Inilah Saman Gayo Lues…Gayo Lues….Sebait syair Saman dinyanyikan dengan riangnya. Jemari kecil, menepuk-nepuk dada lalu terhenti dan tertawa. Si Alim lagi digoda oleh dua temannya. Dia tertawa karena senang bermain Saman. Dua teman alim tadi lalu berbaur dan menggoyangkan badan serempak sambil bersenandung Ini le Saman Ari Gayo Lues. Begitulah berulang kali mereka lantunkan.
Alim adalah anak Gayo Lues yang baru berusia 5 tahun, begitupun dua temannya tadi. Mereka memainkan Saman sebagai bentuk refleksi masyarakat Gayo Lues secara umum. Di kabupaten berjuluk seribu bukit itu, Tari Saman sudah mendarah daging dalam diri masyarakatnya, sehingga ber-saman menjadi gerakan spontan yang dilakukan setiap hari.
Begitu pula yang terlihat di teras Gedung DPRK Gayo Lues, Rabu (18/5). Dua orang dewasa sedang duduk di tangga lantai. Mereka terlihat terlibat percakapan, tapi tak seberapa lama, seorang laki-laki mulai menggoyangkan tangan menyentuh dada, bernyanyi dan bergerak, rupanya—tanpa disadari—mereka sedang mengikuti gerakan Tari Saman pula.
Jadi, kalau ke Gayo Lues jangan lupa menonton Saman,karena tiada kegiatan lain sedahsyat dan sehebat Saman Gayo. Masyarakat Gayo Lues sendiri cukup fanatik pada tarian ini. Kaum tua hingga ke anak kecil. Birokrat, pengusaha, pedagang, petani, serta pelajar memahami Saman. Itulah Gayo Lues.
Kenapa Tari Saman begitu digemari? Kalau ditanya pada orang Gayo Lues jawabnya sederhana saja. Dengan ber-saman, maka dia sudah menunjukan dirinya sebagai orang Gayo. Dan bagi orang Gayo Lues sendiri, laki-laki yang tidak dapat ber-saman, sama dengan laki-laki yang tidak jantan dan cenderung dianggap ‘Banci’. Begitu pula posisinya di mata perempuan Gayo Lues.
“Malu kalau anak muda di kampung tidak bisa ber-saman,” kata Adhan, mahasiswa Gayo Lues yang juga pemain Saman.
Apa yang dikatakan Adhan tampaknya benar. Pada pertunjukan Saman Sara Ingi (semalam suntuk) yang digelar di desa Tungel, Kecamatan Rikit Gaeb, Gayo Lues, antara pasuken Saman Desa Tungel dengan pasuken Saman Blang Kuncir, dihadiri ribuan penonton. Selain masyarakat tampak juga tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh-tokoh politik di Gayo Lues. Arena di bawah rumah panggung itupun dipenuhi oleh kaum perempuan dari berbagai usia, terutama gadis-gadis yang siap mendukung tim samannya.
Saman Gayo bukan sekedar kesenian yang bagus untuk pertunjukan, bagi masyarakat Gayo Lues juga sebagai pemersatu seluruh elemen masyarakat.
Dalam pertunjukan tari Saman, selalu mengasyikkan, lantaran setiap kali ada Tari Saman semalam suntuk selalu ada perempuan penari ‘Bines’. Pimpinan penari Bines ini disebut Seberu (Gadis) dan untuk penari Saman dipanggil Sebujang (Bujang). Tari saman dalam syairnya selalu menyampaikan pesan-pesan pembangunan. Begitu pula dengan Tari Bines, syair-syairnya bercerita perjalanan pembangunan. Dan, syair yang keluar semakin malam semakin menghibur dengan kata-kata jenaka pula. Bines ini tampil disela-sela pergantian Pasuken Saman agar penari Samankembali semangat dan bertenaga, selebihnya untuk membuat penonton tidak mengantuk.
Begitulah Saman Gayo Lues,selalu tampil atraktif dan mempesona, terutama jika dimainkan di kalangan masyarakatnya sendiri. Penonton Tari Saman biasanya pun cukup ramah dengan pendatang dan siap mempersilakan siapapun pendatang ke acara itu di posisi paling depan. Dan jangan heran, apabila di posisi itu pula banyak anak kecil yang mulai tertidur. Begitulah Saman Gayo, sebuah tarian dunia dari Gayo Lues. Ini le Saman Ari Gayo Lues…Gayo Lues (Inilah saman Dari Gayo Lues)
Kemudian Fikar W Eda pun menggambarkan Tarian Saman melalui Puisi berjudul Seribu Saman;
SERIBU SAMAN
fikar w.eda
seribu jemari
lincah rapi
menari
melukis hujan
seribu siku
tempat bertumpu
lengan dan bahu
menyibak awan
seribu kepala
bersusun rata
rampak menyangga
bukit dan hutan
seribu tubuh
benteng teguh
tak lepuh
menahan hempasan
seribu tangan bersaman
melukis hujan
seribu siku bersaman
menyibak awan
seribu kepala bersaman
menyangga bukit dan hutan
seribu tubuh bersaman
menahan hempasan
dengarkan suara itu
lengking ikhlas orang-orang tanpa alas kaki
dering pahit tanpa keluh dari relung Leuser
gema bersahut dari bukit-bukit gembur
menderu dalam gumam orang-orang Terangon
memantul di dinding tebing Pining
mengabarkan keteguhan
mengibarkan harapan
bukit ke bukit
angin bersaman
belantara bersaman
rabalah perih kami
lembah ke lembah
sungai bersaman
batu bersaman
bebaskan belenggu kami
bersama desau pinus yang lembut
kami kirimkan saman
untuk mu!!
Jakarta-Banda Aceh Maret 2011
penyair kelahiran Aceh, sejak 1997 tinggal di Jakarta.
Catatan:
– Leuser, taman nasional yang menjadi paru-paru dunia
– Tari Saman bermuasal dari Kabupaten Gayo Lues.
– Terangon dan Pining, dua daerah prihatin di Gayo Lues, ketika Tari Saman getarkan dunia.
(Jauhari Samalanga | The Atjeh Post)