Kunci Mobil, Si Pembuat Perkara

Catatan Perjalanan Part 3 (selesai)

Sudah sebulan berlalu, perjalanan bersama Kru Lintas Gayo (LG) dengan rute Takengon-Banda Aceh dan serangkaian acara yang kami ikuti, namun masih dapat kurasakan derak tawa yang kami lalui saat itu, kepanikan, kesusahan karena berdesak-desakkan di dalam mobil, campur aduk menjadi satu kenangan yang memberiku banyak pelajaran.

Hari itu merupakan hari terakhir kami berada di Banda Aceh. Siang itu hujan deras baru saja membasahi bumi, pelataran Mesjid Raya Baiturrahman tempatku dan Rahma menunaikan kewajiban Dzuhur dipenuhi air yang tumpah ruah dari selokan dan talang air Mesjid. Di depan Mesjid sedang diadakan Festival Zikir Maulid, aku berharap hujan deras tadi tidak meninggalkan dampak buruk pada acara tersebut.

Sebelum beranjak pulang kami menyempatkan diri mampir di toko buku, sebuah tempat yang mampu menghipnotisku untuk betah berlama-lama di dalamnya. Sebuah tempat yang sulit kutemukan di kota kecilku, bukan tidak ada, namun isinya tidak sesuai dengan inginku. Ditambah lagi buku yang dijual terkadang bajakan, bagaimanalah jika penulisnya mengetahui hal tersebut? Maharadi terlihat tersenyum-senyum saat keluar dari toko buku sambil menunjukkan buku yang baru dibelinya kepada kami, judulnya “Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)”. Sejak mengikuti pelatihan jurnalistik, sepertinya semangat menulisnya semakin menggebu-gebu.

Tepat di Simpang Lambaro kami makan siang, di sebuah warung nasi yang dipenuhi oleh pilihan menu penggugah selera. Aku membeli makanan ringan di warung sebelah, kusapu pandangan ke sekeliling warung dan memilih beberapa makanan kecil untuk penganan di jalan kendati tidak banyak pilihan di warung tersebut. Dari warung ini aku belajar bagaimana memaknai sebuah kejujuran, si pemilik warung sampai berteriak memanggilku karena uang yang kuberikan lebih Rp.1.000,- (seribu rupiah), nilainya setara dengan harga sekali parkir atau permen 6 buah. Sebenarnya bisa saja pemilik warung itu mendiamkannya, berpura-pura tidak tahu, tapi ia lebih memilih memanggilku kembali, mengembalikan yang bukan haknya. Semoga rezekinya berlipat, doaku.

tauk… tauk…

surak… surak…

o tene te bereriak…

ria… ria…

Kata riang diakhir reff lagu Bernenirin yang dinyanyikan oleh Ivan Wy sesuka hati diganti oleh Kru LG lain saat berdendang mengikuti alunan lagu. Sengaja benar meneriakkan namaku secara bersamaan, kemudian tertawa-tawa, seolah tiada beban yang dipikul.

Kegembiraan itu berlalu ketika Khalisuddin mematikan tape recorder  mobil, ia merasa pusing dan ingin tidur. Aku sedikit merasa heran tidak seperti biasanya, ia selalu semangat bercerita rencana-rencana LG ke depan, belum lagi menyentil tentang tulisan-tulisan kami yang sering membuatnya bingung ketika mengeditnya atau tentang tingkah polah kami yang seperti anak-anak. Bahkan Maharadi pun sampai mabuk darat saat itu. Aku baru tahu ternyata mereka semua baru tidur pukul 06.00 pagi, Shalat Subuh di warung kopi tempat mereka bergadang, sebagian ada yang tidur di mobil. Aku hanya dapat menggelengkan kepala, mencoba memahami bagaimana mereka masih memiliki banyak tenaga untuk bergadang sedangkan di siang harinya begitu padat jadwal yang kami miliki. Saya dan Rahma dua hari ini sebelum tidur juga sempat berdiskusi tentang LG, tapi itu tidak berlangsung lama, lelah yang bergelayut  mengajak kami memasuki alam mimpi.

Mentari kian beranjak ke ufuk barat, meninggalkan senja yang berwarna jingga kemerahan. Kami Shalat Maghrib di Mesjid Lueng Putu, Pidie Jaya. Arsitekturnya menarik, tidak ada dinding pembatas yang ada hanya pilar-pilar terpancang. Perpaduan warnanya juga senada. Maka tidak heran ketika usai Shalat Maghrib kami langsung pasang aksi di depan kamera dengan background Mesjid ini, tertawa-tawa karena terkadang kami lupa umur jika sudah bergaya di depan kamera. Masih dalam suasana riang kami kembali ke mobil, namun tawa yang kami miliki tadi harus kami bayar dengan kepanikan. Kunci mobil hilang, dengan kondisi seluruh pintu dan jendela mobil tertutup.

