Banda Aceh | Lintas Gayo – Kepala Badan Pengelola Ekosistem Leuser (BP-KEL) Fauzan Azima S nyatakan keprihatinannya atas kurang perhatian terhadap populasi burung di dataran tinggi Gayo.
“Kita prihatin dengan berkurangnya populasi burung di dataran tinggi Gayo baik di Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues dan Bener Meriah akibat dari perburuan burung yang tidak terkendali dan berkurangnya luas tutupan hutan,” kata Fauzan Azima kepada Lintas Gayo, Rabu (7/3/2012).
Maraknya perburuan liar burung-burung di Gayo, menurutnya karena nilai jual burung asal dari Gayo, seperti Murai Batu (Cimpala Uteun-Gayo-red), Jupin (Manuk Kule), Panca Warna, Kacer (Cimpala), Cucak Daun, Kutilang dan beberapa jenis burung lainnya sangat tinggi.
Dicontohkan, satu ekor Murai Batu yang baru ditangkap dihargai Rp. 700 ribu. Apalagi bagi para kolektor burung merasa surprise kalau bisa mengkoleksi burung-burung asal hutan Gayo.
Di samping perburuan liar, lanjutnya, populasi burung menurun drastis akibat alih fungsi hutan, dari fungsi lindung kepada fungsi budidaya untuk perkebunan, pertambangan dan tanaman industri. Seiring dengan terdeforestasinya hutanburung-burung menjadi langka dan akan menuju kepunahan.
“Memang Gayo saat ini masih menjadi surga bagi burung-burung karena luas tutupan hutannya masih terpelihara, khususnya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) masih signifikan bagi burung-burung untuk meningkatkan populasinya. Akan tetapi kalau tidak kita pertahankan hutan KEL maka sepuluh tahun akan datang anak cucu tidak pernah melihat lagi burung Rangkong (Enggang, Reje Pitu:Gayo-red) dan burung lainnya,” urai Fauzan Azima.
Jangan sampai anak cucu kita kelak menganggap dongeng keberadaan burung-burung di dataran tinggi Gayo karena mereka tidak pernah melihat wujudnya, timpal aktivis lingkungan ini.
Ditanya bagaimana upaya menyelamatkan keberadaan burung-burung tersebut, dengan bersemangat dia nyatakan agar tidak boleh berputus asa berupaya menyelamatkannya.
“Allah menciptakan manusia Gayo lengkap dengan akal fikirannya. Ada beberapa cara untuk mempertahankan dan meningkatkan populasi burung di Gayo,” katanya.
Pertama, membuat Qanun atau Perda yang membatasi perburuan, tataniaga dan pelarangan kepemilikan senapan angin.
Keduasosialisasi pentingnya hutan untuk habitat burung-burung.Dulu, jelas Fauzan, di selatan dan barat Aceh sangat terkenal cengkeh dan pala, tetapi sekarang tanaman yang menjadi kebanggaan orang di sana kini sudah punah. Hal tersebut disebabkan karena punahnya burung-burung pemakan ulat pala dan cengkeh.
BP-KEL mengkuatirkan, jika burung jok-jok, pepil, kacer, sesubang, kolibri, pendet yang berkembang biak di kebun-kebun kopi kita punah,maka tidak mustahil tanaman kopi yang menjadi kebanggaan kita akan mati dan punah seperti pala dan cengkeh di selatan dan barat Aceh.
Ketiga, mempertahankan populasi burung-burung di hutan Gayo dengan penangkaran (pengembangbiakan). Beberapa tujuan penangkaran adalah untuk penelitian, wisata, dan tentu saja meningkatkan ekonomi rakyat. Kita yakin kalau penangkaran dimulai sekarang, maka satu atau dua tahun mendatang wisatawan akan meningkat pesat datang kedataran tinggi Gayo untuk melihat dan mendengar kicauan burung-burung.
“Contoh paling nyata hancurnya habitat burung di Takengon dengan dibangunnya tanggul Boom-Mendale yang telah menyebabkan ratusan bahkan ribuan burung di danau hilang atau hijrah”, tegas Fauzan dan berharap pemangku kepentingan lebih arif mengelola lingkungan dan memperhatikan amdal sebelum membangun.
BP-KEL berharap adanya peningkatan kesadaran terhadap pelestarian lingkungan karena bila tidak akan beresiko bagi generasi berikutnya yang menanggungnya dengan biaya yang mahal. (Win Ruhdi Bathin)
.