Berkalung Salib ke India (1)

Oleh Luqman Hakim Gayo*

Isu kebencian kepada Islam sudah saya dengar sebelum berangkat ke India. Perkelahian sering terjadi dan ledakan bom di sejumlah kota besar yang menelan korban. Peristiwa yang menyedihkan lainnya adalah diruntuhkannya Masjid Baabri di Ayodhia, kota kecil yang berbatasan dengan Nepal. Lebih dari 2000 manusia menjadi korban. Itulah sebabnya kenapa  kepergian.

Bulan puasa ketika itu. Pukul 17.30, untuk pertama kali saya naik pesawat Thai di Bandara Soekarno-Hatta. Pemeriksaan barang dan penumpang cukup ketat. Alhamdulillah, saya penumpang pertama yang diberi  buka puasa di udara. Lumayan juga. Satu jam kemudian sudah sampai di Singapura. Transit di Bangkok, lalu ganti pesawat Thai lain menuju New Delhi. Seperti rencana semula, demi keselamatan, Bible sudah saya letakkan di atas pakaian, dalam koper. Sedangkan kalung salib sudah saya pakai sejak keluar rumah.

Alhamdulillah, lagi-lagi Allah swt menolong saya. Sekitar pukul 02.00 dinihari pesawat mendarat di New Delhi. Ketika pemeriksaan koper, saya lancar-lancar saja setelah petugas melihat Bible di atas tumpukan pakaian. Dengan 220 rupee, taksi Bandara mengantar saya ke Hotel Ashok Yatri Nivas. Saya sengaja membuka dua kancing baju atas, dan terlihatlah kalung salib itu.

“Oh, are you Chris? Well come”, kata petugas resepsionis memberi senyum. Lalu saya menerima kunci kamar di lantai 18. Berbeda dengan penumpang lain yang terkesan di persulit dengan berbagai pertanyaan. Baik ketika di Bandara , apalagi di Hotel.

Langkah pertama yang saya lakukan adalah mencari orang Indonesia. Informasi itu pasti ada di KBRI. Menurut pihak KBRI, sekitar 100-an orang Indonesia di New Delhi.. Sebagian besar  mahasiswa yang belajar agama Hindu. Mereka datang dari Bali. Seperti juga mahasiswa Islam yang banyak dikirim ke Saudi Arabia dan negara Timur Tengah lainnya. Sebagian lagi bea siswa kursus pelistrikan, kiriman PLN dan PU. Saya mencoba mencari mereka ke asrama, tapi tidak bertemu.  Saya tuliskan alamat di grendel pintu kamar, agar mereka datang ke hotel saya.

Persoalan di India, menurut orang-orang KBRI, adalah masalah dalam negeri. Orang luar tidak perlu ikut campur. Tetapi mereka membenarkan kasus Ayodhia, hanya alat untuk menarik suara bagi BJP (Baratha Janatha Party) untuk mengalahkan Partai Kongres yang sudah beberapa kali memenangkan Pemilu. Termasuk ’dirobohkannya’ Masjid Baabri di Ayodhia.

Apakah benar disana pernah berdiri temple atau kuil? Apakah disana berdiri Masjid Baabri sejak awalnya? Benarkah di lokasi itu kelahiran Sri Rama? Belum ada kepastian. Tetapi ada upaya untuk menggulingkan Perdana Menteri Rao, karena tidak mampu mengatasi  konflik di tengah masyarakat. Indira Gandhi ’terbunuh’, karena masalah agama. Rajiv juga ’jatuh’ karena masalah agama.

Mengunjungi Taj Mahal

Dalam beberapa hari ini saya mengunjungi Sekolah Indonesia, sambil shalat Jumat di KBRI.  Kesempatan berwawancara dengan guru-guru Indonesia, dan juga ada guru asli orang India. Bahasa pengantar di sekolah itu tentu saja bahasa Inggris.  Para guru mengatakan senang, karena mereka digaji dengan dollar. Mungkin hanya untuk beberapa tahun, kemudian kembali ke Indonesia. Sebagian besar murid-muridnya adalah anak-anak pegawai kedutaan sendiri. Dari sana saya ke Old Delhi. Pusat pasar di kota besar ini, serupa dengan pasar Tanah Abang di Jakarta. Segala jenis kain sari, disinilah tempatnya.

Bangun pagi,  agen travel sudah mencari turis sampai ke kamar-kamar. Termasuk ke kamar saya. Mengajak ke Agra dengan bayaran murah. Tanpa ba-bi-bu, saya setuju.  Pukul 9.00 pagi kami berangkat dengan sebuah bis mini. Dua dari Inggris, dua Amerika, satu Indonesia, selebihnya turis domestik. Selain melihat-lihat kota, yang penting adalah melihat Taj Mahal dari dekat. Perjalanan yang benar-benar mengasyikkan.

Inilah wajah India yang sebenarnya. Keluar dari kota New Delhi, persawahan dan kehidupan masyarakat kecil mewarnai perjalanan ini. Ada mereka yang terpaksa menjual rumput dengan lempengan tanah. Disusun sedemikian rupa menjadi tumpukan seperti benteng pertahanan. Ada anak-anak yang sekolah dibawah pohon, dengan seorang ibu guru berpakaian sari yang lusuh. Tetapi murid-muridnya riang gembira.

Kami bertemu dengan sebuah kampung monyet. Semua penumpang turun dan bersalaman dengan monyet-monyet yang tiba-tiba berkerumun. Ada yang memberi pisang, roti, kacang tanah dan makanan lain. Bersalaman dengan monyet-monyet itu, seperti dengan manusia. The Holy Monkey, itulah sebutan untuk hewan jenis ini. Sehingga mereka tidak punah dan cenderung terus berkembang biak. Bahkan dimana-mana bangunan tua, dipenuhi  monyet yang terpelihara dengan baik.

Akhirnya, kami sampai di kota kecil Agra. Kota yang penuh dengan bangunan bersejarah, peninggalan raja-raja Muslim Mongolia. Satu diantaranya yang sangat popular adalah Taj Mahal. Bangunan spektakuler ini dibuat oleh Shah Jehan dan dipersembahkan untuk isterinya yang cantik Mumtaz Mahal, sebagai tanda cinta yang tak pernah lekang. Makam Shah Jehan berdampingan dengan isterinya, Mumtaz Mahal, dalam salah satu ruangan Taj Mahal itu.

Bangunan berbentuk masjid ini, konon dikerjakan selama 22 tahun. Dindingnya terdiri dari batu berwarna asli. Putih, merah, hitam dan hijau yang tidak pernah luntur. Batu-batu itu didatangkan dari Samarkand, Persia, Rusia dan negara lain. Sekeliling dinding bagian dalam Taj Mahal, dihiasi dengan ayat-ayat Alqur’an dari Surat Yasin. Disamping itu ada gambar amor dan bunga, lambang cinta dan kecantikan.

Namun tak seorang penunggupun yang bisa membaca ayat-ayat suci itu. Dua pemuda yang mengaku ahli waris Taj Mahal menjadi pemandu wisata disini. “Kami beragama Islam. Tapi tidak bisa baca Alqur’an. Sudah lama tidak ada yang mengajar kami salat dan ibadah lainnya, apalagi baca Qur’an”, kata Abdul Qayyim, seorang penunggu. Bahkan, setelah Shah Jehan meninggal, Islam juga lenyap dari kota itu. Yang tinggal hanya istana megah yang kini menjadi objek wisata.

Kembali dari Agra, berhenti lagi di desa tempat The Holy Monkey. Desa kecil ini juga ada kios-kios kecil yang menjual berbagai souvenir. Para wisatawan, disamping menyapa monyet-monyet itu, juga banyak membeli berbagai tanda mata dari India. Seperti selendang sari, baju kaus bertuliskan dan gambar Taj Mahal serta kerajinan kecil lainnya.

Ke Bombay dengan KA

Dua kota penting yang harus saya kunjungi adalah Bombay dan tentu saja Ayodhia. Siang itu saya mengunjungi stasiun Kereta Api Pusat di New Delhi. Sebuah stasiun besar, berlantai dua. Lantai bawah untuk penjualan tiket kereta regular, kereta kelas dua. Calon penumpang antri di semua loket. Para pedagang juga memenuhi pelataran stasiun ini.

Di ujung plaza stasiun, mata air memancar deras ditunggu oleh seorang wanita. Ia asyik mengisi botol-botol plastik yang berjejer, kemudian disambar pemiliknya dan segera berlari ke kereta yang akan berangkat. Air kran yang memancur itu dijamin sehat dan bisa langsung diminum. Satu lagi kelebihan di India. Air itu tidak dijual, tetapi ada juga yang memberi uang kepada wanita si pengisi botol itu sekedarnya.

