PADA prinsipnya, manusia tidak mau dipersalahkan, apalagi dikalahkan. Begitu juga dalam mendiskusikan sesuatu, manusia punya keinginan untuk menunjukkan bahwa ia mampu dan memiliki pemikiran yang brilian. Namun terkadang ketika dua manusia berdiskusi, pandangan mereka jarang mencapai titik temu. Cerita seperti ini sering dialami oleh kita semua, baik manusia intelek maupun para ulama, bahkan juga pada rakyat biasa. Kita sering terjebak dalam perdebatan panjang yang tidak jelas pangkal ujungnya.
Jika situasi demikian yang terjadi, pemikiran yang tidak masuk akal pun dipertahankan habis-habisan. Sesungguhnya Nabi Muhammad sangat membenci perdebatan. Perdebatan sering berakhir pada suatu akhir yang sia-sia. Perdebatan sering menonjolkan sisi keakuan dan kepongahan. Sedangkan kepongahan hanya akan menjerumuskan kita menjadi manusia yang merasa serba sempurna, sehingga hati kita tidak akan pernah terbuka pada perubahan.
Dialog adalah upaya mencari titik temu. Berbeda dengan debat, dialog bukanlah upaya untuk saling menjatuhkan. Esensi dialog yang baik ialah meninggalkan semangat menang-menang (win-win solution). Dengan berdialog, kedua belah pihak seharusnya mampu memperoleh pencerahan sehingga menjadi manusia yang lebih baik lagi. Itulah parameter keberhasilan dari sebuah dialog yang perlu kita garisbawahi. Kalau orang tua kita zaman bilang : “ari bulet ni pakat tirusni genap, ratib musara anguk nyawa musara peluk, ike bededele orom bererami, ike ataspe bur tuyuhni tapak, ike luespe langit lepas i tangak”.
Sesungguhnya dunia penuh dengan misteri, dan dialog dapat membantu kita mencapai hakikat. Pelajaran yang perlu dipetik dari dialog adalah bahwa tidak semua prosedur kehidupan berada di dalam kontrol atau pemahaman manusia, sehingga kita selalu membutuhkan orang lain untuk bertukar pikiran. Dalam berdialog hendaknya kita sama-sama memposisikan diri sebagai orang yang buta akan sesuatu, sehingga dibutuhkan pemikiran orang lain. Dengan demikian, kita sudah satu langkah di gerbang perubahan.
Dalam berdialog, egosentrisme adalah satu hal yang perlu dikesampingkan. Sudah seyogyanya pihak-pihak yang terlibat dalam dialog banyak melakukan refleksi diri, bukan menonjolkan gaya berpikir refleks yang ia miliki. Dialog sesungguhnya bukanlah persoalan eksistensi, melainkan proses belajar, untuk lebih memahami satu sama lain.
Dalam berdialog, stigma dan stereotif mesti dibuang jauh. Kita tidak sepantasnya menilainya siapa orang yang menyampaikan isi dialog tersebut, tetapi apa pesan yang disampaikan. Itulah yang dinilai dan dibandingkan dengan pemikiran kita. Di sisi lain, saat kita menyampaikan isi kepala kita pun, alangkah baiknya bila itu dijadikan bahan refleksi untuk diri kita sendiri, bukan untuk tujuan menceramahi orang lain. Dengan begitu kita akan memperoleh banyak manfaat. Buktikanlah sendiri.
Mengapa Tuhan menciptakan dua buah telinga dan satu buah mulut? Mungkin hikmahnya adalah Tuhan ingin kita lebih banyak mendengar ketimbang berbicara. Sebab mendengar adalah proses awal untuk berempati terhadap pandangan dan keyakinan pihak lain. Dalam berdialog pun begitu, kita perlu lebih banyak mendengar. Jangan sampai terjadi bantah-membantah yang dapat meninggalkan kesan tidak enak pada kedua belah pihak, sebab lebih banyak mudhoratnya yang akan kita rasakan di kemudian hari.
*Penulis adalah wiraswasta, berdomisili di Takengon.
wan pilkada ni ibutuhken dialog, bohmi murum2 kite tetah gayoni, enti orom porakni ulu,betul ke oya?