PEDALAMAN Mbang, di Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara memiliki potensi kepurbakalaan yang luar biasa. Kesimpulan itu buah dari hasil survei tim peneliti Central Information for Samudra Pasai Heritage atau CISAH.
Di sana, CISAH yang diketuai Taqiyuddin Muhammad, peneliti sejarah kebudayaan Islam, menemukan komplek Hunian Megalitik. Tinggalan prasejarah yang fenomenal, di kawasan itu antara lain batu peta, batu berbentuk seperti kobaran api, dan punden berundak.
Temuan itu berawal dari penelusuran yang diberi nama Ekspedisi Meugat Seukandar. Di mana, sejak tahun 2010, Taqiyuddin dan kawan-kawan berusaha menemukan pusat pemukiman Islam di pendalaman Aceh Utara, yaitu pemukiman sebelum berdirinya kota Samudra Pasai di pesisir, yang sejauh ini belum berhasil dideteksi.
Sebagaimana disebutkan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai atau Kronik Pasai, salah satu bekas pemukiman kuno di pedalaman bekas kerajaan Samudra Pasai ialah kota kerajaan Buluh Telang yang penguasanya adalah Meugat Seukandar. Itu sebabnya, kegiatan penelitian tim CISAH mengambil nama Ekspedisi Meugat Seukandar.
***
Hasil survei dan observasi di kawasan Mbang, tim peneliti CISAH memastikan adanya sebuah situs peninggalan prasejarah, di pedalaman Aceh Utara yang berjarak lebih kurang 30 km dari Kota Lhokseumawe. Survei dilakukan setelah tim memperoleh informasi dari dua informen sekaligus anggota CISAH di Mbang, Muhammad Rizal (23) dan Nasruddin (23), tentang adanya komplek pemakaman kuno, di areal perkebunan PT Satya Agung bersebelahan dengan Desa Uram Jalan, Mbang.
Dari observasi itu, kata Taqiyuddin Muhammad, ditemukan benda-benda tinggalan sejarah yang tak lazim dijumpai pada komplek makam kuno Samudra Pasai. Tinggalan sejarah tersebut berupa sebuah bangunan yang lazim disebut dengan “punden berundak”. Yaitu, bangunan terbuat dari susunan batu di sebuah bukit atau gunung yang memiliki tingkat-tingkat atau teras-teras (berundak).
Punden berundak merupakan tempat pemujaan tradisi megalitikum yang berada di tempat-tempat tinggi sesuai kepercayaan masyarakat pendukung kebudayaannya, di mana roh-roh suci berada di tempat-tempat yang tinggi. “Dari hasil pemantauan sementara, bebatuan susunan punden berundak Uram Jalan ini, rata-rata, dari jenis batu lempung yang memang lumrah digunakan untuk bangunan semisalnya di Nusantara,” kata Taqiyuddin, beberapa waktu lalu.
Bangunan prasejarah ini beorientasi dari utara ke selatan menghadap ke arah pegunungan. Sebelah selatannya berbatasan dengan aliran sungai Krueng Jawa dan timur-baratnya dengan bukit lain. Sementara di arah utara, kata Taqiyuddin, yang diperkirakan terdapat bagian masuk bangunan tersebut belum diketahui secara pasti. Dugaan sementara di sebelah utara punden terdapat sebuah alur air yang melintang dari daerah perbukitan di barat dan gampong Uram Jalan di timur.
“Sejauh pengetahuan kami bangunan punden berundak ini merupakan tinggalan prasejarah yang pertama ditemukan dalam jenisnya di Provinsi Aceh. Namun demikian, tim juga telah melakukan survei ke beberapa tempat di pesisir utara Aceh yang memiliki potensi tinggalan prasejarah serupa,” katanya.
Di situs prasejarah yang berada pada koordinat 05°00 LU dan 97°05 BT serta berketinggian sekitar 122 meter di atas permukaan laut ini juga terdapat banyak menhir, terutama di bagian puncak bukit. Menhir yang sempat ditemukan rata-rata berukuran panjang sekitar 80 cm dan diameter lebih kurang 30-40 cm. Diperkirakan, di lokasi tersebut akan ditemukan menhir-menhir yang berukuran lebih besar dari itu.
