Hak Paling Utama Bagi Anak

Drs. Jamhuri, MA*

Anak sebagai amanah yang diberikan Tuhan kepada manusia, dimana amanah ini wajib disampaikan kepada tujuan sesuai dengan yang dikehendaki oleh yang Maha Pemberi Amanah. Untuk itu perlu mengetahui apa yang menjadi hak dari yang diamanahkan terebut. Para ahli hukum keluarga Islam mengelompokkan kepada tiga hak utama untuk seorang manusia ketika ia dilahirkan :

Hak pertama adalah hak nasab, hak ini mesti didapatkan oleh anak dan wajib diberikan oleh tua mereka. Di dalam Hukum Islam hak ini didapatkan melalui perkawinan orangnya yang sah, yaitu perkawinan yang memenuhi syarat dan rukun, bila perkawinan itu tidak memenuhi syarat dan rukun digolongkan kepada perkawinan yang tidak sah dan segala yang diakibatkan juga tidak sah, seperti halnya seorang anak yang lahir dari pernikahan yang tidak sah.

Ulama sepakat menentukan bahwa lama minimal seorang anak dalam kandungan adalah enam bulan, berdasar isyarah dari al-Qur’an : yaitu masa mengandung sampai menyusui adalah tiga puluh bulan, sedang masa menyusui adalah dua tahun (24 bulan). Berarti masa mengandung dan menyusui tiga puluh bulan, dikurangi dengan dua puluh empat bulan masa menyusui, sisanya enam bulan masa dalam kandungan (30 bulan dikurangi 24 bulan sama dengan 6 bulan).

Sedangkan maksimal dalam kandungan dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat sampai kepada empat dan lima tahun.

Terlepas dari batas minimal dan maksimal tersebut, ulama memberi penegasan bahwa penghitungan awal dari masa dalam kandungan adalah aqad dalam pernikahan. Jadi walaupun ada anak yang lahir melebihi waktu minimal seperti yang disebutkan, namun berdasarkan pembuktian secara keilmuan telah ada (hamil) sebelum nikah maka anak tersebut tetap dikatakan sebagai anak yang secara hukum tidak mempunyai nasab yang sah. Dan kalau ada anak yang lahir masih dalam usia kandungan enam bulan berdasarkan isyarat dari al-Qur’an sebagaimana disebutkan adalah normal. Kendati menurut ilmu kedokteran usia kandungan seperti ini dianggap prematur.

Menurut aturan hukum Islam apabila anak yang lahir tidak dari perkawinan yang sah (anak yang lahir sebelum menikah atau lahir setelah nikah namun telah ada dalam rahim ibunya sebelum menikah) maka ia dihubungkan dengan ibu biologisnya dan tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayah biologisnya. Di samping tidak mempunyai hubungan nasab juga tidak mempunyai hubungan saling mewarisi dan tidak pula  mempunyai hubungan perwalian.

Hak kedua adalah hak radha’ah, sesuai dengan perintah dalam al-Qur’an bahwa seorang anak mempunyai hak untuk menyusui selama dua tahun penuh, dan karena ini merupakan hak dari anak, maka orang tua mempunyai kewajiban untuk memenuhinya.

Pemenuhan hak anak ini dipahami secara berbeda berdasarkan budaya masyarakat, dalam tradisi modern sekarang ini pemenuhan hak anak disamping memberi asi disesuaikan dengan kesempatan waktu seorang ibu, ditambah dengan susu formula yang telah disediakan. Dalam tradisi sebagian masyarakat lain, apabila seorang ibu tidak sempat atau karena alasan kesehatan maka seorang ibu juga menggantinya secara penuh dengan susu formula. Dan ada juga tradisi dalam memenuhi hak ini dengan mengupahkan kepada orang lain untuk meyusui anaknya, hal ini bercermin dari tradisi Rasul.

Penyebutan lamanya masa menyusui sampai dengan dua tahun penuh oleh Allah di dalam al-Qur’an, menunjukkan bahwa radha’ah itu penting. Karena itu pengabaian hak anak untuk radha’ah sangat tidak baik untuk kondisi dan juga perkembangan anak, baik karena dengan sebab kondisi fisik orang tua (ibu) atau juga karena ketiadaan ibu si anak. Untuk hal ini pengupahan radha’an dibenarkan dalam hukum Islam.

Hak ketiga hak hadhanah, yang dimaksud dengan hak hadhanah adalah hak megasuh anak. Kalau kita perhatikan pada hak nasab, maka peran ayah secara hukum sangat menentukan, dan untuk hak radha’ah peran ibu dan ayah sangat sangat pentin, artinya ketika si ibu punya halangan untuk menyusui anak maka si ayang mempunyai kewajiban untuk mengganti baik dengan susu formula atau juga dengan mengupah orang lain sebagai ibu susu. Sedangkan untuk hadhanan ini sangat ditegaskan oleh ulama, bahwa hak hadhanah ada pada ibu bukan pada bapak (kendati ini hanya berdasarkan pemahaman).

Alasan yang digunakan adalah, bahwa ibu merupakan orang pertama bagi anak dan ibu juga sebagai orang yang paling dekat dengannya. Malah dikalangan ulama menetapkan apabila seorang anak yang ditinggal ibunya karena meninggal dunia atau karena sebab lain, maka orang yang mempunyai beban hadanah terhadap anak adalah orang perempuan muhrim dari anak tersebut, bukan ayah ayahnya.

Aturan hadhanah bukanlah hanya masalah pemeliharaan anak secara fisik tetapi lebih dari itu banyak berhubungan dengan keagamaan dan kasih sayang. Sehingga ulama membuat urutan keutamaan dalam hadhanah, dari ibu, ibu dari ibi (nenek pihak ibu), kemudian ibu dari bapak (nenek pihak bapak). Sebenarnya dari kedekatan nasab seharusnya adalah dari ibu kepada ibu dari bapak bukan ibu pihak ibu, tetapi karena berhubungan dengan kedekatan dan kasih sayang maka pengutamaannya kepada ibu dari pihak ibu. Dan selanjutnya keluarga perempuan pihak ibu.

Kemudian ulama menentukan orang-orang yang dapat memenuhi hak hadhanah ini adalah :

  1. mampu memberikan kebebasan kepada anak (tidak ada penekanan)
  2. mampu memberikan apa yang dibutuhkan anak yang berada di bawah pengasuhannya.
  3. Keibuan,
  4. Taat beragama,
  5. Memiliki rasa kasih sayang.

Kemudian batas dari pemberian hadhanah ini adalah sampai kepada seorang anak mengetahui apakah yang akan ia lakukan baik atau tidak baik.



* Dosen Fak. Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.