Saya harus naik ke lantai II untuk pesanan tiket jarak jauh dan kereta agak bagusan. Seperti biasa dengan memperlihatkan passport, lalu ticket saya peroleh dalam waktu sebentar dengan harga 1.170 rupee.. Kereta akan tiba di NewDelhi pukul 15.00 petang dan berangkat menuju Bombay satu jam kemudian. Dari pada terlalu merepotkan sendiri, sejak pagi saya sudah ke Stasiun. Menikmati hiruk pikuk begini, sambil melihat ulah para calon penumpang India, saya sudah nongkrong menunggu kereta.

Kalau waktu kecil saya hanya melihat dalam film, sekarang melihat sebenarnya. Kereta penuh sesak. Namanya Rajdhai Express, alias Sleeper AC. Ada yang menarik. Petugas perjalanan dengan sigap menempelkan daftar nama di semua gerbong. Para calon penumpang melihat sendiri nama-nama mereka. Termasuk saya. Diantara nama-nama Singh dan Kumar itu, terselip sebuah nama Luqman Hakim Gayo di Gerbong 2 nomor 13. Saya melangkah ke dalam gerbong dan menemukan tempat tidur sesuai nomor yang tertera.

Ketika kereta mulai berangkat, diselingi lagu India, pelayan membagi termos yang berisi satu setengah gelas. Tinggal pilih, teh, kopi atau susu.  Kemudian disusul oleh pelayan yang membagi-bagikan makanan kecil dalam piring. Akhirnya, petugas lain datang membawa dua bantal dan satu selimut untuk masing-masing penumpang. Ditambah satu sprei dan satu handuk, persis seperti di hotel. Lalu, orang-orang cuci muka sebelum tidur. Tetapi, makan malam dinikmati dulu, sup, ayam dan nasi. Ah, tidak rugi naik kereta ini. Lagu India terus mengalun semalam suntuk.

Di setiap gerbong ada dua kamar mandi. Jadi tidak lama ngantrinya. Apalagi mereka-mereka bangunnya siang. Dapat lagi teh manis, roti, telor dan susu yang datang bergiliran. Tidak ada pelayan wanita. Sekitar pukul 08.00 pagi, akhirnya tiba di kota Bombay.   Tidak lama menjinjing kopor, dua orang pegawai Konsulat Jenderal RI sudah menunggu. Mereka berpakaian olah raga, karena hari Minggu. Berolah raga sambil menjemput saya. Saya dibawa ke Konjen, berkenalan dengan Kepala Konjen dan kemudian disinilah saya bermalam untuk beberapa hari.

Setiap hari saya pergunakan untuk berwawancara dengan pejabat-pejabat di Konjen. Kadang-kadang saya keluar, sambil mencari orang-orang Indonesia. Kami berkesempatan nonton bioskop bersama. Umumnya, mereka senang dengan kedatangan orang baru dari Indonesia. Sebab, kehausan akan berita terbaru bisa langsung diperoleh dari sumber yang lebih pasti.

Iqbal, pemuda muslim India menjadi pengemudi tetap di Konjen. Dengan dialah saya sering berkeluyuran ke kampung-kampung Islam di tengah-tengah Bombay. Umat Islam hanya 12 persen dari 12 juta penduduk, katanya suatu saat. Tidak mampu berbuat apa-apa, apalagi tidak ada perhatian pemerintah. “Kami tak mendapat kesempatan menjadi PNS, termasuk polisi dan angkatan bersenjata. Kami tenggelam dalam kemiskinan”, kata Iqbal.

Ketika itu bulan puasa. Hampir semua madrasah membuka diri untuk menerima zakat, infaq dan sadaqah. Sekolah-sekolah Islam itu terjepit diantara pemukiman kumuh, yang sering terbakar. ”Kalau perkampungan lain terbakar, dinas pemadam langsung turun tangan. Tapi kalau perkampungan Islam, dibiarkan saja sampai habis”, kata Iqbal.

Tetapi diantara kepadatan rumah-rumah itu, ada pasar pakaian dan tekstil. Berjajar hampir sepanjang dua kilometer, seperti di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Ketika azan bergema, semua kios-kios kecil itu mengeluarkan makanan mereka ke tengah jalan, memanggil calon pembeli untuk berbuka puasa bersama. Siapapun yang lewat, bisa berbuka secara gratis.

*Wartawan asal Gayo, tinggal di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.