Oleh: Rizki Wan Okta Bina*
EKOSENTRISME merupkan kelanjutan dari teori etika lingkungan Biosentrisme. Sebagai kelanjutan dari biosentrisme, ekosentrisme sering disamakan dengan biosentrusme. Ada beberapa kesamaan daru kedua teori ini. Kedua teori ini menolak cara pandang antroposentrisme (Shallow ecological movement) yang membatasi kenerlakukaan etika hanya pada komuniatas manusia saja. Kemudian, keduanya memperluas keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme etika diperluas untuk mencakup komunitas biotis. Sementara pada ekosentrisme, etika diperluas untuk mencakup komunitas ekologis seluruhnya.
Salah satu versi teori ekosentrisme adalah teori “Deep Ecology”. Sebagai sebuah istilah “Deep Ecology” pertama kali dikemukakan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia pada tahun 1973. Naess kemudian dikenal sebagai salah satu tokoh utama dari gerakan “Deep Ecology” hingga sekarang. Dalam artikelnya yang berjudul “The Shallow and the Deep, Long-range Ecological Movement: A Summary”, Naess membedakan antara Shallow ecological movement dan deep ecological movement.
“Deep Ecology” menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tapi pada makhluk hidup secara keseluruhan dalama kaitannya dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. “Deep Ecology” tidak mengubah sama sekali hubungan anaraa manusia dengan manusia. Namun, manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran dari segala sesuatu yang lain. “Deep Ecology” memusatkan perhatian kepada semua spesies. “Deep Ecology” tidak hanya memusatkan perhatian kepada kepentingan jangka pendek namun kepentingan jangka panjang. Maka, konsep moral yang dikembangkan oleh “Deep Ecology”adalah menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologis.
Filsafat pokok “Deep Ecology” disebut naess sebagai ecosopy. Ecosopy adalah kombinasi antara “eco” yang berarti rumah tangga dab “sophy” yang berarti kearifan. Jadi ecosophy adalah kearifan mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti yang luas dimana makna ecosophy meliputi suatu pergeseran tidak hanya di tataran ilmu pengetahuan namun telah menjadi sebuah kearifan (wisdom), sebuah cara hidup, sebuah pola hidup yang selaras dengan alam.
Pola hidup arif mengurus dan menjaga alam sebagai sebuah rumah tangga ini bersumber dari pemahaman dan kearifan bahwa segala sesuatu du akam semesta ini mempunyai nilai pada dirinya sendiri, dan nilai itu jauh melampaui nilai yang dimiliki oleh dan untuk manusia. Jadi tidak hanya manusia yang mempunyai nilai dan kepentingan yang harus dihargai seperti yang diklaim oleh etika antroposentrisme. Semua isi alam semesta ini memiliki nilai untuk dihargai.
Menurut Sony Keraf dalam bukunya Etika Lingkungan, “Deep Ecology” juga merupakan sebuah teori gaya hidup. Hal ini didasarkan pada cara pandang dan norma ecoshopy merasuki setiap orang, kelompok masyarakat, dan masyarakat sebagai sebuah gaya hidup baru. Suatu gaya hidup yang dalam rumusan Arne Naess “sederhana dalam sarana, tapi kaya tujuan” (simple in means but rich in ends). Dalam bahasa yang lebih sederana gaya hidup ini adalah “hidup sederhana tapi kaya makna dan bahagia”. Gaya hidup yang menekankan kualitas kehidupan, bukan standar kehidupan apalagi standar material.
Etika Lingkungan Islam
Merujuk pada ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa manusia adalah khalifah dipermukaan bumi (Q.S Al-Baqarah: 30). Secara etimologis khalifah merupakan bentuk kata dari khalifun yang berarti pihak yang tepat menggantikan posisi pihak yang memberi kepercayaan. Sedangkan secara terminologis, kata khalifah mempunyai makna fungsional yang berarti mandataris (pengemban tanggungjawab) atau pihak yang diberikan tanggung jawab oleh pemberi mandat (Allah SWT).
Pemahaman bahwa manusia hanya merupakan khalifah mengimplikasikan bahwa manusia bukanlah penguasa alam, namun hanya memiliki posisi sebagai mandataris-Nya di muka bumi. Hal ini tentunya tidak memposisikan manusia sebagai pusat orientasi sebagai pandanagan antroposentrisme, namun juga memposisikan manusia sebagai pemangku mandat Allah dalam hal pemeliharaan (Q.S. al-An’am: 102, Q.S.Az-Zumar: 133).
Dengan demikian, pada dasarnya, konsep etika Islam menolak paradigma shallow-ecology (Antroposentrisme) yang hanya menjadikan manusia sebagai pusat orientasi dan menjadikan alam sebagai ruang ekspoitatif demi kepentingan manusia. Etika Islam tidak melarang manusia untuk memanfaatkan alam, namun hal tersebut haruslah dilaksanakan secara seimbang dan tidak, namun satu landasan penting yang dicatat adalah bahwa pemanfaatannya haruslah tidak berlebih-lebihan dan tidak mengikuti hawa nafsu (langkah syetan).***
*Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah.