Wanita Berair Mata Senja


Oleh : Zuliana Ibrahim*

Sudah lama, ia kerap berpandang pada petang. Angin pun seolah berkabar tentang risalah hatinya yang tak kunjung usai memendamkan rindu di dada. Maka, ia akhirnya berhasil memintal satu asa. Ialah tertuang dalam detak yang beralirkan kerinduan. Ah, kerinduan yang mendaratkan kerut alis berkepanjangan.

Ini kesekian kalinya, di senja berpalung kerinduan. Aliyah, wanita tua yang khas dengan sandaran segumpal kecil bakau mangas di sudut kanan mulutnya. Ia kadang berkaca pada bening tawar. Ya, Tawar- tawar, denangnya tak usai hanya pada Lut Tawar. Sejak suaminya telah tiada,  ia pernah berkabar tentang dentang waktu yang terus bergulir menuju usia yang semakin  tua. Bersebab ia sedia kalanya adalah wanita pengagum senja, seperti senja ini pula ia kembali bersidekap padanya.

Di puncak kerinduan yang sulit ia tuang, senja dengan tetesan air mata yang mendera. Aliyah, lagi-lagi orang mengira ia gila. Wanita dengan langkah tua kerap bercakap pada senja. Dan ini adalah senja yang tak terhitung keberapa kalinya, ia merangkak menuju senja dengan air mata.

Dari Bur Gayo ia kerap memandang tak jemu. Meski langkahnya sudah tua, sekali-dua kali mendaki bukit sudah biasa ia lakukan sebagai wanita yang pernah tinggal di hutan. Wanita dengan kerisauannya yang sungguh mendamparkan tanya. Setelah suaminya meninggal akibat serangan jantung. Sudah lima tahun, ia dibekukan oleh rindu. Rindu yang mengalir sederas arus peusangan. Ah, Aliyah. wanita tua dengan sejuta tanya.

“Senja, mengapa kau tak melukis wajahnya?” Aliyah, kerap menggemakan maklumat, ia berkali-kali menyalahkan senja.

Wanita itu memanjat duka yang selama ini ia pendam dalam dada. Ia juga kadang berdecak kagum tentang tepi lut tawar yang juga suka menawarkan rindu padanya. Namun  itu bukanlah  kerinduan yang ia maksud, yang ingin ia dekap.

 “Ine, Ine….!” Kasma, gadis berambut pirang, berkulit sawo matang. Memanggil wanita tua bernama Aliyah, ibunya.

”Senja, aku ingin mendekapmu!” Aliyah pula masih nyelangsa di bawah pohon damar.

“Ine, Ine….!”  Kasma belum menemukan Aliyah.

“Senja, rangkul aku! Pertemukan aku dengan suamiku.”

“Ine, Ine…!”

Aliyah, penglihatannya berkabut. Ia memalingkan wajah dan seutas senyumnya pun tersulam. Kasma telah ada tak jauh darinya, Aliyah kemudian jatuh pingsan.

* * *

Orang-orang mulai semakin resah perihal Aliyah, ia dikenal sebagai wanita penyamun senja. Entahlah, ia kerap memuja, mencerca, kadang menggelitik, bercanda atau bahkan menghujat senja. Itu biasa ia lakukan, di tempat di mana ia sering menikmati hari saat muda dulu bersama almarhum Bardi, suaminya.

Namun, tidak kali ini. Kasma mengguncinya di rumah. Ia tak diperbolehkan  berkeliaran, sebab Kasma pun tak tahan dengan cemoohan orang-orang. Kasma  bingung perihal apa yang sebenarnya menyergap relung hati ibunya tersebut. Namun apalah daya, ia tak bisa berbuat apa-apa.

“Kasma! izinkan aku memeluk senja. Aku ingin keluar dari derit duka. Kasma…!” Aliyah gusar, ia menggedor-gedor pintu. Ini waktunya ia kembali ingin bertatap pada senja.

Ah, tawar-tawar. Denang Lut Tawar, dengan senja yang muncul dari siluet-siluet balik awan. Aliyah, kadang tak dapat diterka ruas pikirnya. Ia, kadang hanya asyik mengurusi kertan-kertannya menjadi sebuah tikar yang cantik.

