Takengon | Lintas Gayo – Lelaki itu terlalu tua untuk sebuah pekerjaan menyalurkan koran lama atau koran “basi” dengan berjalan kaki. Namun, lelaki tua itu masih bisa melakoni profesi yang sudah digelutinya sejak 45 tahun lalu. Dia dipanggil Teungku Hasballah Luthan, mantan wartawan dan loper koran top di masanya. Hebatnya, sampai tadi pagi dia masih tetap menjadi loper koran. Masalahnya, apakah orang mau membeli koran out of date yang diedarkan Teungku Hasballah Luthan? Malah koran itu ada yang sudah lusuh karena telah berusia sebulan yang lalu.
Lelaki tua itu tetap yakin kepada prinsip “kalau mau berusaha pasti ada rezeki.” Dari tempat tinggalnya di Desa Lampahan Kabupaten Bener Meriah, sekitar 20 Km dari Takengon, lelaki tua itu tetap berangkat mengantar koran kepada para pelanggannya. Dalam usia yang tergolong sangat senja itu, dia masih sanggup menempuh perjalanan pulang pergi dari Lampahan ke Takengon untuk mengedarkan koran dan majalah lama itu. Wajahnya memperlihatkan raut kelelahan yang amat sangat. “Mau bagaimana lagi, asap dapur 12 orang anggota keluarga sepenuhnya tergantung pada usaha ini,” katanya, Kamis (29/12) di Takengon.
Perjalanan mengedarkan koran dan majalah bekas itu ditempuhnya bukan dengan sepeda motor atau mobil. Orang sering geleng-geleng kepala dan iba melihat lelaki tua berjalan kaki dari Lampahan ke Takengon sambil kedua tangannya menggamit koran-koran lusuh. Berarti saat itu dia sedang tidak memiliki uang untuk ongkos. Melihat Teungku Hasballah berjalan sendiri, para pengendara mobil atau sepeda motor menawarkan tumpangan. Sering dia dibonceng orang sampai ke desa di depannya, kemudian dia melanjutkan lagi perjalanan sampai ke Takengon. Inilah pekerjaan seorang lelaki tua yang tetap setia menyalurkan informasi kepada masyarakat seperti era tahun 1970-an dulu.
Dia mengaku capek, tetapi mengedarkan koran dengan berjalan sudah menjadi olahraga yang membuat tubuhnya tetap bugar diusia 74 tahun. Kalau dia tidak jalan sehari saja, itu yang sering membuatnya jatuh sakit. Mengantar koran selain hobi yang sudah lama ditekuni, juga sebagai olah raga joging bagi dirinya. Itu alasan dari Teungku Hasballah.
Dengan pekerjaan sebagai pengedar koran memang tidak menjamin akan memperoleh penghasilan tetap. Namun, saat ada berita hangat maka orang akan mencari Teungku Hasballah, karena dia selalu menyimpan koran dengan berita hangat itu. Kalau sudah demikian, orang tidak segan-segan menghargai korannya Rp.50 ribu per eksemplar. Meskipun profesi itu kurang menjanjikan, tetapi dia sangat menikmati pekerjaan ini, ungkap mantan wartawan Atjeh Post itu. “Pergaulannya jadi lebih luas mulai dari masyarakat biasa sampai para pembesar di dua kabupaten itu,” jelasnya.
Saat masih jaya sebagai wartawan, hal yang paling menyenangkan karena bisa bertemu langsung dengan para pejabat. Sebaliknya, hal yang paling mengerikan, dia pernah dia dikejar-kejar orang karena terlalu keras menulis sebuah berita. Muridnya dibidang jurnalistik hampir seribu orang, karena sekitar tahun 1980-an dia ditunjuk sebagai perwakilan sekolah jurnalistik El-Sinar untuk wilayah Aceh. Kini anak didiknya sudah pada pensiun dari wartawan, tidak ada lagi yang aktif.
Untuk menutupi kekurangan penghasilan dari penjualan koran, dia memiliki sepetak kebun kopi dan 3 pintu kios kecil di desa Lampahan. Kebun dan kios itu, kini dikelola oleh anak-anaknya yang sudah menikah. Sedangkan kebutuhan dapur masih sangat tergantung kepada kegigihan Teungku Hasballah dalam mengedarkan koran. Dengan penghasilan yang tidak mencukupi, ternyata dia bisa memberi makan 12 orang penghuni rumahnya.
Teungku Hasballah memang lelaki tangguh yang tetap bugar karena kebiasaannya joging setiap hari. Hanya pendengarannya yang sudah sedikit berkurang, fisiknya kelihatan cukup fit. Pekerjaannya sebagai pengedar koran lama lebih kepada sebuah hobi dan olah raga. Profesi ini yang selalu mempertemukan dia dengan masyarakat dan teman-teman lamanya. Kebiasaan joging Teungku Hasballah perlu dicontoh karena “resep untuk selalu bugar adalah tetap berjalan kaki,” ungkapnya.
(CiJur/03)
.