Mengenal Hukum Islam dan Hukum Sekuler

(Sebuah Refleksi Hasil Kuliah Fiqh al-Qanuni bersama Prof. Dr. Al Yasa Abubakar, MA)

Oleh Drs. Jamhuri, MA[*]

Cara berpikir Islami dan berpikir Sekuler adalah dua pemikiran yang selalu dipertentangkan, pertentangan ini terjadi dalam kajian-kajian ilmiah dan kajian non ilmiah, atau juga bisa ditemukan dalam pola pemikiran sehari-hari.  Seseorang sering terjebak dalam memberikan label Sekuler kepada orang yang berpikir Islami, demikian juga sebaliknya memberi label islami kepada mereka yang berpikir Sekuler.  Kesalahan pemberian label ini sering disebabkan karena ketidaktahuan makna keduanya.

Pola berpikir Islami dapat kita kenali dengan cara melihat alur pemikiran yang selalu bersumber kepada Al-Qur’an dan hadis, dimana kedua sumber ini dipahami dengan menggunakan kaedah-kaedah atau aturan yang telah dibuat oleh para ulama baik ulama klasik maupun ulama modern dan kontemporer. Penulis katakan dengan ulama klasik dalam tulisan ini juga termasuk modern, adalah kepada mereka yang masih mengelompokkan sumber hukum sebagaimana yang kita dapati dalam kitab-kitab ushul fiqh. Yaitu Al-Qur’an, Hadis, Ijma dan Qiyas sebagai sumber yang disepakati, dan Istihsan, Mashlahah, Sad Az-Zarai’, Urf, Syar’u Man Qablana dan Istishhab sebagai sumber hukum yang tidak disepakati.

Dari susunan dan urutan serta pemisahan antara sumber hukum seperti yang telah disebutkan, kita pahami bahwa pola pemahaman berdasarkan kaedah kebahasaan (metode istinbath al-lughawiyah) bukanlah merupakan metode istinbat dalam memahami dalil nash, tetapi lebih kepada bagian dari nash itu sendiri.

Karena itu ulama kontemporer membuat kerangka berpikir baru, dimana ketika ulama klasik dan madern mamasukkan penalaran kebahasaan (kaedah lughawiyah) menjadi bagian dari dalil nash dan mengeluarkan kaedah-kaedah lain (tailili dan istishlah) dari bagian dalil nash, maka ulama kontemporen menyamakan posisi antara metode penalaran tersebut. Artinya baik ia kaedah kebahasaan, kaedah ta’lili dan kaedah istishlahi adalah sama sebagai kaedah dalam memahami dalil nash Al-Qur’an dan Hadis.

Pola pemikiran ulama kontemporer ini selanjutnya menerima dan mengakui posisi ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini, seperti tekhnologi, antropologi, sosiologi, psikologi dan lain-lainnya sebagai kaedah atau metode serta upaya dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis. Jadi yang menjadi sumber hukum dalam kajian ini hanyalah Al-Qur’an dan Hadis Nabi.

Pemahaman tentang makna istilah Sekuler dikalangan ilmuan muslim dan ilmuan non muslim berbeda, dikalangan ilmuan muslim memahaminya dengan makna pemahaman yang bersumber semata dari pikiran manusia, dengan tanpa menyandarkannya kepada al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber dalam Islam. Sedangkan pemahaman Sekuler dikalangan ilmuan non muslim adalah pemisahan antara agama (bukan Islam) dan Negara, yakni agama adalah urusan gereja dan urusan yang bukan agama adalah diatur oleh Negara.

Jadi sangat tepat bila kita katakan bahwa berpikir Sekuler dalam makna pemahaman Islam bukan hanya tertuju kepada mereka yang non muslim, tetapi juga kepada mereka yang muslim namun tidak melandaskan pemikirannya kepada Al-Qur’an dan Hadis, atau mereka yang tidak mampu melandaskan pemikirannya kepada kedua sumber tersebut.

Kita sering mendengar penyebutan istilah hukum Sekuler kepada hukum-hukum yang berlaku dalam sebuah Negara, tidak terkecuali Indonesia. Dan juga sering diperdengarkan tentang berlakunya hukum Islam dalam sebuah Negara, termasuk juga di Indonesia khususnya di Aceh.

Untuk merefleksikan pemahaman di atas kita bisa membuat sebuah perbandingan analisis kata qanun yang digunakan dalam pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh sebagai peraturan daerah dan pemaknaan qanun dalam makna refleksi hukum Islam.

Sebagai pengetahuan tentang qanun dalam herarki perundang-undangan Indonesia ada baiknya menyebutkan hirarki perundang-undangan tersebut menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ; Yaitu : Undang-Undang Dasar, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah (Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Perdes). Untuk urutan ini qanun disamakan dengan Peraturan Daerah (Provisi dan Kabupaten), sedangkan untuk qanun Pelaksanaan Syari’at Islam dalam rangka Otonomi Khusus maka qanun sama dengan Perda Provinsi.

Jadi qanun pelaksanaan syari’at Islam mempunyai posisi di bawah Perturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, yang harus tunduk kepada prinsif umum yaitu Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.  Kendati dalam Pasal 241 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh disebutkan : (1) Qanun dapat memuat ketentuan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum,seluruhnya atau sebagian, kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundangundangan.(2) Qanun dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).(3) Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud padaayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.(4) Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dikecualikan dari ketentuan ayat (1), ayat (2),dan ayat (3).

Artinya Undang-undang membenarkan pengaturan mengenai jinayah yang dimuat dalam qanun berbeda dengan Perda-Perda yang berlaku di daerah lain.

Dalam hukum Islam selama ini kita kenal adanya fiqh sebagai hasil pemahaman dari Al-Qur’an dan hadis, kamudian setelah lama adanya fiqh yang dijadikan panduan dalam mengamalkan hukum Islam yang dilanjutkan dengan lahirnya kitab-kitab syarh dan khasyiyah, dan tarakhir kita ketahui dengan nama qanun. Mungkin dalam pemahaman sebagian kita bahwa urutan (Kitab Fiqh, Kitab Syarh, Kitab Khasyiyah dan Qanun) adalah merupakan hirarki dari aturan hukum Islam, sebenarnya bukan. Karena dalam aturan pengamalan hukum dalam Islam bahwa semua kitab tersebut mempunyai posisi dan kedudukan yang sama, yakni merupakan hasil dari pemahaman Al-Qur’an dan Hadis Rasulullan. Karena ada kaedah yang menyebutkan “ Ijtihad tidak boleh dibatalkan dengan Ijtihad”.

Dari uraian di atas jelas kepada kita perbedaan antara hukum Islam dan hukum Sekuler dalam bingkai pemahaman hukum.


[*] Mahasiswa Prodi Fiqh Modern Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.