Guru Pembimbing Disangka Murid

Catatan Perjalanan Tim ISPO SMAN 1 Takengon Part I

Hari itu, Senin (20/02/2012) tepat pukul 20.00 WIB, 6 orang siswa SMAN 1 Takengon terdiri dari, Ulpa Herdira, Ipak Putri Iwanisa, Ayuni, Dika Ramadhanu, Yudi Agus Pratama, beserta 3 orang guru Hellyda Fitri, Sona Rumonda dan saya, dikumpulkan diruangan Kepala Sekolah, guna mengikuti arahan dan pelepasan dihadapan semua orang tua siswa tersebut.

Tak lama dari itu, kami semua menaiki mobil L300 untuk menuju Medan, dihalaman sekolah terlihat banyak siswa-siswi SMA itu untuk siap melepas duta mereka guna bertanding di ajang Indonesian Science Project Olympiad (ISPO) ke-4 di Jakarta.

Setelah proses berpamitan dan berharap doa dari keluarga besar, kami pun mulai bergerak meninggalkan kota dingin untuk berjuang mengharumkan nama daerah, karena yang selama ini Aceh Tengah khususnya dibidang pendidikan sangat jarang bisa tembus ketingkat perlombaan sekala nasional.

Meskipun pada dasarnya saya ikut dengan rombongan itu hanyalah sebagai guru pendamping dari 3 tim yang berhasil lolos di ISPO ke-4 ini, tapi beban moral sebagai guru pendamping yang ditunjuk untuk membantu kedua guru pembimbing pun memang sangat berat ku emban.

Diperjalanan ke Medan, saya duduk dipaling belakang mobil itu, sembari berfikir apakah kepercayaan itu dapat dibalas dengan sebuah keberhasilan untuk meraih prestasi walau status sebagai guru pendamping saja, terlebih tahun lalu diajang yang sama, SMA tertua di Aceh Tengah ini berhasil menyabet mendali dibidang komputer dan apakah di tahun ini akan mendapatkan hasil yang lebih dari tahun sebelumnya, pikiran itu selalu saja datang menghantui pikiran ku.

Kedua rekan ku, Hellyda dan Sona yang kebetulan sejak setahun ini telah menjalin hubungan resmi menjadi suami istri statusnya adalah sebagai guru pembimbing dari project penelitian siswa-siswa kami, tugas ku hanya membantu mendampingi salah satu tim saja, sedangkan dua tim lainnya dibimbing oleh masing-masing senior ku itu.

Tak terasa hari telah pagi, mobil yang kami tumpangi telah menghantarkan dikediaman salah seorang adik dari Hellyda. Ada waktu 4 jam untuk dapat merebahkan diri sebelum pesawat yang akan menghantarkan kami menyeberangi pulau Sumatera ini.

Kami memanfaatkan waktu itu untuk menikmati sarapan pagi, dan sedikit untuk membersihkan badan serta menyiapkan kembali persiapan alat yang akan dibawa ke Jakarta.

Tepat pukul 12.00 Selasa (21/02/2012) pesawat yang kami tumpangi lepas landas meninggalkan Polonia menujua Jakarta.  Di dalam pesawat hati ku galau, walaupun naik pesawat bukan untuk kali pertama, akan tetapi penyakit phobia akan ketinggian masih saja menyertai ku, ini memang penyakit yang aku alami sejak aku duduk dibangku sekolah dasar, hingga siswa-siswa ku menertawai ku, hingga akhirnya pesawat itu sampai di bandara Soekarno-Hatta tepat pukul 14.00 WIB. Dan hati ku pun mulai tenang dan semangat berangsur-angsur pulih kembali.

Sebuah mobil travel mengantarkan kami kepenginapan yang telah ditentukan oleh panitia. Perjalanan menuju kepenginapan pun terasa sangat melelahkan, terlihat suasana Jakarta yang begitu padat dengan polusi yang sangat tinggi serta suhu yang panas menambah semakin lelahnya kami semua, betapa tidak perjalanan yang berjarak hanya 40 Km kepenginapan kami harus ditempuh dengan perjalanan 3,5 jam, waktu ini mengibaratkan jika seorang atlit marathon berlari dengan kecepatan 20 km/jam saja maka atlet itu dapat menempuh perjalanan sejauh 40 km itu.

Sesampai di penginapan tepatnya di Jalan Nangka No. 60 Jakarta Selatan – Jagakarsa, gedung  Lembaga Pengembangan Mutu Pendidikan (LPMP) DKI Jakarta, LPMP digunakan sebagai tempat seminar atau kegiatan guru atau musyawarah guru guna membenahi pendidikan disekolah masing-masing.

Aku dan Sona langsung melapor reseptionis untuk mendapatkan kamar dan menyerahkan kelengkapan administrasi guna mengikuti perlombaan besok. Kami melaporkan kedatangan pada seorang pemuda yang berpenampilan rapi dengan postur agak pendek dan masih muda, terakhir diketahui,pemuda itu bernama Suryadi seorang putra Aceh asal Kuala Simpang Aceh Tamiang juga yang baru lulus dari Fakultas Ekonomi Unsyiah dan kini bekerja di yayasan Pasific Countries Social and Economic Solidarity Association (PASIAD). PASIAD adalah lembaga yang berdiri dari hasil kerjasama Indonesia dengan Turki yang bergerak dibidang pendidikan, sosial, dan kebudayaan.

Suryadi sempat bertayak,” adik siswa dari mana?” Aku dan Sona saling berhadapan dan tersenyum kecil.  Sona mengatakan dengan nada setengah berbisik, “berarti mude len kite geh sawah i talu adik” dan ku balas dengan tawa kecil, Suryadi pun agak kaget kenapa kami bisa tertawa seperti itu, awalnya kami tidak mengakui kalau kami adalah guru pembimbing dari siswa-siswa Gayo hingga suryadi mengatakan jika tidak ada guru pembimbing yang hadir maka SMA ini tidak diperbolehkan mengikuti perlombaan besok, dan kami pun langsung menunjukkan surat tugas dan betapa kagetnya Suryadi setelah mengetahui kami adalah guru pembimbing sembari melontarkan kata maaf dan kamipun meresponnya dengan senyuman dan akhirnya kami pun cepat akrab dengan Suryadi.

Akhirnya kami semua mendapatkan kamar dan kelengkapan administrasi berupa tanda pengenal untuk kegiatan perlombaan esok harinya. Kami pun mulai menaiki tangga ke lantai 3 kebetulan aku dan sona mendapat kamar yang sama sedangkan Hellyda bergabung dengan guru-guru perempuan dari daerah-daerah lainnya.

Dikala senja tiba, azan magrib pun berkumandang, setelah kami selesai menunaikan kewajiban untuk beribadah, kami pun meninggalkan kamar untuk bergabung dengan yang lainnya, diperjalanan menuju tempat makan malam. Banyak kejadian menarik dan lucu di ruang makan ini, termasuk soal rokok. Kejadian ini terus saja teringat, karena walaupun kami berdua telah menjadi guru tapi semua orang masih menganggap kami seperti siswa.(Darmawan Masri/red.04)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.