita juga tidak hanya ingin diangap bilangan, tapi juga diperhitungkan.

 —–

* Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,  asal Pepalang Kabupaten Aceh Tengah 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.