Oleh. Drs. Jamhuri, MA
BANYAK ayat al-Qur’an yang menyuruh manusia berdo’a dan hanya kepada Tuhan manusia boleh berdo’a, Tuhan memberi keyakinan kepada manusia bahwa Ia akan kabulkan semua do’a hamba-Nya. Hadis-hadis Nabi juga memberi penegasan terhadap keberadaan do’a, diantaranya dikatakan “do’a adalah ibadah, ibadah yang paling utama adalah do’a, tiada apapun yang paling mulia di sisi Tuhan selain dari do’a”
Do’a dapat didefinisi dengan : ibadah (menyembah), istighatsah (meminta bantuan atau pertolongan), percakapan, memanggil atau juga memuji. Jadi ibadah adalah bukti penghambaan manusia kepada Tuhan, hanya Tuhan yang mampu memberi dan membantu hamba-Nya dalam segala apa yang dibutuhkan dalam hidup dan juga ketika dihidupkan kembali. Tuhan tidak menyukai hamba-Nya yang tidak mau berkomunikasi dengan-Nya, media komunikasi yang disiapkan adalah do’a.
Posisi manusia sebagai makhluk Tuhan sangatlah lemah dan berkekurangan, karenanya tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak memohon kepada Tuhan. Pada tulisan sebelumnya telah disebutkan bahwa wujud dari do’a bukan hanya secara lisan tapi juga gerak dan sikap kita.
Masih banyaknya pemahaman tentang abstrak dan sulitnya prosedur berdo’a, membuat manusia sendiri tidak yakin bahwa do’a yang dipanjatkan akan sangat mudah diterima oleh Tuhan. Kriteria bahwa mereka yang berdoa’ harus dalam keadaan suci dan harus ditempat yang suci, memberi arti bahwa do’a harus dilakukan secara formal dan tidak boleh di sembarang tempat. Pengaruh pemahaman tersebut maka do’a harus dilakukan secara bersama-sama dan dipimpin oleh orang tertentu, seolah-olah tidak semua orang dapat berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Padahal tidak ada lain dari tujuan Tuhan menciptakan makhluknya kecuali untuk membangun komunikasi “Tidak Saya ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menyembah-Ku”.
Keengganan dan ketidak beranian sebagian orang membangun hubungan dengan Tuhan melalui komunikasi verbal adalah karena sakralisasi bahasa, seolah do’a baru diterima Tuhan ketika menggunakan bahasa Arab atau ada anggapan bahwa do’a lebih afdal dipanjatkan dengan menggunakan bahasa Arab dan penggunaan bahasa selain Arab hanya sekedar boleh, akibatnya lagi membuat keyakinan seseorang akan berkurangnya kemaqbulan do’a tanpa menggunakan bahasa Arab, sehingga berakhir dengan pemahaman tidak perlunya berdo’a dan kalaupun berdo’a yakin tidak diqabulkan.
Allah adalah Maha Pencipta, Ia menciptakan segala apa yang ada dan yang tidak ada atau juga yang belum ada, selain dari diri-Nya. Semua ciptaan-Nya mempunyai posisi dan derajat yang sama di sisi-Nya, Dia tidak pernah mengatakan bahwa satu ciptaan-Nya lebih baik dari yang lain, dan yang dijadikan ukuran (standar) kebaikan hanyalah tingkat kepatuhan dan ketaatan. Jenis jin diposisikan kederajat yang rendah karena ketidak taatannya kepada kehendak Tuhan, manusia diposisikan lebih rendah dari hewan karena prilaku dan sikap moral yang dicerminkannya melebihi prilaku dan moral hewan.
Diantara sesama manusia di sisi Tihan bila dilihat dari segi ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan tidak sama, Tuhan mengatakan bahwa diantara manusia yang paling mulia di sisi Tuhan adalah mereka yang taat atau patuh (taqwa) yakni yang selalu melaksanakan perintah dan tidak mendekati larangannya.
Demikian juga dengan bahasa yang digunakan manusia dalam membangun komunikasi dengan Tuhan, tidak ada perbedaan pemahaman di sisi-Nya ketika seseorang bermohon dengan menggunakan bahasa Arab atau bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Melayu bahkan bahasa daerah mana sekalipun. Karena ketidak pahaman dan kesalah pahaman itu adalah merupakan sifat keterbatasan manusia sebagai makhluk Tuhan.
Setelah kita mengetahui siapa saja punya hak malah berkewajiban untuk bermohon dan meminta kepada Tuhan dan dengan menggunakan bahasa apapun Tuhan tetap mengabulkan, maka perlu juga kita ketahui ada hal-hal yang bukan merupakan wilayah do’a dan ada hal-hal yang merpakan wilayah do’a.
Pertama disebut dengan quranun majid fi lauhin mahfuzh (al-Buruj : 21-22) atau disebut juga dengan al-juz al-tsabit. Hal ini berupa aturan yang bersifat universal dan mengatur segala eksistensi sejak penciptaan alam semesta. Seperti hukum evolusi, hukum objek kematian, hukum perubahan bentu (al-tasbih) hingga datangnya hari kiamat dan ditiupnya sankakala, kebangkitan, surge dan neraka. Bagian ini tidak berubah demi keperntingan manusia, karenanya ini bukan merupakan wilayah do’a.
Do’a yang kita panjatkan atau permohonan yang kita ajukan kepada Tuhan akan menjadi sia-sia, apabila kita meminta agar kita tidak akanpernah menjadi tua, permintaan juga tidak akan diqabukan bila kita berharap untuk menjadi anak-anak terus, remaja terus dan seterusnya sampai kepada dibangkitkan kembali di hari kebangkitan. Permohonan do’a juga tidak akan mempunyai arti bila kita berdo’a agar kehidupan menjadi abadi dan tidak akan mati selamanya. Kemampuan do’a tidak mampu menghilangkan akan adanya surga sebagai balasan bagi mereka yang taat dan patuh kepada Tuhan dan keberadaan neraka sebagai tempat bagi mereka yang ingkar.
Kedua bersifat berubah, ini sering disebut dengan hukum alam particular. Sebagai contoh, perubahan angin, keragaman warna kulit, keragaman genetic, gempa bumi, angin topan dan sebagainya, peristiwa ini mengalami perubahan dan kejadiannya bagi manusia belum ditetapkan terlebih dahulu atau tidak bersifat qadim. Seperti telah disebutkan di atas bahwa “mati” adalah tetap (bukan wilayah do’a), tetapi kita masih bisa berdo’a atau berupaya memanjang dan memendekkan usia dan tidak ada kemampuan untuk menghapuskan kematian. Kita bisa bermohon kepada Tuhan agar diturunkan hujan, karena hujan berdasarkan pergerakan angin. Kita juga bisa meminta kepada Tuhan untuk diberikan jenis kelamin tertentu kepada anak kita, karena seluruh unsur di dalamnya sama sekali tidak terkait dengan al-lauh mahfuzh. Indikasi yang paling jelas dalam kaitan dengan permasalahan ini adalah sabda Nabi “do’a adalah pusat dari ibadah” dan sabdanya “Ketetapan Tuhan berupa qadha tidak dapat ditolak kecuali dengan do’a”.
*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh