Sabela Gayo*
PERCEPATAN pembangunan Kawasan Industri Pariwisata dan Industri Agribisnis yang berbasis pada konsep pembangunan hijau dan berkelanjutan (green and sustainable development) dirasa sangat mendesak untuk segera direalisasikan menjadi kenyataan di Tanoh Gayo. Masyarakat Gayo sudah menunggu selama puluhan tahun untuk bangkit dari keterpurukan sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Transformasi masyarakat petani Gayo dari masyarakat petani yang menggunakan peralatan pertanian tradisional ke arah masyarakat petani yang menggunakan peralatan pertanian modern dengan tetap mempertahankan identitas lokal sangat mendesak untuk direalisasikan demi tercapainya peningkatan kapasitas produksi, efisiensi waktu dan meningkatnya pendapatan masyarakat.
Konsep Industrialisasi Ekonomi Hijau (Green Economy Industrialization) merupakan konsep yang cocok untuk diterapkan di Tanoh Gayo dimana disatu sisi pembangunan kawasan industri mutlak diperlukan tapi disisi lain keberlanjutan pelestarian ekosistem, kawasan resapan air, dan konservasi kawasan hutan merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. Konsep Industrialisasi Ekonomi Hijau akan berusaha mengintegrasikan konsep pembangunan kawasan industri terpadu dengan program-program pelestarian lingkungan hidup.
Jika Gayo mau belajar tentang pembentukan Badan Otorita maka salah satu acuan utama adalah Badan Otorita Batam atau Batam Industrial Development Agency (BIDA). Badan Otorita Batam dibentuk berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan antara lain yaitu: Keppres No 74/1971 tentang Pengembangan Pembangunan Pulau Batam, Keppres No 41/1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, Keppres No 33/1974 tentang Penunjukan dan Penetapan Beberapa Wilayah Usaha Bonded Warehouse di Daerah Pulau Batam, SK Mendagri No 43, 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam, Keppres No 41/1978 tentang Penetapan Seluruh Daerah Industri Pulau Batam Sebagai Wilayah Usaha Bonded Warehouse, Peraturan Pemerintah No 34/1983 tentang Pembentukan Kotamadya Batam di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Riau, Keppres No 7/1984 tentang Hubungan Kerja Antara Kotamadya Batam dengan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Keppres No 56/1984 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Bonded Warehouse, Keppres No 28/1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat, SK Ketua BPN No 9-VIII-1993 tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di Daerah Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau-Pulau disekitarnya, Keppres No 94/1998 tentang Penyempurnaan atas Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, UU No 53/1999 tentang Pembentukan Kota Batam dan Kedudukan Badan Otorita Batam dalam Pembangunan Batam.
Kehadiran Badan Otorita Gayo bukan merupakan sebuah keniscayaan jika mau secara sungguh-sungguh diperjuangkan oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) di Tanoh Gayo. Tugas-tugas percepatan pembangunan industri dan pariwisata merupakan tugas-tugas khusus yang harus dilakukan oleh orang-orang yang berkeahlian khusus dalam suatu badan yang khusus pula.
Dengan adanya kehadiran Badan Otorita Gayo tersebut diharapkan mampu mengundang arus investasi ke Tanoh Gayo baik dalam bidang pendidikan, makanan, minuman, manufaktur, perbankan islam dan pariwisata. Tanoh Gayo punya potensi besar untuk bangkit menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang disegani di kawasan Indonesia bahkan regional Asean karena Gayo sudah punya modal untuk menjadi kekuatan ekonomi berpengaruh tersebut yaitu Kopi Gayo yang sudah sangat dikenal sebagai kopi dengan cita rasa kelas dunia.
Selama ini Tanoh Gayo terkungkung dan terpenjara oleh sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik yang dibangun oleh masyarakat Aceh pesisir yang notabene menguasai Pemerintahan Provinsi Aceh. Hal itu pun sebenarnya merupakan “kecelakaan sejarah” dimana pada awal-awal pembentukan provinsi Aceh pascakemerdekaan Republik Indonesia rakyat Gayo tidak menunjukkan posisi tawar yang signifikan terkait dengan proses pembentukan provinsi tersebut.
Hal itu kemudian menjadi bumerang bagi rakyat Gayo yang hidup hari ini karena kemudian timbul citra negatif di kalangan masyarakat bahwa seolah-olah Gayo merupakan komunitas yang tidak pernah berjuang dan Gayo merupakan komunitas “kelas dua” di Aceh. Sejarah itu merupakan pelajaran berharga bagi generasi muda Gayo yang hidup pada masa sekarang ini dan dijadikan sebagai pelajaran berharga untuk menentukan langkah dan tindakan selanjutnya.
Harus diakui secara jujur bahwa rakyat Gayo hari ini hidup terpisah-pisah secara administratif di dalam beberapa kabupaten/kota di Aceh. Jadi sangat sulit bagi Gayo untuk memperbaiki taraf hidup masyarakatnya secara keseluruhan tanpa adanya suatu organisasi yang lebih khusus untuk mewujudkan impian tersebut. Sebagai contoh; Jika kabupaten Aceh Tengah/Bener Meriah/Gayo Lues memiliki pemimpin yang adil, amanah dan jujur kemudian melaksanakan konsep pembangunan yang benar-benar pro-rakyat maka hasil pembangunannya hanya dapat dirasakan oleh rakyat Gayo yang ada di masing-masing kabupaten tersebut.
Sedangkan nasib orang Gayo lainnya yang tinggal di kabupaten lain seperti Gayo Lokop yang berada di kabupaten Aceh Timur, Gayo Kalul yang berada di kabupaten Aceh Tamiang dan Gayo Alas yang berada di kabupaten Aceh Temggara apakah dapat merasakan hasil pembangunan di Bener Meriah, Aceh Tengah atau Gayo Lues?, Jawabannya sudah pasti tidak. Oleh karena itu Gayo memerlukan sebuah strategi pembangunan lain yang hasilnya dapat dirasakan oleh semua orang Gayo tanpa terhalang oleh sekat-sekat administratif dan disisi lain dapat meningkatkan rasa solidaritas, persaudaraan dan persatuan diantara semua rakyat Gayo. Dan jawabannya untuk sementara ini adalah dengan menghadirkan Badan Otorita Gayo.
*Mahasiswa Program Ph.D in Law, College of Law, Government and International Studies of University Northern Malaysia (Universiti Utara Malaysia)