Politik Biaya Tinggi, Siapa yang Harus Membayar?

Oleh: Indra Setia Bakti*

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) Aceh 2012 sudah di depan mata. Kabupaten Aceh Tengah merupakan salah satu daerah yang ikut ambil bagian dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Seperti diketahui bersama, ada sebelas calon kepala daerah yang berkompetisi di Kabupaten berhawa dingin tersebut.

Lazimnya sebuah Pilkada, setiap kontestan mulai tebar pesona. Para kontestan berlomba-lomba menjajakan diri sebagai calon “manusia setengah dewa” yang siap dipilih sebagai pemimpin yang akan membawa rakyatnya menuju perubahan. Sebagian dari mereka mungkin merasa sebagai penjelmaan dari Ratu Adil, Ksatria Pininggit, Imam Mahdi, atau segala tetek bengek simbolisme, romantisme sejarah, dan pencitraan. Sebagian yang lainnya mungkin melihat dunia politik secara pragmatis saja, yakni sarana yang cepat untuk mengais rupiah dan memperluas jaringan usaha.

Berbagai janji pun mulai diumbar ke sana ke mari, walaupun nantinya berpotensi dilanggar pula. Ada kontestan yang mulai mengumandangkan visi dan misi dari kepala mereka, meskipun rakyat belum tentu mengerti tentang maksud dan tujuan mereka. Toh bagi rakyat biasa, siapapun pemimpinnya, petani nantinya tetaplah akan menyangkul, nelayan tetap melaut, dan pedagang tetap berjualan. Kecuali bila ada pertalian darah dengan Sang Wali, mungkin roda nasib bisa cepat berputar.

Mungkin ada kontestan yang pakai strategi “Cinderella Syndrome”. Ini mengacu dari cerita Cinderella, atau dalam konteks lokal, legenda “Bawang Putih dan Bawang Merah”, yang telah banyak mengilhami bahkan sedikit meracuni sinetron yang ditayangkan di berbagai stasiun televisi negeri ini. Siapa yang terlihat tertindas, maka mengalirlah simpati kepada mereka. Dan ini sebuah keuntungan, bukan?

Mungkin saja ada kontestan yang nantinya menggunakan strategi “serangan fajar”, seperti yang telah terjadi di banyak tempat di negeri ini. Rakyat pun mungkin banyak yang menerimanya, apalagi bagi mereka yang terhimpit ekonominya. Ada rezeki koq malah ditolak? Halal atau tidak, itu urusan para ulama. Naudzubillah.

Bagi kontestan yang percaya dengan strategi serangan fajar ini, maka bersiaplah dengan politik biaya tinggi. Sebab cara instan tidak akan pernah benar-benar berhasil, kecuali mungkin dimuluskan dengan jalan fulus, dan ini nilainya tidak kecil, milyaran rupiah. Kontestan dengan corak seperti ini seolah percaya betul bahwa “jika anda tidak kaya, atau tidak didukung oleh patron kaya, maka jangan pernah bermimpi menjadi kepala daerah”. Karena jabatan kepala daerah adalah investasi dengan biaya dan risiko yang tinggi, tetapi juga berpotensi memperoleh kembali laba yang berlipat. High cost, high risk, high return. Dan bagaimana pelaksanaannya? Yang namanya politik kotor akan selalu berinovasi supaya tampak halus di mata masyarakat. Maka berhati-hatilah.

Politik biaya tinggi, bila pada hal ini sebagian besar calon kepala daerah menyandarkan strateginya, maka bersiap-siaplah dengan demokrasi biaya tinggi, lalu akhirnya pembangunan minim biaya. Kalau ada proyek, maka jatuhlah ia ke tangan para patron yang telah berjasa mendongkrak Sang Wali ke posisi pucuk pimpinan.

Politik biaya tinggi adalah investasi, bagi para penganutnya. Toh kalau menang rakyat pulalah yang akan menanggungnya. Bagaimana kalau kalah? Masih ada kesempatan untuk menggugat hasil akhir, dan itu sah secara hukum, bukan? Kalau mau pakai cara yang tidak legal, maka hilangkan barang buktinya atau sekalian hancurkan sistemnya. Mungkin uang sudah banyak diinvestasikan, toh ternyata kalah juga. Daripada lawan tertawa di atas penderitaan kita, lebih baik tak ada pemenang dalam ajang ini. Sungguh sebuah sikap yang kurang terpuji, bahkan mungkin kita semua sadar akan hal itu. Semoga tidak ada kontestan di Aceh Tengah yang punya watak seperti itu. Amin. (Dan semoga tidak ada kontestan yang tersinggung, kalau tersinggung berarti mungkin saja terlibat).

Akhirnya kita perlu kembali berkaca ke pribadi masing-masing. Tugas kita sebagai pemilih, kenali betul siapa calon pemimpin yang layak duduk di Pendopo sana. Di tengah gurun ketidakpastian ini, mungkin masih ada kontestan yang tulus ikhlas membangun negeri. Maka jangan mau tertipu dengan kenikmatan sesaat yang ditawarkan oknum tertentu, tetapi toh ujung-ujungnya kita jugalah nantinya yang harus membayar dan menanggung ongkos politik biaya tinggi yang mereka terapkan, dengan menyedot pajak hasil kerja keras rakyat Aceh Tengah. Uetmi ko rakyat Gayo.

 *Penulis adalah alumnus jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia, tinggal di Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.