Oleh Luqman Hakim Gayo*
SEKALI ini perjalanan agak berbahaya. Karena, menuju peperangan akibat krisis politik yang merembet kepada pertikaian antar agama di Eropah. Tepatnya di Yugoslavia. Rupanya, perestroika ala Michael Gorbachev sudah termakan di sejumlah belahan dunia komunis. Presiden Rusia itu sendiri sudah memecah belah negerinya menjadi beberapa bagian.
Akan halnya, Yugoslavia, sepeninggal Broz Tito memang sudah mulai rapuh. Begitu ada gejala perpecahan di Rusia akibat perestroika itu, Yugo juga mulai berkeping-keping. Awal 1992 negerinya Tito itu terpecah menjadi enam negara. Antara lain Bosnia, Croatia, Serbia, Montenegro, Slovenia dan Albania. Semua dihuni oleh beberapa etnis. Tetapi, etnis Serbia sendiri tetaplah paling dominan.
Meskipun terpecah-pecah, faham komunis tampaknya tidak mudah hilang begitu saja. Apalagi, orang-orang Serbia tidak ikhlas kalau faham komunis harus lenyap dari bumi Yugo tersebut. Mereka yang tersebar di beberapa negeri baru itu, tetap pada komitmen bahwa The Great Serbia harus berdiri.
Sebuah negara kecil yang bernama Bosnia Herzegovina, berbeda dengan lima pecahan Yugo lainnya. Disini, warna Islam lebih kental dibanding faham dan budaya lain. Etnis Bosnia merupakan penganut Islam yang taat, dibanding etnis Serbia sendiri yang sebagian besar beragama Kristen Ortodox . Tetapi tak lekang dari faham marxismenya.
Ketika diadakan pemilu di Bosnia, ternyata lebih dari 65 persen penduduk menghendaki pemerintahan Islami. Presiden pertama ialah Alija Izetbegovik, ulama yang bertahun-tahun dipenjara karena buku-bukunya yang anti komunis. Sejak itulah terjadi perang. Etnis. Serbia yang ada di negeri kecil itu, minta bantuan kepada etnis Serbia di semua negara untuk menghanguskan penduduk yang beragama Islam di Bosnia.
Perilaku keji dan biadab mulai berlangsung. Perang besar akibat agama tersebut, bersamaan dengan ‘etnis cleansing’ berlangsung mengerikan dan menakutkan. Ribuan penduduk Muslim Bosnia dibunuh, diusir dan rumah mereka dibakar. Kekayaan mereka disita, masjid dan mushalla di bakar. Seluruh peninggalan Islam yang dibawa Khilafah Utsmaniyah, habis menjadi abu.
Suatu ketika, pimpinan Merhamet (Bulan Sabit Merah) Eropah yang membawahi kawasan Balkan datang ke Jakarta. Namanya Izet Aganovik, dosen di Zagreb, Croatia, dan muslim fanatik. Bersama isterinya ia berceramah tentang duka nestapa umat Islam Bosnia. di sejumlah masjid, termasjuk Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta. Ribuan umat Islam tersedu-sedu mendengar ceramah tersebut.
Sejak itu, kami mulai mengumpulkan sumbangan untuk umat Islam di Bosnia. Hampir semua ormas Islam dan kumpulan pengajian dengan ikhlas memberikan sumbangan. Dan saya, ditugaskan mengantarkan sumbangan itu langsung ke Bosnia. Padahal, ditengah persiapan keberangkatan itu, berita di media cetak dan televisi menyebutkan, seluruh kawasan Bosnia sudah gelap karena bom-bom menghancurkan infrastruktur, rumah sakit dan listrik negara.
Lalu saya membuka peta Yugoslavia dan melihat Bosnia yang kecil. Beberapa kota besar adalah Sarajevo, Visoko, Bosanski Broad, dan kota-kota lain. Saya sudah mengantongi visa dari Kedutaan Yugoslavia di Jakarta, visa dari Kedutaan Jerman dan tiket pesawat. Selain Surat Tugas dari kantor, saya juga membawa surat dari DDI Pusat untuk Merhamet di Zagreb, Coatia. Jam sembilan malam, saya berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta. Berhenti di Singapura dan pagi harinya mendarat di Frankfurt. Untuk kesekian kalinya lagi saya ke bandara tersibuk di dunia ini.
