Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
Sebuah pertanyaan dari mahasiswa yang mengikuti kuliah Ushul Fiqh Muqaran II, bagaimana kekuatan dan kebenaran logika (ra’yu) ketika memahami makna “Qiyas” yang itu mempersamakan hukum suatu pristiwa yang belum ada dalil nashnya dengan hukum suatu pristiwa yang sudah ada dalil nashnya. ?
Memulai jawaban dari pertanyaan ini saya memberi pemahaman tentang adanya logika atau ra’yu di dalam dalil qiyas, hahwa dalam dalil qiyas adalah adanya hukum suatu pristiwa yang ada diluar dalil nash dan hukum suatu pristiwa yang ada di dalam dalil nash (al-Qur’an dan hadis), antara kedua hukum dari pristiwa tersebut mempunyai kesamaan keadaan atau sifat (‘illat).
Apabila hukum suatu pristiwa baik yang ada diluar dalil nash dan yang ada dalam dalil nash di pisah. mahwa yang berada di luar dalil nash merupakan upaya akal (ra’yu) untuk menemukannya, sedangkan yang ada dalil nash bukan merupakan upaya akal karena Tuhan telah menyebutkannya secara jelas. Seperti kewajiban mengeluarkan zakat untuk gandum dan keharaman minum khamar yang memabukkan. Sedangkan padi, jagung, sagu dan lain-lain wajib juga dikeluarkan zakatnya sama halnya dengan gandum karena menjadi makanan pokok.
Upaya menetapkan hukum terhadap apa yang tidak disebutkan dalam dalil nash (padi, jagung, sagu dan lain-lain) perlu adanya pengetahuan untuk mencari hal-hal apa saja yang dipersamakan dengan gandum, seperti yang telah disebutkan adalah sama-sama makanan pokok. Kemudian ulama menyamakan keduanya dapat disimpan lama, Serta penyamaan selanjutnya adalah sama-sama berkembang (an-nama’ atau produktif). Demikian juga dengan penyamaan sabu-sabu, ganja dan lain-lain yang memabukkan dengan khamar yang ada dalil nashnya.
Para ulama klasik membuat ketentuan yang diprsamakan dengan syarat : ada atau positif, dapat diukur atau konkrit dan logis atau relevan. Namun dalam perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini pertanyaan lain akan muncul dan sangat memerlukan jawaban, yaitu siapakah yang mempunyai pengetahuan menyamakan makanan-makanan yang tidak disebutkan dalam dalil nash dengan yang disebutkan dalam dalil nash. Juga siapakah yang mempunyai pengetahuan untuk mempersamakan antara minuman, barang yang diisap atau yang lainnya yang tidak disebutkan dalam dalil nash dengan khamar yang ada dalam dalil nash.
Untuk inilah diperlukan ilmu pengetahuan modern. Seperti Ahli kimia mengetahui bahwa pada tahapan proses yang bagaimana air nira bisa menghasilkan alkohol yang dapat membahayakan akal para menggunanya, mereka juga memahami pada kadar proses anggur yang bagaimana yang dimaksudkan oleh hadis sehingga sari anggur itu dinamakan dengan khamar.
Mereka yang ahli dalam bidang ilmu biologi mengetahui, apa alasan sehingga orang yang sepersusuan diharamkan menikah, dan kenapa juga orang yang telah menyumbangkan darahnya melalui transpusi darah tidak diharamkan. Alasan sebagian orang menyebutkan bahwa air susu yang diisap ketika masa menyusui menjadi bagian dari pertumbuhan dan perkembangan secara fisik, lalu bagaimana bila transprusi darah dilakukan pada masa pertumbuhan dan perkembangan atau sama-sama dilakukan pada usia menyusui.
Perlunya ilmu pengetahuan modern di sini digunakan untuk meneliti dan menganalisa dan selanjutnya dijadikan standar untuk penetapan hukum, sehingga bisa kita katakan tidak memadai (bukan tidak perlu) lagi ilmu-lmu yang berkembang pada saat lahirnya dalil hukum qiyas atau dalil hukum lain itu. Yang dimaksudkan dengan ilmu pengetahuan kodern disini tidak hanya terbatas dengan ilmu kimia dan biologi sebagaimana telah disebutkan, tetapi lebih dari itu semua ilmu yang berkembang seperti ilmu kedonteran, fisika, gizi, kesehatan, sosiologi, antropolgi, komunikasi, tekhnologi dan lain-lain tergantung kepada kepentingan pokok bahasan yang akan dikaji.
Ada ulama yang memahami makna qiyas adalah makna pertama dari dalil nash, baik al-Qur’an atau sunnah, dan ada juga yang memahaminya dengan makna kedua. Dapat kita ambil contoh bahwa makna kata khamar adalah minuman yang memabukkan, jadi minuman atau makanan atau juga isapan yang memabukkan adalah makna pertama dari kata khamar, sedang kelompok lain mengatakan bahwa makanan, minuman atau isapan yang memabukkan adalah makna kedua, yang makna pertamanya adalah khamar itu sendiri. Demikian juga dengan Gandum yang ada dalam hadis dimaknai dengan makanan pokok sebagai makna pertama oleh kelompok pertama dan makna kedua oleh kelompok kedua.
Contoh lain yang lebih mudah dari pemahaman makna kata pertama atau kedua adalah, kata syamsun dimaknai dengan matahari. Menurut kelompok pertama makna matahari dari syamsun adalah makna pertama, sedang menurut kelompok kedua makna pertamanya adalah syamsun itu sendiri dan matahari itu makna keduanya.
Dari contoh-contoh ini jelas kepada kita dimana letaknya logika atau ra’yu dalam pemaknaan sebuah kata, sebagian mengatakan bahwa arti dari kata syamsun adalah matahari berarti pada matahari itulah adanya ra’yu atau logika, dan bagi mereka yang mengatakan matahari sebagai makna pertama maka tidak ada makna ra’ru atau logika. Demikian juga dengan pemaknaan pada contoh qiyas seperti yang telah diuraikan.