Majda El Muhtaj*
Sekalipun sudah memasuki 13 tahun usia reformasi, perjuangan penegakan HAM masih mengalami kebuntuan yang serius. Intimidasi, penggusuran, pelukaan, pembunuhan dan penyengsaraan masih terjadi di negara kita. Adegan-adegan tangis kepedihan dan kegetiran meraih keadilan menghiasi keseharian media kita. Komitmen pada pelayanan publik yang dikuatkan dengan berbagai regulasi belum mampu menguatkan komitmen aksi penyelenggara negara dalam memastikan perlindungan dan pemenuhan HAM.
Tidak saja dalam konteks nasional, problematika penegakan HAM juga dirasakan menemukan kebuntuan di level daerah. Para penyelenggara pemerintahan daerah dengan berbagai kewenangannya masih bertengger pada asumsi klasik yang menyesatkan bahwa kebaikan hati dan tindakan karitatif dipandang sudah cukup melayani dan memberikan nuansa perlindungan hak-hak masyarakat. Padahal, hak-hak masyarakat adalah sesuatu yang mutlak dan konstitusional yang berimplikasi pada hadirnya kewajiban negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi HAM. Pemerintah tidaklah semata-mata dimaknai eksekutif semata, tetapi juga legislatif dan yudikatif berikut agen-agen negara, seperti Polri dan TNI. Termasuk juga pemerintahan daerah, kepala daerah dengan perangkatnya dan DPRD.
Misalnya, pengarusutamaan HAM sangat kentara bagi tugas-tugas kepolisian. Polri menyadari fungsi yang diembannya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia. Lahirnya Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah contoh baik yang patut diikuti instansi lain. Sekalipun masih dalam tataran kemajuan normatif, setidaknya telah terbangun pemahaman dan kesadaran bahwa sebagai agen negara, Polri mengemban amanat tugas pokok dan fungsi yang menjunjung tinggi dan menerapkan prinsip-prinsip dan standar HAM universal.
Dari pemahaman yang baik inilah kita dapat berharap untuk memunculkan kepeduliaan yang nyata bagi upaya pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM di tengah-tengah masyarakat. Sederetan kemajuan normatif ini mesti mampu digerakkan menjadi lebih berdayaguna bagi kehidupan masyarakat. Jika tidak, maka retorika dan semantika pembangunan adalah semu. Akibatnya, kesengajaan memarjinalisasi dan mengalienasi masyarakat dari hak-hak dasar mereka menjadi sesuatu yang tak terbantahkan. Sadar akan HAM sesungguhnya memudahkan kita melangkahkan kaki bersama-sama berkontribusi menatap masa depan Indonesia dalam harmoni sosial dalam bingkai kerekatan kepedulian dan tanggung jawab penguasa terhadap kehidupan dan kebutuhan rakyatnya.
I
Beragam peristiwa sepanjang 2011 di Indonesia pada umumnya mendeskripsikan kepedihan dan keprihatinan atas perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Lihatlah duka rakyat Papua, korban lumpur panas di Sidoarjo, nasib keluarga para aktivis yang diculik paksa, penggusuran masyarakat di areal pembangunan bandara internasional Kualanamu, dan sebagainya. Hak atas kebebasan dan kemerdekaan menyampaikan pendapat misalnya masih harus berhadapan dengan cerminan hukum yang ambigu karena diperankan oleh aparatur hukum yang tidak cerdas. Media dan jurnalis masih ditempatkan dalam posisi marjinal.
UU Keterbukaan Informasi Publik merupakan produk hukum yang mumpuni dalam merekayasa secara positif kehidupan sosial kebangsaan kita dengan menghormati dan melindungi hak atas akses untuk informasi. Tapi, pemerintah masih terkesan ragu-ragu. Hak untuk informasi belum mampu dimanifestasikan dengan baik karena paradigma sesat masih menghinggapi aktor-aktor pemerintahan kita. “kalau bisa diperlambat, kenapa dipercepat?” Sengketa informasi, agaknya, sengaja digunakan sebagai opsi dan sarana efektif untuk memperlambat realisasi hak untuk informasi.
Perjuangan penegakan HAM tidaklah mesti dipahami sebagai bentuk keinginan untuk melakukan perlawanan dan penolakan. Perjuangan penegakan HAM juga bukan bentuk sinisme terhadap pemerintahan. Tapi memang begitulah uniknya. Dengan menggugat negaralah hak-hak itu bisa terwujud. Bayangkan, realisasi 20 persen anggaran pendidikan pada APBN baru terpenuhi setelah berkali-kali menggugat UU APBN di Mahakamah Konstitusi. Haruslah dimengerti, perjuangan penegakan HAM adalah tugas dan tanggung jawab kita semua karena ada kesadaran universal bahwa manusia adalah makhluk yang bermartabat dan setiap orang berhak atas kemartabatan, sebagaimana ditegaskan Pasal 1 DUHAM PBB, “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.”
