Tangerang | Lintas Gayo – Biografi tokoh-tokoh Gayo masih sangat kurang. Demikian keterangan Prof. M. Din Madjid di Tangerang, Senin (16/4/2012) “Sebetulnya, banyak tokoh-tokoh Gayo baik yang ada di daerah, tingkat satu (propinsi) maupun di tingkat nasional. Bahkan, ada yang sempat berkiprah di tingkat internasional,” kata M. Din Madjid.
Sejauh ini, jelas Dosen UIN Syarif Hidayatullah itu, ada beberapa tokoh Gayo yang sudah ditulis biografinya, diantaranya H. M. Ali Djadun (ulama), Prof. Baihaqi AK, dr. Syukri Karim (ahli jantung—dokter jantungnya Soeharto alm), Dra. Hj. Djeniah Alim, Muhammad Daud Gayo (aktivis mahasiswa di Eropa), dan Aman Dimot yang dutulisnya sendiri.
“Beberapa hari yang lalu, saya baca biografi A.R.Moese sudah selesai ditulis Yusradi Usman al-Gayoni. Alhamdulillah. Selain itu, saya dengar ada yang sedang menulis biografi Muhammad Hasan Gayo (H.M.Junus Luttar Aman Gele), Tengku Ilyas Leube (Salman Yoga), Prof. Muhammad Daud (Kriminolog), dan Ny As. Jafar (pakar kecantikan Indonesia),” ungkapnya.
Penulisan biografi itu cukup penting, terang laki-laki asal Kampung Lelabu, Kecamatan Bebesen, Takengon itu. Sebab, ada ketauladanan yang bisa diikuti di dalamnya. Disamping itu, ada perbandingkan sejarah (perubahan masa). Dengan demikian, bisa dibandingkan dengan kondisi sekarang. Bahkan, bisa diproyeksikan ke depannya. “Makin banyak tokoh-tokoh Gayo yang ditulis, ada garis sejarah yang bisa ditarik,” sebutnya.
Dalam otobiografi Dra. Hj. Djeniah Alim, misalnya, sebut Prof. Madjid mencontohkan, disebutkan, tahun 1940-an, bahasa Indonesia sudah mulai dipakai dalam pendidikan formal di tanoh Gayo. Khususnya, di Gayo Lues. Karena, beliau berasal dari Gayo Lues. “Kondisi itu jauh beda dengan di Takengon. Kepastian waktu ini bisa memberikan acuan bagi peneliti-peneliti Gayo lainnya. Terutama, bagi para linguis Gayo,” katanya.
Terakhir, katanya, sejarah Gayo juga tidak akan hilang. “Kalau pelakunya sudah tidak ada lagi, sejarah kita juga ikut hilang. Padahal, sedikit banyaknya, tokoh-tokoh kita turut berkontribusi terhadap kemajuan daerah dan bangsa ini. Karenanya, tokoh-tokoh Gayo mesti menuliskan biografinya “tidak menutup diri.” Ini untuk anak cucu kita,” katanya. (Sastra/red.03)