Selain itu, di lokasi situs, pada bagian yang hampir ke puncak punden, ditemukan pula artefak berupa beberapa peralatan megalit (kapak, penetak serta lainnya) terbuat dari batu andesit yang berserakan di permukaan tanah. Peralatan tersebut sepertinya telah digunakan untuk suatu proses ritual dalam kebudayaan megalitikum. Meski demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa punden berundak Uram Jalan ini juga telah digunakan di zaman Budha atau Hindu.
“Hal ini ditunjukkan oleh adanya beberapa nisan pahatan zaman Islam Samudra Pasai atau barangkali sebelumnya, yang gaya pemahatannya sangat dipengaruhi tradisi percandian dalam kebudayaan Hindu,” kata Taqiyuddin.
Pada bukit sebelah barat laut punden juga ditemukan pecahan-pecahan tembikar yang diduga berasal dari penghuni pemukiman zaman Islam pada abad ke-13 M. Pada bukit yang lebar dan datar ini tidak ditemukan sisa-sisa susunan bebatuan seperti terdapat pada punden berundak.
Sejauh ini, tim CISAH belum berhasil memperoleh angka yang tepat untuk luas areal situs tersebut karena masih sukar dilakukan pengukuran di lahan yang padat dengan tanaman karet dan kakao milik PT Satya Agung. Diperkirakan, luas lokasi situs itu tidak kurang dari 1 hektar. “Untuk mendapatkan informasi lebih luas dan rinci mengenai situs ini masih diperlukan penelitian arkeologis yang lebih memadai,” kata Taqiyuddin.
Itu sebabnya, Taqiyuddin berharap Balai Arkeologi, BP3 Aceh dan Dinas Kebudayaan memberikan tanggapan serius terhadap informasi penemuan tinggalan prasejarah ini. Apalagi jika diingat bahwa ancaman terhadap tinggalan sejarah lebih banyak diakibatkan oleh ketidaktahuan dan kurangya pemahaman masyarakat terhadap tinggalan sejarah yang seharusnya dilestarikan.
CISAH meyakini situs ini akan memberikan banyak informasi tentang masyarakat pendukung budaya pra-Islam di Samudra Pasai berikut proses Islamisasi yang berlangsung di kawasan tersebut.
Hal lain yang menjadi catatan tim CISAH adalah keberadaan lokasi situs itu di tenggara kota Kecamatan Simpang Kramat dengan jarak sekitar 9 km ini juga telah mengangkat kawasan kecamatan tersebut ke posisi kecamatan paling berpotensi kepurbakalaan. Kata Taqiyuddin, tim akan memberikan perhatian besar terhadap kawasan Simpang Kramat dalam kegiatan penelitiannya ke depan, karena boleh jadi bekas kerajaan Buluh Telang yang menjadi target tim justru akan dijumpai di kawasan itu.
Dugaan ini semakin kuat setelah tim menemukan lintasan kuno melewati bukit Pinto Karoe yang menghubungkan kawasan Simpang Kramat dengan bangunan punden berundak di tepi Krueng Jawa.
***
Di kawasan Desa Suka Damai, Mbang, Geureudong Pase, sekitar 40 km dari Lhokseumawe ke arah selatan, tim CISAH juga menemukan situs batu. Di situs ini terdapat batu besar berukuran sekitar 3 x 2,5 meter dengan tinggi hampir mencapai 2,5 meter. Lekukan dan alur-alur akibat erosi pada bagian puncak sampai ke tengah badan batu membuat batu tersebut tampak seperti lidah-lidah kobaran api besar, atau juga tampak seperti replika gugusan pegunungan dengan alur-alur sungainya.
