Marah Halim*
AIR yang tidak mengalir akan keruh, terjemur kena matahari, menjadi sumber penyakit, berbau, dan tidak layak untuk membersihkan atau menyucikan. Sebaliknya sekotor-kotor air yang mengalir seperti sungai Ciliwung tetap digunakan orang untuk mencuci, mandi, bahkan memasak.
Perubahan kepemimpinan ibarat air yang mengalir. Kepemimpinan yang lama sampai bertahun-tahun tida baik untuk perubahan suatu masyarakat. Dalam tradisi kepemimpinan di dunia saat ini, angka lima dan empat tahun sepertinya sudah menjadi konvensi, dari keuchik sampai sekjen PBB pun masa kerjanya hanya empat atau lima tahun.
Khusus untuk sekelas Bupati atau Walikota, sepertinya masa lima tahun sudah cukup untuk seseorang, kecuali presiden bolehlah dua periode karena mungkin levelnya lebih tinggi. Untuk jadi bupati anak kemaren sore juga bisa, buktinya berapa banyak bupati dan walikota di Indonesia saat ini berusia sangat belia.
Dari sekian banyak incumbent bupati dan walikota di Aceh saat ini, sebagian besar maju lagi untuk jabatan kedua. Entah apa motivasinya. Alasan klasiknya ingin melanjutkan program yang telah dirintis, padahal prestasinya sungguh biasa-biasa saja. Dari 22 bupati/walikota di Aceh, hanya satu dua saja yang tampak berprestasi. Khusus untuk wilayah tengah hampir tak ada bupati yang menonjol kepemimpinannya selama 5 tahun ini. Keinginan maju lagi hanyalah ”porol” belaka.
Sudah tujuh tahun lebih Aceh Tengah di bawah kepemimpinan bupati saat ini, sejak menjabat penjabat Bupati sampai terpilih sebagai Bupati definitif menggantikan bupati sebelumnya. Selama tujuh tahun itu pula, hampir tak ada hal-hal baru tentang pembangunan di Aceh Tengah. Kondisi serupa juga terjadi di Bener Meriah. Visi yang hebat ”menghalau kemiskinan dan mengundang kemakmuran” sepertinya isapan jempol saja. Orang yang hidup di Aceh Tengah tanpa pemerintahan pun bisa hidup dari tanah pertaniannya. Yang dibutuhkan masyarakat disana hanya keamanan saja.
Sebagai penutup, penulis hanya menyarankan kepada masyarakat Aceh Tengah untuk melakukan perubahan nasib dengan memilih pemimpin baru. Sejelek-jelek bupati muka baru yang terpilih nanti setidaknya ia telah menjadi pilihan dari belasan calon. Masyarakat Gayo hendaknya mengedepankan rasional dalam hal ini, jangan terus tergoda secara emosional. Adalah preseden yang sangat jelek jika dalam pemilu kali ini yang terpilih orang yang itu-itu saja. Saya melihat beberapa calon di Aceh Tengah adalah figur-figur yang betul-betul memiliki komitmen yang tinggi untuk membangun Aceh Tengah.
Bagi yang sudah pernah merasakan BL 1 di Aceh Tengah hendaknya berbesar hati mempersilakan siapa saja yang potensial menggantikannya. Jangan hanya mendengar bisikan kanan-kiri yang mungkin meyakinkan seolah masyarakat masih mengharapkan. Kecintaan pada masyarakat tidak harus dibuktikan lewat posisi nomor satu kembali di Aceh Tengah. Semua kita cinta dan sayang pada Aceh Tengah, karena cinta itulah kegelisahan dari rantau disuarakan lewat LG ini.
* Widyaiswara BKPP Aceh