Suatu ketika, di pagi yang beraroma embun segar di dedaunan. Kasma seraya muniru,  telanten menyimak ibunya yang dengan lincah meracik kertan dengan kedua tangannya.

“Mengapa kau memandang Ine seperti itu?”  Aliyah, ternyata memahami tatapan Kasma yang diam-diam beralih memandang wajah tuanya.

“Hmm.. tidak! Ine mau kubuatkan kopi?” Kasma menawarkan, Aliyah tersenyum. Mengelus lembut pipi Kasma, putri tunggalnya yang berusia kurang dari tiga puluh tahun itu. Kasma belum ingin menikah, padahal sudah beberapa pemuda pernah melamarnya. Alasannya pun sederhana, ia hanya ingin menemani ibunya di masa tuanya.

 “Kasma, nanti sore kau ikutlah denganku. Aku akan perkenalkan senja padamu.”

Kasma tersentak, mengguratkan tanya di benak. Siapakah senja yang dimaksud ibunya tersebut? Apakah senja yang selama ini ia hujat atau kadang ia puja?

“Agar kau tak anggap aku gila, sama dengan orang lain!” Nanar tatapan Aliyah pada putrinya tersebut, kemudian melanjutkan kembali lincah tangannya pada kertan di pangkuannya.  Kasma menyelami pikir ibunya, ia tak pernah mengerti tentang senja yang dimaksud. Ia pun bersiap hendak pergi menuju kebun, meninggalkan ibunya sendiri di rumah. Ada senyum ringkas ia terima dari ibunya sebelum ia berangkat, ia pun pamit menuju kebun yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari rumahnya.

* * *

Wanita tua itu kini sudah berada kembali di Bur Gayo, Kasma pula tak tinggal. Ia menggelarkan tikar kecil hasil racikan ibunya. Indah, menikmati sejuknya Dataran Tinggi Tanah Gayo dengan desir angin menyenggarai.

“Kasma, lihat senja datang!” Kasma kerut alisnya tergurat, ia tak menemukan apapun yang beda.

“Kasma, aku begitu merindukannya. Kau  bisa melihatnya bukan?”

Ah, Kasma benar-benar mulai risau. Ia penasaran dan menuju tempat ibunya yang berdiri persis di dekat sebuah pohon damar.  Tiada bersiteru batinnya, ia malah berdecak kagum pula.

“Iya Ne, kenalkan aku pada senja. Aku juga ingin mengenalnya.” Kasma tampak antusias. Meski ia pun merasa ada yang mengganjal, ini serupa maklumat tentang pesan.

“Ine, dia berpaling! Oh, tidak. Kita harus mengejarnya!”

“Tenang Kasma, jangan takut! Besok ia akan kembali.” Ucap Aliyah, meyakini.

“Apakah senja, selalu seperti ini Ne? Kenapa ia hadir sesuka hatinya? “ Kasma ingin menyelami galau hati ibunya.

“Ya, sebab senja tahu. Kita bisa melihat orang yang sangat kita rindui lewat wajahnya.” Aliyah tatapannya tetuju pada senja yang berangsur hilang.

“Ne, apakah ia tak pernah pamit?”  Kasma, lagi tatapannya menyelusuri jawab ibunya.

Aliyah, diam tak berkutik. Ia wanita senja, menyukai haluan desir angin yang menyisir gelombang Lut Tawar. Ia masih diam tak mengungkap jawab. Kasma perlahan merangkul tubuh tua ibunya tersebut.

“Jangan pernah menyalahkan senja Ne, ia hanya mengabarkan berita bahwa Ama bahagia di sana.”

Kasma, awalnya hanya ingin menghibur hati ibunya. Ia pun seakan berteman pada senja. Namun entah mengapa, tiba-tiba ada senyum yang menetas dari mereka berdua. Mentari tenggelam menuju malam, azan maghrib menyeruak dari berbagai meunasah di seputaran daerah yang beraroma dedaunan. Kasma dan ibunya berangkulan, mereka pun pulang.

                                                                                                Ranah Kompak, April 2012

—-

 *Penulis cerpen ini adalah Redaktur Cerpen/Puisi di Lintas Gayo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.