Batu besar yang diperkirakan telah berumur jutaan tahun ini, kata Taqiyuddin, dikelilingi puluhan batu berukuran rata-rata sekitar 1 x 1.5 meter. Ketinggian batu-batu keliling yang secara ekstrim lebih rendah dari batu besar membentuk suatu formasi lingkaran yang berporos pada batu besar. Mayoritas batu-batu keliling itu tampak sebagai batu kursi. Hanya satu batu di antara batu-batu keliling itu yang secara fenomenal menampakkan perbedaan dengan lainnya.
Batu tersebut hampir persegi empat dan memiliki permukaan yang datar dan halus ukuran sekitar 2 x 2.3 m. Sebagian tepinya masih menyisakan tonjolan berlekuk dengan tinggi lebih kurang 7-10 cm. Batu ini terlihat seperti tempayan besar. Sebab itu, menurut Taqiyuddin, bisa disebut batu tempayan untuk membedakannya dengan batu meja (dolmen), sekalipun barangkali telah digunakan untuk fungsi yang sama. Batu ini berjarak sekitar 4 meter dari letak batu besar.
Posisi batu besar yang memanjang arah timur-barat dan letak batu tempayan di utaranya membuat lokasi yang berada di ketinggian sekitar 225 meter di atas permukaan laut ini terlihat berorientasi ke selatan, di mana terdapat deretan pegunungan.
“Diduga kuat situs ini pernah digunakan sebagai media pemujaan roh-roh leluhur oleh masyarakat pendukung kebudayaan megalitikum di zaman besi (Iron Age) dari sekitar 500 SM – 1000 M dan terus dimanfaatkan sebagai tempat suci pada zaman Hindu-Budha sebelum kedatangan Islam,” kata Taqiyuddin.
Dari banyak mitos dan cerita setempat, menurut Taqiyuddin, dapat diperkirakan tempat ini juga digunakan di zaman Islam sebagai tempat mengasingkan diri (‘uzlah) dalam tasauf Islam. Khususnya, batu tempayan, diyakini telah digunakan di zaman Islam sebagai tempat salat orang-orang yang melintas ke kawasan tersebut. Keyakinan itu, kata dia, juga didukung posisi batu tempayan yang memang cenderung membujur ke arah barat (kiblat).
Bentang lahan di sekitar lokasi situs yang berbukitan juga semakin diperindah oleh aliran sungai Krueng Pase yang mengalir deras di kaki bukit lokasi situs sebelah selatan. Menurut Muhammad Rizal, anggota tim CISAH di Geureudong Pase, situs ini telah lama dikenali oleh warga setempat yang menyebutnya dengan Batu Antik.
Jumari (55), asal Semarang, yang telah bermukim di Desa Suka Damai sejak 1986 kepada tim CISAH mengaku bahwa ketika pertama kali membuka lahan lokasi situs yang sekarang dimiliki PT Satya Agung itu, ia sudah menemukan batu tersebut. Susunan batu di sekelilingnya sebagaimana terlihat sekarang, tidak ada yang berubah. “Saya merasa betah berada lama-lama di lokasi itu,” kata Jumari mengagumi tinggalan budaya megalitikum yang terawat secara alami itu.
***
Temuan lain, di Desa Suka Damai, Mbang, berupa Batu Peta. Dari serangkaian temuan sebelumnya, tim CISAH akhirnya menyimpulkan lokasi ini sebagai situs Hunian Megalitik, yang terdapat di areal puncak bukit dan cenderung datar pada ketinggian sekitar 270 meter, di atas permukaan laut. Letaknya secara astronomis pada koordinat 4°59 LU dan 92°02 BT.
Bekas-bekas kepurbakalaan yang terdapat di Hunian Megalitik tersebut sangat beragam. Di antaranya, menhir baik dalam posisi roboh maupun masih tegak, batu datar, batu gores, batu berurut, alat-alat megalit bahkan sampai benda-benda yang diperkirakan pernah digunakan untuk produksi emas. “Salah satu tinggalan prasejarah yang fenomenal di lokasi Hunian Megalitik itu adalah Batu Peta (Map Stone),” kata Taqiyuddin.
