Takengon | Lintas Gayo – Tokoh Gayo dengan sejumlah latar belakang ketokohan, ulama, pendidikan, birokrat dan sejarawan, Drs H Mahmud Ibrahim jajaran Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah yang kurang respon terhadap penelitian sejarah Gayo.
“Pemkab dan DPRK harus mengalokasikan dana untuk penelitian tentang identitas Gayo,” kata Mahmud Ibrahim yang dilahirkan di Mesir Takengon, 29 Juli 1929 ini saat bertandang ke Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Aceh Tengah, Rabu (21/12/2011).
Sejauh ini, sejarah Gayo seperti kerajaan Linge masih sebatas “cerak” (cerita : Gayo-red) saja, timpal penulis buku Mujahid Dataran Tinggi Gayo ini. “Diskripsi tentang Linge tidak ada, penelitian juga tidak ada. Karenanya harus ada anggaran khusus oleh Pemkab,” desak Mahmud Ibrahim.
Dengan raut muka kecewa, sosok yang tampak masih sehat ini menyatakan penilaiannya jika Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan anggota DPRK setempat mengganggap sejarah dan adat Gayo itu tidak penting. “Jika Gayo hilang bagaimana ?” tanya Mahmud Ibrahim.
Dia mengingatkan, jangan samakan Gayo dulu dengan sekarang. “Jika dulu invasi budaya tidak seperti sekarang. Kaum muda Gayo sekarang mempan dimakan budaya luar, karenanya perlu diantisivasi,” katanya lebih jauh.
Contoh pergeseran budaya yang menimpa generasi muda Gayo menurut Mahmud Ibrahim, kekanak beru gere mera ne i pongni ibie wan sesara buet (anak gadis tidak mau lagi dikawani oleh bibinya disaat-saat tertentu:Gayo-red). Contoh lain, Anak muda sekarang tidak mau menikah jika tidak ada keyboardnya.
Parahnya, orang tuanya seperti lari dari tanggung jawab. “Orang tua tidak mau terbeban atau pusing dengan permintaan anaknya dan akhirnya memenuhi permintaan tersebut,” ujarnya bernada miris.
Terkait penemuan bukti sejarah di Mendale, Drs H Mahmud Ibrahim mengaku sangat gembira dan karenanya perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk lebih membuka kegelapan asal muasal Gayo. “Ini adalah awal yang sangat bagus untuk menemukan jati diri Urang Gayo,” cetus Mahmud Ibrahim. Dia juga mengaku sangat kecewa karena tidak menghadiri sarasehan dan peluncuran buku hasil penelitian tersebut.
Kedatangan mantan Sekretaris Wilayah Daerah Tingkat II Aceh Tengah ini ke kantor tersebut untuk mencari buku “Gayo Merangkai Identitas” karya Ketut Wiradnyana dan Taufiqurrahman dari Balai Arkeologi Medan Sumatera Utara yang diluncurkan 6 Desember 2011 lalu di Gedung Olah Seni (GOS) Takengon.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Disbudparpora Aceh Tengah, Mukhlis Gayo SH menyerahkan buku yang dicari Drs Mahmud Ibrahim dan menyatakan pihaknya dalam waktu dekat ini akan menggelar Bedah Buku tersebut yang bertujuan agar pencetakan berikutnya dapat lebih sempurna, terutama terkait istilah Gayo.
Sementara dari informasi yang diperoleh Lintas Gayo dari salah seorang anggota DPRK Aceh Tengah, Syirajuddin AB beberapa waktu lalu, dirinya berjanji mengupayakan lanjutan penelitian sejarah Gayo dianggarkan kembali melalui APBK Aceh Tengah di tahun 2012.
(Windjanur/03)
.