Menurut Yusradi, ide penulisan buku ini muncul saat beliau dalam perjalanan Kereta Api dari Malang menuju Jakarta, 29 Agustus 2007 silam, sesaat setelah menerima SMS dari seseorang yang mengabarkan bapak AR. Moese telah kembali pada Sang Khalik. Kepergian seniman besar itu memunculkan beragam pertanyaan dan kegalauan dalam diri penulis.
Tak ingin hanyut dalam “siksaan” pertanyaan dan kegalauannya, Yusradi bertekad mengejawantahkan idenya. Setelah mendapat izin dari keluarga AR. Moese, kerja keraspun dimulai.
Karena didasari rasa cinta, bangga dan apresiasi pada Almarhum AR. Moese, hambatan dan rintangan yang ditemui dalam proses penulisan buku ini tak pernah mampu menyurutkan semangat penulis.
“Sebelum memberikan tanggapan, ijinkan saya berterima kasih kepada Yusradi atas penulisan buku biografi ini. Sebutan Maestro memang pantas disandang bapak AR Moese. Ia memang belum dikenal secara nasional. Menurut saya itu karena beliau memilih tinggal di Gayo dan mendedikasikan dirinya untuk perkembangan seni budaya Gayo. Nilailah AR Moese dari kemampuannya, bukan keterkenalannya. Beliau bermusik untuk musik bukan untuk materi” ucapku ketika bang Gurni mempersilahkanku memberi komentar.
Kakanda Arjuliska Zuska bercerita bagaimana kenangan dengan almarhum di tahun 1977. Bersama bapak S. Kilang, bapak Ismail. M, bapak Saifoeddin Kadir, bapak AS Kobat, Ibu Wastiyah, Ika Zuleta dan lain lain mewujudkan mimpi sanggar Sengeda merekam dan memproduksi lagu-lagu Gayo dengan peralatan seadanya.
“Di Gedung DPRD waktu itu, tempat kami latihan dan rekaman album merbuk” sebut Arjuliska.
Kakanda Gurni yang memandu dialog interaktif itu dengan piawai melayani para penelepon, membacakan sms dari para pendengar serta menyelinginya dengan lagu Garipo ,Merbuk dan lagu lagu Aceh lainnya hingga pukul 22.00 wib. Dua jam tentu durasi yang pendek untuk membicarakan sosok dan kiprah almarhum AR Moese.
Perjalanan Sang Maestro telah berakhir. Tugas dan pengabdian beliau untuk perkembangan seni budaya Gayo pun usai sudah. Salah satu cara untuk mengetahui hal hebat tentang almarhum yg belum terkuak selama ini adalah dengan membaca dan memiliki buku biografinya. Insyaallah dengan inspirasi, motivasi yang didapat dari membaca buku tentangnya, kita dapat meneruskan perjalanan mengembangkan karya cipta seni budaya tanoh tembuni.
*****
Baring sekidah limus ni gading, asal turah we taring cerah pora
Baring sekidah rubu ni ceding, sekalipun we kering kurang murasa
*Pelaku dan pemerhati seni budaya Gayo, tinggal di Takengon