Aku pikir mereka bercanda, tapi ini benar-benar serius. Setiap laki-laki memeriksa kantong mereka, baik di baju, jacket  maupun celana. Tidak ada seorang pun yang memegang kunci mobil. Kepanikan mulai menjalari, bagaimanalah kami akan kembali jika kunci tidak ada. Sebagian memeriksa Mesjid, hasilnya nihil. Menurut Al Fazri kunci mobil berada di bangku bagian belakang. Ia pun mencoba melihat ke dalam mobil, bermodalkan senter yang terdapat di mancis. Perkiraannya tepat, kunci mobil memang berada di jok belakang.

Mobil kijang yang kami bawa merupakan keluaran lama, jendela bagian belakang masih menggunakan baut di bagian sampingnya. Jendelanya sudah terbuka, namun kunci masih belum tergapai kendati Al Fazri telah mencoba menarik kunci tersebut keluar jendela menggunakan kayu. Semua Kru LG yang laki-laki berupaya mengambil kunci tersebut, sedangkan aku dan Rahma duduk di tepi pagar Mesjid, sambil sesekali memotret mereka. Konadi bolak-balik meminjam obeng untuk membuka baut jendela. Ada yang meminjam kunci sepeda motor seorang pria yang melewati mobil kami, aku tidak tahu apa gunanya. Tanganku yang kecil juga diminta untuk mencoba mengambil kunci, sayangnya tidak tergapai, terlalu jauh jaraknya. Sampai akhirnya kami mendapat pinjaman obeng bunga dari penduduk sekitar, melalui tangan Zhahri jendela berhasil dilepas dari bautnya. Satu setengah jam yang melelahkan.

Setelah makan malam di Ulee Gle, Pidie Jaya, kemudi yang semula di tangan Munawardi beralih ke Khalisuddin. Di lini tengah hanya posisi aku dan Rahma yang tidak berpindah-pindah, sedangkan yang lainnya selalu berganti-gantian. Aku curiga mereka mengadakan semacam undian, siapa yang menang maka berhak duduk di bangku bagian tengah, kendati harus duduk berempat.

Aku terbangun saat berada di KM 40, sebuah jalan yang sangat lebar untuk ukuran Aceh dan begitu mulus. Aku dan Darmawan harus berganti-gantian bersandar pada bangku mobil. Kini giliran dia yang bersandar, maka kudekatkan tubuhku ke kursi supir. Kuprotes gaya menyupir Khalisuddin yang menurutku terlalu kencang untuk wilayah yang dipenuhi tikungan seperti ini. Ia hanya tersenyum, menurutnya “kemahirannya” mengemudi seperti ini ia dapatkan saat masa-masa konflik dulu. Sendirian, suasana mencekam, solusi satu-satunya adalah menambah kecepatan mobil.

Ia memintaku untuk memperhatikan jalan di KM 40 yang tidak memiliki garis putih di tengah jalan. Tanpa garis putih tersebut, pengemudi kendaraan seakan tidak memiliki petunjuk. Ia merasa heran, kenapa kecelakaan semakin sering terjadi di daerah ini padahal jalannya sudah sedemikian lebarnya. Selanjutnya kami berbincang tentang LG, tentang jalanan, banyak hal. Ah, ia memang selalu semangat jika bercerita. Ia juga melemparkan sebuah teka-teki kepada kami, “apa kegunaan rem pada sebuah kendaraan?”. Jawabannya benar-benar membuat kami tertawa.

Kurebahkan kembali tubuhku ke sandaran bangku mobil, banyak sekali hal yang kudapatkan dalam perjalanan ini. Bagaimana pentingnya sebuah silaturahmi, bagaimana mengolah emosi saat berada dalam kepanikan, bagaimana membuat sebuah perencanaan yang matang ketika akan bepergian, bagaimana memaknai sebuah kejujuran, dan bagaimana memaknai sebuah kebersamaan yang kami miliki selama tiga hari ini.

Satu persatu Kru LG turun dari mobil. Begitu juga aku, ketika mobil memasuki kawasan Simpang Wariji. Kulirik jam, pukul 01.30 WIB. Saat mobil berlalu, satu hal yang terlintas di benakku. Lintas Gayo kini merupakan harapan perubahan bagi Warga Gayo, maka tidak ada alasan untuk mundur.(Ria Devitariska)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.