Kesadaran inilah yang tidak “membumi” sehingga stereotip dan pandangan-pandangan pejoratif muncul secara masif untuk menggusur dan bila perlu mencederai para pengusung perjuangan penegakan HAM. Aneh jika kita renungkan. Kenapa masyarakat korban pelanggaran HAM memilih kecewa mengadu kepada pemerintah? Kenapa mereka justru lebih puas mengadu ke LSM, media atau lembaga-lembaga yang peduli dengan perjuangan HAM? Lalu, celakanya pemerintah menganggapnya sebagai “musuh.” Pejuang HAM vis a vis dengan pemerintahnya sendiri. Atau yang lebih berbahaya, jika anggapan semakin kuat, musuh rakyat hari ini adalah pemerintahnya sendiri dan begitu pula sebaliknya. Kenapa ini bisa terjadi?
II
Hadirnya Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia (selanjutnya: Ranham) sesungguhnya diakui sebagai dokumen resmi sebagai bentuk kebijakan HAM negara dan karenanya secara efektif membantah sikap tidak peduli pemerintah itu sendiri. Diyakini bahwa Ranham dengan kekuatan jejaring HAM yang sangat dahsyat di seluruh Indonesia, baik propinsi maupun kabupaten/kota, akan semakin mengefektifkan langkah-langkah perlindungan dan pemenuhan HAM. Ironisnya, dua dekade Ranham Indonesia berlalu (1998-2003 dan 2004-2009) tidak juga efektif melakukan hal-hal yang signifikan bagi penguatan sense of humanity. Saat ini, Ranham memasuki gelombang ketiga (2011-2014), apakah semakin mampu menguatkan komitmen aksi HAM ataukah tidak, masih harus dibuktikan kinerjanya. Satu prioritas program tambahan yang penting telah dimasukkan dalam Ranham Indonesia gelombang ketiga, yakni pelayanan komunikasi masyatrakat (yankomas). Moga bisa diberdayakan dalam merespon secara cepat berbagai bentuk pelanggaran HAM di daerah.
Refleksi terhadap perjuangan penegakan HAM mutlak dilakukan. Apa yang salah dan kurang dari gerakan-gerakan advokasi HAM yang diperankan masyarakat sipil di Indonesia dan Sumatera Utara? Begitu juga halnya dengan sikap pemerintah dan pemerintah daerah. Kenapa perlindungan dan pemenuhan HAM sebagai kewajiban konstitusionalnya tidak pernah maksimal diimplementasikan? Dua pertanyaan ini patutlah menjadi renungan bersama. Terlihat di satu sisi kelelahan masyarakat dan individu yang menjadi korban pelanggaran HAM dalam perjuangan menuntut hak-hak mereka. Sementara sikap permisif pemerintah dan pemerintah daerah semakin saja ditunjukkan atas beragam pelanggaran HAM yang terjadi di sisi yang lain.
Ada ruang dan logika terputus selama ini. Sejatinya, kekuasaan dalam konteks negara hukum demokratis Indonesia, haruslah dimaknai sebagai mandat rakyat yang mesti ditunaikan dengan benar karena di dalamnya sarat dengan pembatasan kekuasaan, akuntabilitas, ingeritas, soliditas dan solidaritas ke-Indonesiaan, pemberdayaan dan yang terpenting berkaitan dengan standar-standar HAM. Tata kelola pemerintahan yang buruk adalah iklim yang paling kondusif untuk menyuburkan penumpukan dan selingkuh kekuasaan sekalipun diyakini berisiko pada tindakan-tindakan pelanggaran HAM, baik tindakan langsung (acts by commission), maupun tindakan-tindakan pembiaran (acts by ommission).
III
Hemat saya, uji publik pemimpin ke depan sudah seharusnya memasukkan wacana pemahaman dan kesadaran HAM sebagai salah satu tolok ukur kepemimpinan seorang pejabat publik. Mengerikan jika bangsa ini terus memberikan mandat kekuasaan kepada mereka-mereka yang sama sekali tidak memahami dan menyadari tanggung jawab dan kewajiban HAM yang melekat padanya. “Kambing hitam” karena regulasi sudah tidak laik lagi. Penguasa memiliki kewenangan dan dibekali diskresi dan dengan cara pandang dan cara rasa yang humanistik, seyogianya kebijakan dan produk-produk keputusan politik mampu meralisasikan ekspektasi publik. Haruslah disadari bahwa sebagai kewajiban dan tanggung jawab HAM tidaklah dipahami sebagai beban, melainkan bagian penting dari pelaksanaan tugas pokok dan karenya membutuhkan soliditas dan integritas diri yang teruji.