Hari itu adalah Jum’at,. Beruntung, ada pesawat langsung ke Zagreb, Croatia. Setibanya di Bandara Aerodrom, Zagreb, dengan taksi saya meluncur menuju rumah Izet Aganovik. Ternyata gampang menemukannya, karena tinggal di komplek perumahan. Kedua suami isteri itu masih di kantor. Seorang kakek yang bernama Elijas, orang tuanya Izet menerima saya. Dan kami segera berangkat ke Masjid Jami’ Zagreb untuk bersholat Jumat.
Usai beramah tamah dengan keluarga Izet, saya serahkan beberapa media cetak dari Jakarta yang memuat foto-fotonya ketika berceramah di berbagai tempat. Ia kagum dan senang sekali. Sore itu juga dia mencarikan hotel sederhana untuk saya. Esoknya kami ke Masjid Jami’ menyerahkan sumbangan yang saya bawa.
Di Masjid Jami’ saya berkenalan dengan Musthafa Ceric. Selain sebagai ketua Masjid itu, juga ketua umat Islam dan Ulama Bosnia. Ia masih bertugas sebagai dosen di Universitas Antar Bangsa Kualalumpur, Malaysia ketika itu. Kepadanya saya serahkan sejumlah uang dari Indonesia beserta surat tugas dan surat dari Dewan Dakwah.
“Selamat datang dan bergabunglah bersama kami. Nanti Anda bisa wawancara dengan siapa Anda mau. Saya sarankan Anda membuat kartu identitas ke Departemen Penerangan sebagai wartawan,” katanya ramah. Kami saling berangkulan. Sejak itu saya disibukkan oleh urusan saya sendiri. Lepas dari Izet yang baik hati itu.
Berkenalan dengan sejumlah organisasi Islam di Zagreb, ke asrama pengungsi dan sejumlah pelarian yang berusaha mengumpulkan uang untuk dikirim ke Bosnia. Saya berkenalan juga dengan sejumlah pasukan Mujahidin dan sukarelawan dari berbagai negara. Mereka berkumpul di Masjid Jami’, sebelum berangkat ke Bosnia. “Anda jangan buru-buru masuk, sebab negeri kami sudah dikepung dan dibombardir. Tunggu waktu yang tepat,” kata Musthafa Ceric.
Saya mulai menjelajahi kantor dinas di Zagreb untuk membuat ID Card. Dengan itu saya bebas berwawancara dengan sejumlah pengungsi di barak-barak mereka. Saya juga berkenalan dan berwawancara dengan sejumlah lembaga bantuan social, yang membantu penduduk Bosnia. Konon ribuan rakyat Bosnia melarikan diri ke hutan-hutan dan keluar dari negeri itu dengan berbagai cara.
Sudah sejumlah barak saya kunjungi. Cerita duka mengalir seperti air, bahkan disertai air mata ibu-ibu. Rata-rata mereka tidak sempat menyelamatkan harta benda, karena secara tiba-tiba diberondong oleh chetnik, sebutan untuk pemberontak Serbia. Ada yang lebih mengerikan. Sejumlah umat Islam dikurung di dalam masjid, kemudian masjidnya dilempari granat. Seluruh jamaah syhaid dan syahidah dalam keadaan terbakar yang mengerikan.
Di desa lain, seluruh orang laki-laki dikumpul dan kemudian ditembak. Semua orang perempuan juga dibunuh, kecuali para gadis-gadis yang diasing dalam rumah bordil. Kemudian diperkosa beramai-ramai oleh pemuda-pemuda Serbia. Mereka menghendaki lahirnya orang Serbia baru dari rahim gadis-gadis Bosnia itu.
* Wartawan asal Gayo, tinggal di Jakarta
.
waahh ini adalah pengalaman yang luar biasa bagi para wartawan perang. smoga mereka bisa kembali dengan selamat, http://transparan.id