PESTA demokrasi kembali melentangkan tikar untuk mendudukratakan seluruh masyarakat Aceh pada sebuah ruangan yang disebut Pilkada, kesempatan terbuka untuk orang-orang yang ingin mencalonkan diri menjadi pemimpin atau mengusung calon pemimpinannya.
Pemunduran jadwal pemilihan gubernur, bupati dan walikota pun sempat merisaukan Pilkada ke dua di Aceh yang telah di sepakati pada tanggal 9 April mendatang. Jenjang tahapan menuju pilkada pun telah di susun, mulai dari tahapan internal seperti seleksi bakal calon untuk menjadi seorang calon yang di usung baik oleh partai politik maupun independent, tes kesehatan, tes baca alquran dan baru tahapan berikutnya setelah di tetapkan menjadi calon yaitu tahap kampanye, sebelum pada akhirnya melakukan pemungutan suara pada hari yang telah di tentukan.
Dari seluruh tahapan-tahapan Pilkada tahapan kampanyelah yang paling sering terjadi kecurangan-kecurangan politik, seperti mencuri start sebelum memasuki waktu kampanye, money politic atau bahkan sindiran-sindiran halus khas ala politikus yang walau tak menyebutkan identitas, masyarakat bisa langsung tahu siapa yang di-bla bla bla-kannya dalam kampanye. Layaknya sebuah pertandingan tentunya mempunyai wasit yang bertanggungjawab agar pertandingan berjalan lancar, tertip dan aman.
Disinilah peran KIP bersama dengan Panwas sebagai wasit tunggal dalam pertandingan politik Pilkada, terutama sikap yang jelas, serta kepekaan akan pelanggaran-pelanggaran ‘ringan’ yang sering dterabaikan padahal bisa berdampak hebat jika dimainkan di ranah politik bangsa ini.
Seyogyanya, sosialisasi calon baru bisa dilakukan bila bakal calon telah ditetapkan sebagai calon, para calon memperomosikan janji-janji politik agar masyarakat lebih mengenal dan lebih mengetahui visi misi calon untuk sebuah perubahan kedepan, tetapi kempanye dari masing-masing calon akan sah atau legal memasuki masanya bila sesuai dengan peraturan yang telah disepaki, yaitu tanggal 22 Maret 2012.
Ironi memang, belum lagi tahu dirinya bakal menjadi calon kepala daerah tetapi para bakal calon dan pengusung calon sudah sibuk memperomosikan para kandidat pemimpin, dan yang paling kita takutkan hal ini berlansung sampai dengan hari pemungutan suara, memang bukan secara terang-terangan karena takut terkena kartu kuning dari Panwas, tetapi dikemas menjadi sedikit elegan yaitu dengan menggunakan jejaring sosial, paling meriah facebook dan twitter. Arus gelombang teknologi terutama bidang komunikasi dan media memang tak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan Tsunami, hampir semua orang merasakan euforia demam networking, orang bisa mengakses informasi dengan sangat irit karena 1 kb hanya berkisar antara 5-10 rupiah.
Inilah yang di manfaatkan oleh sebagian pengusung calon untuk berkampanye secara langsung atau melakukan perkenalan dini kepada para pemilih agar para pemilih mengetahui visi misi dan profil dari masing-masing calon kandidat gubernur dan bupati dengan memasang dan membagikan photo yang berisi gambar lengkap dengan no urut dan visi misinya, bila kita lihat secara sepintas mungkin tidak masalah karena masyarakat pengguna jejaring sosial dapat dengan cepat mengetahui calon dan mempelajari secara dekat misi dan visi calon, tetapi seharusnya ‘kerikil’ ini harus di lirik oleh ‘wasit pilkada’ agar para pemain tetap bermain aman, karena selisih kehidupan dunia maya dengan dunia real kita sangat tipis, dunia maya-bahasa yang sering digunakan untuk sebutan dunia jejering sosial- dapat mempengaruhi masyarakat juga, sebagai negara pengkonsumsi facebook kedua terbesar didunia patut diwaspai atas pencurian start kampanye di jejaring sosial ini.
Dan kalau kita melihat di facebook saat ini bukan hanya terlihat pasangan calon di kampanyekan oleh masyarakat biasa, tetapi juga tidak jarang di sosialisasikan oleh pengguna yang seharusnya netral dalam pilkada ini; seperti polisi, TNI dan Pegawai Negeri Sipil, mereka bermain secara ‘gelap-gelapan’ mengusung calon dengan membagikan photo-photo secara online kepada pengguna lainnya, tidak diketahui apakah ada kaitan emosional antara pasangan calon dan oknum tersebut, tetapi secara etika kelembagaan mereka harus di tuntun profesional dan netral dalam pilkada.
Bagi sebagian orang ini bukanlah masalah bila ada beberapa calon mencuri start karena hanya di dunia maya, tapi miss dalam pengawasan dan ketidaksiapan Panwas dalam menyikapi perubahan gaya hidup masyarakat terutama media yang digunakan sebagai alat kampanye perlu di sikapi agar rasa sportipitas dan rasa saling menghargai tetap dirasakan setiap calon, jika ada beberapa calon yang sudah ‘kebelet’ ingin promosi lebih dulu untuk memikat hati masyarakat seharusnya tetap memakai metode win-win solution yang dilandasi secara adil dan fair, agar kami masyarakat Aceh bisa menikmati ‘hidangan Pilkada’ yang bersih dan sehat. Karena sebagai masyarakat yang sudah mulai ‘pintar’ menilai calon pemimpinnya, tentu yang berkualitas yang akan menarik perhatian kami.
*mahasiswa asal Bener Meriah di Bandung