Begitu juga kepada publik untuk segera harus memahami dan menyadari hak-hak mereka. Bekali diri dengan pengetahuan, wawasan dan teruslah membangun konsolidasi kekuatan kolektif dalam proses pembelajaran HAM yang baik. Acapkali kepeduliaan dan suara lantang penegakan HAM digelontorkan di saat kepanikan-kepanikan tertentu muncul. Sikap ini harus diubah dengan berupaya serius mengenali hal-hak mendasar yang melekat pada diri kita. Dalam perspektif HAM, rakyat dan masyarakat adalah pemilik hak (rights holder). Apalagi hak-hak itu dijamin dan dilindungi dalam konstitusi Indonesia. Itulah yang dinamakan dengan hak-hak konstitusional (constitutional rights).
Pendidikan kewarganegaraan yang demokratis dan pendidikan HAM patutlah menjadi bagian dalam menguatkan pendidikan karakter yang saat-saat ini ramai disuarakan. Internalisasi karakter kebangsaan tidaklah bisa dipisahkan dengan kontekstualisasi dinamika kehidupan nasional dan internasional. Wacana dan aksi dunia menempatkan sosok-sosok individu dan masyarakat dalam sebuah negara sebagai pemilik hak yang dijamin dalam instrumen-instrrumen HAM, baik nasioal dan internasional. Harusnya fakta ini menjadi penguat dan pendorong bagi hadirnya warga negara yang melek akan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, juga mampu berinteraksi dalam konstruk kehidupan kebangsaan yang mampu menyahuti ekspektasi warga negaranya. Di sinilah keteladanan kebangsaan itu harusnya diinternalisasi dan bahkan dijadikan teladan. Sekali lagi, ini hanyalah refleksi ringan yang mendasar bagi kita semua.
IV
Menyambut Hari HAM Sedunia ke-63 tahun ini PBB menetapkan tema yang sangat penting: “Media Sosial dan HAM.” Realitas yang tidak bisa dipungkiri bahwa publik semakin eksetensif menggunakan media dalam mengagregasi dan mengartikulasikan segenap ekspektasinya. Dan, melalui media sosial hal itu tentu saja kemduian menembus batas-batas demarkasi dan teritorial. Letupan aksi rakyat yang terjadi di Tunisia, Mesir, Libya, Suriah dan Yaman bahkan juga di kawasan Eropa seperti Yunani, Italia, Inggris, Rusia dan Belgia, bahkan di kawasan terdekat Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina dan Myanmar adalah potret langsung kegaduhan-kegaduhan sosial sebagai akibat dari degradasi, demoralisasi dan delegitimasi penguasa. Ruang penegakan HAM yang minim, akuntabilitas pemerintahan yang buruk, perselingkuhan kekuasaan dengan korupsi dan berbagai pelanggaran HAM menjadi isu dominan yang kemudian berubah memunculkan kekuatan raksasa bagi rakyat dalam menjerumuskan penguasanya sendiri dalam jurang kehinaan dan ketidakberdayaan.
Bagi kita, peristiwa-peristiwa ini harus menjadi pelajaran berharga. Media berperan penting dalam mentransformasikan gagasan-gagasan HAM. Jurnalisme dengan pendekatan berbasis HAM (human rights-based approach to journalism) adalah aktivitas jurnalistik yang senantiasa berpijak pada nilai-nilai dan standar HAM universal. Dengan piranti dan pijakan pada standar HAM, pemberdayaan, non-diskriminasi, akuntabilitas dan partisipasi, media sesungguhnya akan menjadi sahabat dalam menerjemahkan taraf ekspektasi publik mendorong terwujudnya tujuan nasional Indonesia. Mengusik dan menelantarkan ruang hak-hak publik adalah cara-cara bodoh karena secara efektif akan menjadi langkah utama dan terdepan dalam memunculkan sikap antipati terhadap kekuasaan pemerintahan yang berkuasa. Refleksi ini seharusnya mendorong kita semakin menyadari pentingnya media dalam perannya mewujudkan pembangunan berbasis HAM di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara.© Semoga Bermanfaat
—-
*Kepala Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Medan (Pusham Unimed)