Tinggalan tradisi megalitik yang berupa garis-garis (alur) dan titik-titik (lubang-lubang serupa cawan) pada bidang datar batu itu tampak menunjuk ke lokasi-lokasi tertentu dengan jalur tempuhnya masing-masing. Batu Peta seperti ini, kata Taqiyuddin, juga pernah ditemukan di tempat lain di dunia, salah satu yang terkenal adalah di barat Yorkshare, Inggris.
Bangunan Batu Peta yang ditemukan di situs Hunian Megalitik Mbang ini berbentuk Batu Kursi sekitar 2 x 1,5 meter, yang di bagian belakang sandarannya terdapat peta atau garis-garis dan titik-titik penunjuk untuk kawasan yang diduga kuat adalah kawasan Aceh Utara, terutama kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Pase dan Krueng Jawa. “Batu Peta ini telah digunakan tim peneliti untuk menemukan beberapa lokasi punden berundak yang menjadi ciri kebudayaan megalitik,” kata Taqiyuddin.
Letak lokasi-lokasi punden berundak yang diketemukan lewat penunjuk-penunjuk pada batu peta yang diperkirakan telah berusia seribu tahun lebih ini, secara jelas menunjukkan adanya intensitas kegiatan manusia prasejarah yang padat di kawasan lembah dan kedua barisan perbukitan yang mengapit Krueng Jawa dari sebelah utara dan selatannya, dan membujur dari timur-barat membentuk formasi angka 11. Sementara bukit sebelah selatan Krueng Jawa kembali dirintangi Krueng Pase di sebelah selatannya sehingga letak geografis yang demikian amat strategis bagi lintasan transportasi waktu itu.
Di lokasi-lokasi punden berundak itu ditemukan pula menhir, lumpang dan alat-alat megalit. Pola arsitektural punden berundak di kawasan Mbang ini, kata Taqiyuddin, juga memiliki keunikan tersendiri dari beberapa bangunan punden berundak di Sumatera yang saya ketahui. Keunikannya ialah pada telaga (kolam penampung air hujan) yang terdapat di bagian mendekati puncak punden.
Dari telaga itu dibuat alur-alur di lantai bukit yang tersusun batu untuk mengalirkan air ke bagian-bagaian bawah punden. Alur-alur itu sebenarnya tidak persis sekali alur yang lazim, sebab bukan lubang galian dengan kedalaman tertentu, tapi hanya berupa kemiringan-kemiringan tertentu dari lantai punden yang dengan sendirinya menjadi bagian rendah untuk dialiri air dari telaga.
“Jadi tampaknya seperti air sungai yang turun dan mengalir tenang lewat sebuah tebing bukit yang landai. Mungkin saja, punden berundak di kawasan ini adalah replika dari tempat semisal itu,” kata Taqiyuddin, belum lama ini.
“Satu hal lain yang juga menarik, di bagian bawah punden berundak juga ternyata terdapat alur air bawah tanah semacam terowongan kecil. Maksud dan fungsinya masih belum diketahui secara pasti,” katanya.
Meski lokasi-lokasi situs prasejarah itu tampak telah pernah dihancurkan oleh masyarakat pendukungnya setelah mereka beralih keyakinan kepada Islam, kata Taqiyuddin, namun sisa-sisa kegiatan manusia prasejarah masih banyak terlihat. Situs-situs di kawasan Mbang ini akan menjelaskan banyak hal tentang masyarakat penghuni Aceh Utara masa pra-Islam berikut kebudayaannya serta proses Islamisasi kawasan tersebut.
“Dan yang tak kalah pentingnya juga, situs-situs megalitik ini akan membantu kita memahami pengaruh peradaban megalitik dalam kehidupan masyarakat setelahnya sampai dengan sekarang,” demikian Taqiyuddin.
Penasaran dengan situs Hunian Megalitik? Silahkan datang ke kawasan Mbang. (Irman I.P | Atjeh Post)