Rencana untuk menggali sejumlah informasi yang ditugaskan redaktur Lintas Gayo, Rabu (4/1/2012) mengkonfirmasi sejumlah pihak terkait perpolitikan dan kejadian karamnya boat wisata di Danau Lut Tawar awal tahun 2012, minggu (1/1) lalu akhirnya saya abaikan.
Sebuah kenyataan, kota ini masih mengisahkan banyak fenomena sosial. Disaat para berikroratnya disibukkan dengan katanya memakmurkan, mensejahterakan rakyat dan para politisinya sibuk dengan urusan kampanye politik. Seakan mereka lupa ada persoalan yang belum mereka selesaikan. Kemiskinan masih menjadi momok di daerah penghasil kopi yang kepopulerannya konon bak “artis” dunia.
Adalah seorang pak tua, Zainal Abidin, usianya sekira 70 tahun, rambutnya panjang beruban. Warga Blang Kolak II Takengon. Itu pengakuanya saat di jumpai sedang bersusah payah mendorong sebuah becak dayung dengan gaya terbalik (mundur-red) dengan sejumlah muatan barang ditanjakan Jalan Yos Sudarso, tepat disamping Kantor Pemerintahan yang notabene pusat pelayanan masyarakat di kabupaten ini.
Panasnya terik matahari sudah biasa baginya, ia tetap berupaya dengan sisa umur rentanya mendorong muatan yang berisi sekarung beras, dan dua plastik belanjaan untuk diantar ke Blang kolak II dari pasar Inpres Takengon. Jarak 2 Km dia tempuh hari itu demi uang sebesar Rp.10 ribu.
Dengan raut muka senjanya, pak tua itu berhenti mendorong becaknya, pandanganya seperti ketakutan, mendesah dan bertanya, ”adik dari mana?.” dari kantor Bupati pak, perlahan ia meneruskan mendorong becaknya. Ia bertanya lagi dengan ramah, ”adik wartawan ? ” ia pak, saya wartawan Lintas Gayo”. Saya jawab pertanyaannya walau saya yakini, dia belum pernah dengar apalagi membaca berita di situs berita Lintas Gayo. Tanpa diminta saya bantu mendorong becak pak tua itu.
Matanya bertemu dengan mataku, aku merasa kasihan, wajahnya berkerut, matanya sayu, bungkuk model badannya. Ia batuk dan mendesah, ”dik sapaan pak tua itu padaku, jangan di muat di koran ya ”? Saya malu, saya orang miskin, pokoknya jangan di muat ya dik, nanti malu pemerintah kita, pintanya padaku. Aku terdiam dan jujur, hati ini menangis.
Matahari di siang itu teramat teriknya, seakan membakar apa saja. Saya, dan pak tua masih mendorong becak tua karatannya. Bersama, kami terus mendorong becak hingga depan kantor para wakil rakyat biasa bercengkarama dengan berbagai fasilitas pemberian rakyat. Atau mereka sedang berada di luar, mengurusi dana aspirasi, dana reses atau sedang diluar daerah melakukan kunjungan kerja melihat-lihat hebatnya negeri orang.
Sekali- kali saya bertanya pada pak tua yang masih punya tanggungan 6 orang anak tersebut. ”Pak, selain bapak mendorong becak punya pekerjaan lain tidak ? ” saya kembali bertanya. Dia menjawab punya, “saya juga bekerja bersihin parit dik, di Simpang Wariji, Jalan Lebe Kader”, jawabnya dengan napas ngos-ngosan. Dia mengaku sudah 20 tahun melakoni pekerjaan tukang bersih parit yang digaji yang ternyata tak cukup untuk menutupi kebutuhan hidupnya beserta keluarga.
Pak tua ini, mengaku belum pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah walau dia tidak mengharapkannya.
Sesaat ia berhenti mendorong becak, tertunduk diam. Ada air mata, dia mengusap air mata itu. Aku tak tega lagi menggali informasi dari pak tua itu. Aku tak sanggup dan pamit dengan terlebih dahulu berbagi rezekiku kepadanya, dia menganguk kepala, memberi salam padaku. Akupun berlalu dengan pikiran tak karuan.
Napasku terasa sesak dengan fakta kehidupan yang baru kusaksikan. Jujur, sebelumnya aku yang baru beberapa minggu menjadi wartawan yang bergabung dengan Lintas Gayo mulai jenuh. Apalagi dengan penghasilan yang tidak bisa diharap sama sekali. Namun setelah bersua si tua Zainal Abidin, semangat menjadi kuli penyampai pesan bangkit kembali.
Pintu hati pengelola negeri ini harus diketuk-ketuk, dan terkadang mesti dilabrak. Mungkin suatu saat mata mereka harus disiram dengan air comberan yang jadi sumber kehidupan si Zainal Tua agar mereka sadar untuk apa mereka digaji, bukan sekedar ikut apel pagi dan teken absen saban hari.
Ma’af pak tua Zainal, permintaanmu kuabaikan untuk tidak menceritakan sesaatku bersamamu kepada pembaca Lintas Gayo. Santai saja, kami tidak punya koran, hanya segelintir orang yang baca, dan mungkin tidak ada diantara mereka yang kau “khawatirkan” akan dapat malu itu.
(Maharadi/03)
.