Anda Putra Ali*
Waa saaa luuu aaa leeeeee….
Seperti itulah teriakan melengking dari komentator dihadapan para penonton yang memadati lapangan saat menyaksikan kuda-kuda yang mereka jagokan jelang mendekati garis finish pada perlombaan “Pacu Kude”, sebutan untuk Pacuan Kuda Tradisional di Dataran Tinggi Gayo (Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues, minus Aceh Tenggara).
Kegiatan Pacu Kude ini telah ada di bumi Gayo sebelum Indonesia merdeka, namun secara resmi Pacu Kude pertama sekali dilakukan pada tahun 1946. Yaitu dalam rangka memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia yang pertama. Semenjak itulah setiap tahunnya Pacu Kude menjadi agenda resmi, tidak melalui Perda (sekarang qanun), kegiatan perayaan tujuh-belas-agustusan.
Dalam perkembangannya, Pacu Kude dengan segala ciri khasnya yang tradisional menjadi Resam (tradisi) budaya Gayo.
Dalam kajian Islam, terdapat beberapa petunjuk yang berhubungan dengan Pacu Kude. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa Rasulullah pada sutu waktu pernah menganjurkan ummatnya agar mengajarkan anak-anak mereka menunggang kuda, berenang dan memanah. Terlepas dari kontek bahwa hal tersebut berhubungan dengan ketangkasan berperang, Pacu Kude (ketangkasan berkuda) ternyata telah menjadi budaya dunia.
Dalam Budaya Gayo dikenal istilah filosofis; “edet urum syari’et lagu zet urum sifet”. Nah, Resam (tradisi) Pacu Kude, sudahkah mencerminkan nilai filosofis Urang Gayo tersebut diatas…? Sebuah pertanyaan yang gampang-gampang susah untuk mencermatinya.
Sebelum kita menyimpulkan satu jawaban pasti dan konkrit dari pertanyaan tersebut, ada beberapa kenyataan-kenyataan yang terjadi dan telah menjadi rahasia umum, dan seolah-olah hal tersebut telah menjadi bagian dari budaya Resam (tradisi) Gayo itu sendiri.
Pertama; adanya kegiatan sebagian kecil penonton melakukan perjudian pacuan kuda, istilahnya “taroh kude”, perjudian ini walaupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun untuk mendeteksinya, tidaklah sesulit mendeteksi seorang siswa yang mengambil pinsil temannya.
Kedua; adanya beberapa produk dagangan dengan cara undian, istilahnya “beli lotre”, yang membuat miris adalah pembeli paling dominan merupakan mereka dari pedalaman.
Ketiga; adanya imej yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Gayo, setelah diadakan Pacu Kude, seperti sudah dapat dipastikan bahwa Kantor Urusan Agama Kecamatan yang mengurusi perkawinan bagi orang yang beragama Islam akan kebanjiran pasangan untuk melangsungkan pernikahan. Persoalannya adalah, kebanyakan dari pasangan yang mengajukan nikah musim Pacu Kude tersebut rata-rata berumur antara 15-20 tahun (usia produktif menuntut ilmu). Diantara mereka bahkan harus segera di-nikah-kan, katanya “met muniro mani”.
Walaupun bila dicermati lebih jauh, masih banyak persoalan-persoalan yang kontradiktif dengan filosofi Urang Gayo, tiga kenyataan diatas kiranya dapat menjadi catatan khusus bagi kita semua, Pemerintah, Pemerhati Budaya dan masyarakat Gayo beserta perangkat Adat-nya dalam rangka upaya pelestarian Nilai-nilai Filosofis Budaya Gayo.
Dalam rangka memperingati 435 tahun keberadaan Kota Takengon, mari kita bersama-sama menjadikan kegiatan Pacu Kude ini sebagai momen awal dari kebangkitan kembali Resam Pacu Kude Gayo yang sesuai dengan karakter nilai-nilai filosofi Budaya Gayo itu sendiri.
Ini menjadi tanggung jawab kita bersama.
*Penghulu KUA Kecamatan Kebayakan dan Dosen STIHMAT