Kisah Nelayan Gayo Dan Seorang Profesor

Cerpen : Edelwis Mentovani Diara*

——

Jika kita umpamakan, kehidupan ini sebagai gaya gravitasi dalam eksperimen newton maka ketika seseorang yang sedang berada di atas gedung dengan ketinggian 300 m dan berjalan di puncak gedung itu tanpa hati-hati, maka orang itu dapat terjatuh ke bawah dengan kecepatan yang sangat cepat. Saat itu hanya ada dua kemungkinan “hidup atau mati” aku yakin kau tau kawan gaya gravitasi itu tak pernah pilih-pilih atau mungkin mukzijat kebesaran Allah SWT yang akan menyelamatkannya apabila ia terjatuh.

Sama halnya dengan kehidupan jika kita sedang berada di atas dan tidak dapat berhat-hati maka kita akan terjatuh ke bawah. Banyak sekali orang ketika berada di atas maka ia tidak mampu melihat ke bawah, baginya sesuatu yang hina itu selalu di bawah. Bagaikan sebuah intan dalam hidupku bahwa aku dapat belajar dari seseorang awan yang bernama namanya Awan Tingkem. Kami betemu secara kebetulan saat ratu siang terbit dari ufuk timur, disebuah Danau yang indah dengan panoramanya dan sesekali terliat riak gelombang yang disertai angin yang bertiup sepoi-sepoi seakan menambah ketenangan hati saat angin itu berhembus ditepi telingaku.

Awan Tingkem adalah seorang nelayan dari negeri berkabut yang lebih termashur dengan negeri Antara atau negeri Reje Lingge atau negeri Gayo, sebuah daerah yang konon dulunya termashur dibelahan bumi ini. Bagaikan sebuah hal yang mustahil jika  kesana kau akan meloncat, karena terpana udara yang sejuk di balut kabut samar-samar tinggi menjulang ke angkasa, kau akan merasa laksana di atas awan. Gunung-gunugnya berdiri tegak bagaikan raja Wanar, kuat, danaunya yang terbentang indah, serupa dengan hamparan jagat raya yang tiada batas, udara dan burung-burung berkicau airnya yang tawar dan di isi oleh ikan khas yaitu ikan “Depik”.

Kawan !, jika kau tinggal di sana yakin hatimu akan merasakan sentuhan alam yang merasuk kedalam jiwa.

Awan itu mengatakan padaku bahwa dulunya dia mempunyai hal yang menarik dalam kehidupannya. Di tundukkannya kepalanya, mata ku ingin menatap tajam matanya, matanya yang penuh debu, bajunya yang kusam, serta wajahnya yang kelihatan lelah. Membuat rasa kagum ku semakin merajalela.

Lalu dengan lirih ia berkata taukah kau, kadang orang-orang itu tidak sebagaimana tampaknya, ku lihat ada sedikit kerutan di keningnya, aku yakin kawan bahwa itu artinya dia pernah merasakan hal serupa dari apa yang telah ia katakannya. Dengan sedikit kepalan tangan diangkat wajahnya dan mulai bercerita.

Sangat ku penasaran tentang dirinya, pertemuan yang tiba-tiba pun semakin akrab jadinya, sepertinya dia ingin keluarkan semua kegelisahannya kepada ku, sembari bercerita, engan purau dia berkata samar-samar. Dia lelaki berkaca mata, wajahnya sangat tampan melebihi Robert Pattison tubuhnya Wanar, rambutnya sangat mengagumkan, tatapan mata nya penuh dengan tujuan, dingin sangat dingin… siang itu aku berjumpa dengan nya di tepi pantai  dia katakan jika ia ingin tahu tentang lut di Gayo ini, dengan memegang tangkai kacamatanya ia mengkuap terkena cahaya, mengatakan bahwa dirinya seorang profesor. Tujuan penelitian yang mengharuskannya untuk menginjak tanoh Gayo ini, ia terpesona, terpana dan banyak di buatnya, aku tidak dapat mengira nak, jika kau dapat bertemu dengannya.

Profesor itu berkata Nelayan! dapatkah kau membawaku dengan perahu medang ini ?. Ya, tentu saja  sahut ku dengan bimbang. Pada detik itu laut tenang, udara sejuk, dingin menusuk paru-paru, perjalanan dengan seorang profesor pun di mulai dengan tangan kasar ku, ku pegang kayu sampan ku, dan mulai mengayuh nya, daratan semakin lama semakin kelihatan samar-samar oleh mata, semakin kecil dan menjauh hingga hilang dan tak kelihatan.

Hening, senyap karena suasana kapal itu sangat diam dan kaku, dedaunan yang ada di sekitar laut pun ikut tertunduk, tetapi beberapa detk kemudian, laki-laki itu mulai bicara memecah keheningan, nelayan! apakah kau dari dulu seperti ini?, yang hidup di lautan tanpa sebuah pendidikan?. Kata-kata itu melesat masuk ke sel-sel saraf ku dengan kecepatan tidak terhingga, seolah menjadi tamparan berharga kepadaku. ku jawab dengan lirih ya… aku di laut ini mencari nafkah dan membantu orag tua ku mencari ikan, dan aku tertunduk, dan dengan malu berkata aku tidak bersekolah, ah kata-katanya merasuk tajam ke dalam hati ku.

Sudah ku katakana pada mu, dia angkuh. Ku kira sifatnya persis parasnya, tapi tampang Robert Pattison itu dalamnya busuk.

Ku tatap wajah awan itu dengan memperhatikan raut mukanya yang kusam dan kemerah-merahan. Aku yakin itu tandanya ia sangat marah…dengan sesuatu yang diingatnya, aku tangkap emosi itu dan berkata, lalu bagaimana Wan?”

Baiklah nak akan kulanjutkan ceritanya, mata ku memandang tajam matanya, aku tak dapat membunuh rasa penasaran ku sobat… begitu kuat dan kejam.

Dia lontarkan kepada ku pertanyaan lagi dan berkata, apakah kau pandai matematika? dan aku langsung menjawab, tidak !  aku tidak tahu matematika ! dan dengan cepat juga ia menjawab, tau kah kau, dengan tidak pandai berhitung kau sudah kehilangan 25% dari hidupmu? ada sedikit senyuman yang tidak semesti terurai dibibirnya, itu artinya ia meremehkan ku, hatiku sakit, tapi tak apalah, mungkin itu adalah nasib ku, aku masih bisa bersabar.

Tapi, belum habis rasa kecewa ku, di bertanyalagi, lalu bagaimana dengan biologi? katanya. Sambil mengayuh dengan kayuhan yang kuat aku berkata, apalagi itu, aku tidak tahu, sahut ku.

Biologi itu adalah ilmu alam sahutnya , tau kah kau nelayan, dengan tidak tau biologi kau sudah kehilangan 25% lagi dalam hidupmu, jadi totalnya sudah 50%

Mendengar semua itu, aku terhenyak dan membisu. Dalam benak ku terlintas, apakah orang-orang yang pintar selalu menganggap orang yang tidak sekolah adalah orang yang bodoh,  kadang kesabaran ku sudah menurun.

lalu Wan, apa yang terjadi selanjutnya? Tanya ku. Dengan keheningan awan tersebut melanjutkan ceritanya, sepertinya terlihat wajah kesal di wajah awan itu.

Ah, ternyata lagi-lagi dia bertanya ilmu IPS, dan aku lagi-lagi tak mampu menjawabnya dan dia berkata bahwa aku telah kehilangan 25% lagi di dalam hidupku. Dan artinya aku telah kehilangan 75% dalam hidupku. Setelah mengatakan itu, profesor itu tersenyum dengan sinis kepadaku, itusenyuman yang menusuk jiwa.

Aku berfikir dalam benak ku, apakah begitu kadar pengukuran orang yang pintar terhadap orang yang bodoh? di membuat hati ku terpuruk karena aku tidak dapat bersekolah, aku sangat menyesal, karena dulu aku tidak bersekolah. suara awan itupun sangat purau ketika mengatakan itu, wajahnya tampak melukiskan penyesalan.

Tapi awan hanya dapat menahan emosi terhadapnya. Dan detik itu pula aku tidak menganggap dia sebagai orang yang pintar. Tapi orang yang paling bodoh, bagiku orang yang pintar itu selalu tidak dapat menjadi sempurna, semakin lama dia berjalan, semakin lama dia mencari , ia semakin menemukan bahwa ia semakin miskin dan sangat membutuhkan…tapii.. “tapi apa Wan?” ku tangkap kalimat itu di dalam memori otakku, “lalu bagaimana cerita selanjutnya Wan? aku sangat penasaran Wan? aku yakin awan sangat membenci orang itu? aku yakin itu Wan?” rasa penasaran ku semakin besar.

Dengan sedikit senyum simetri di bibir Awan Tingkem, aku bisa membaca bahwa saat ini adalah saat-saat yang sangat ditunggu… senyuman itu membuat gigi awan tampak berkilau. Ah kawan, saat keadaan seperti itu awan itu seperti Robert pattison ke 2 kawan.

Lalu dia melanjutkan ceritanya dengan nada yang sedikit agak tersendak… awan itu pun melanjutkan tiba-tiba langit menjadi kelam, seakan tidak mau mengalah . Hujan deras turun mengguyuri kami, suara gemuruh petir menghentak lautan dan seketika itu pula kapal yang kami tumpangi terbalik, dengan secepat mungkin aku berenang, dan menyelamatkan nyawaku.. ah tapi ternyata…

“Tapi apa wan?” sahutku dengan senyuman lebih lebar, awan menjawab, ternyata profesor itu tak pandai berenang, dia meminta tolong padaku.. sebenarnya aku tidak ingin menolongnya, tapi hati ku merasa kasihan padanya, ku angkat dia hingga sampai daratan, beberapa saat kemudian dia tersadar dari kepingsanannya. Dan taukah apa yang ku katakana kepadanya?” aku dengan segera menjawab  “ apa Wan?”

Kukatakan padanya taukah kau professor, dengan tidak pandai berenang kau dapat kehilangan 100% dalam hidupmu, maka belajarlah,… professor itu pun terdiam membisu dan kaku.

Tiba-tiba saja kawan, aku tersadar  aka & sesuah… dan aku ingin tersenyum… desuran angin menyapa aku dan awan… di bawah sang fajar senyum kami pun semakin melebar. Sinar ultraviolet matahari menembus dedaunan aku tersentak dan tersadar “bahwa mulai sekarang aku tidak peduli seberapa pintar karena yang aku peduli adalah seberapa besar diri seseorang untuk kepintarannya itu.

Waktu semakin memakan perjumpaan kami, matahari mulai enggan menampakkan diri, tidak terasa hari sudah petang. Waktu memang telah menelan tawa kami, tapi kami tidak peduli akan itu, sudah kukatakan padamu di awal kawan bahwa berjumpa pada awan adalah bagaikan intan dalam hidupku. Dan selama nya akan kukenang.

*Siswa Kelas X SMAN 1 Takengon 

——-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.