KOPI
Oleh : Subhan*
.
Menggantung embun di kelopakmu
entah apa yang menghalanginya luruh ke bumi
kemaraupun memang sudah pergi sejak berhari-hari lalu
seperti menguap saja ia ke langit, tanpa bekas sama sekali
ini adalah dinginnya dingin
membungkus siapapun dalam keengganan yang melenakan
hanya perut saja yang menuntutku harus berperang melawan gigil
dan kutendang kemalasan yang meracuni jiwaku sejauh-jauhnya
karena laparku ternyata lebih jahat dari kebekuan itu sendiri
hari ini cita-cita dan kebanggaan kupinggirkan saja
aku lebih memilih untuk menggenggam kehormatan
dengan suap-suap nasi yang kutukar dengan keringat darah sedingin salju
entahlah esok akan seperti apa
masih menggantung embun di kelopakmu
dan ulat-ulat yang menggatali kulit-kulit manja ini
o..kiranya kehormatan sebagiannya adalah mematikan rasa semati-matinya
masih menggantung embun di kelopakmu
dan ibuku yang gagah perkasa menyibak semak dan duri dengan tawanya di pagi buta
siapa bilang ada duka di hatinya
o.. Ternyata kehormatan sebagiannya adalah menghidupkan rasa sehidup-hidupnya
petik-petik buah kopi
kupetik-petik harapanku
pelan-pelan membumbung menghangatkan semangatku
kunikmati kicau burung cerocok yang sebentar singgah di petai-petai cina
ibu, upah yang kita dapatkan lebih dari tiga lembar ribuan untuk setiap tem-nya
lebih, ibu!
ibu, upah yang kita dapatkan lebih dari sekedar untuk mengganjal perut anak-anakmu
lebih dari itu, ibu!
ibu, upahmu adalah janjiku
akan kujemput cita-citamu di negeri manapun dia berada
kalau kebanggaanmu adalah menyaksikanku bertopi sarjana, aku berjanji akan memakainya dengan cara yang kau ajarkan
dengan cara terhormat
kerja keras dan doa
masih menggantung embun di kelopakmu
gunung Geredong pun termangu
tidak banyak buahmu kali ini
lain waktu , Allah saja yang tahu
(Banda Aceh, Oktober 2011, mengenangmu, Ibu)
—-
*Subhan, lahir di Takengon 13 September 1972. Bekerja sebagai karyawan Telkom Aceh.