Selamatkan Generasi Muda dari Arus Pornografi

Oleh: Mahdi*

ERA globalisasi saat ini, informasi dapat diakses dengan cepat dari manapun dan kapan pun, baik melalui media cetak maupun elektronik, langsung ataupun tidak langsung akan membawa akses positif maupun negatif.

Salah satu akses negatif yang semakin mewabah adalah prilaku porno baik berupa pornografi, pornoteks dan pornoaksi serta pornosuara, prilaku tersebut tentunya sangat berpotensi terhadap timbulnya dekadensi moral terutama generasi muda. Pornografi adalah representasi dari perilaku erotis, seperti dalam buku-buku, gambar, atau film, yang dimaksudkan untuk menimbulkan rangsangan seks.

Pornografi  telah dilarang dalam undang-undang di sebagian besar negara paling tidak disebabkan oleh, pornografi cenderung merusak moral kaum muda, dewasa dan konsumsi meteri-materi pornografi menyebabkan tumbuhnya kejahatan seksual.

Salah satu asumsi umum, terdapat hubungan antara pornografi dan perilaku seksual, penyebab seks bebas salah satunya adalah pornografi, disamping narkoba dan kualitas harmonisasi keluarga. Untuk mengantispasi merebaknya produk-produk porno, bermacam regulasi (peraturan) dibuat, sebut saja, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa haram terhadap yang semua hal berbau pornografi.

Disamping terbitnya UU anti Pornografi, bahkan di provinsi Aceh sejak diberlakukannya syari’at Islam pada tahun 2001, beberapa Peraturan daerah (perda) atau qanun pendukung telah dikeluarkan seperti peraturan daerah nomor 5 tahun 2002 tentang pelaksanaan syari’at Islam, qanun nomor 10 tahun 2002 tentang peradilan syariat Islam, qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syari’at Islam bidang aqidah, ibadah, syi’ar Islam, qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya, qanun nomor 13 tahun 2003 tentang maisir (perjudian), qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum) dan beberapa perangkat peraturan lainnya.

Namun terbentuknya undang-undang dan qanun-qanun pendukung syariat Islam belum sepenuhnya bisa menghentikan pelanggaran syariat Islam terutama prilaku pornografi, Persoalan pornografi ternyata tidak cukup efektif hanya dengan fatwa dan undang-undang serta qanun-qanun. Kenyataannya persoalan media dan pornografi adalah persoalan yang sangat dilematis, terutama dilema antara kebebasan dan moralitas, pertumbuhan dan tradisi, kreatifitas dan norma.

Kecenderungan media–media elektronik mengeksploitasi tubuh (body) secara fisik dalam berbagai relasi sosial, ekonomi, komunikasi, dan kebudayaan merupakan persoalan yang pelik dalam menyuburkan praktek-praktek pornografi. Menurut Sulaiman Tripa, harus ada paradigma berpikir yang melihat persoalan syariat Islam di Aceh adalah dengan memadukan antara konteks hukum dengan konteks masyarakatnya.

Kecenderungan masyarakat terutama generasi muda untuk membeo (meniru) perilaku masyarakat Barat, padahal Barat pada prinsipnya tidak peduli dengan kehidupan etika dan moral terlebih pornografi, bagi mereka prilaku pornografi adalah ekspresi seni, demokrasi. Barat memberikan kebebasan dan keleluasaan bagi warganya untuk berekspresi diri meskipun wujudnya porno. Dan jika dibandingkan dengan masyarakat muslim apalagi di bumi syari’at Islam ini, pornografi adalah sesuatu yang sangat tabu dan termasuk dalam amoral.

Dalam konsep Islam, pintu utama prnografi adalah menampakkan aurat atau ekspresi-ucapan atau- gerakan erotis-yang membangkitkan birahi. Islam hanya membolehkan wanita menampakkan anggota bagian tubuhnya dihadapan anggota keluarga (muhrim). (QS. An-Nur ayat 31). Dalam ketentuannya hanya dalam konteks darurat seperti kepentingan medis seorang wanita boleh memperlihatkan sebahagian auratnya kepada para medis dalam hal ini dokter, perawat dan penyelidik. Sedangkan berkaitan dengan seksualitas, Islam hanya membolehkannya melalui pernikahan. Artinya hanya kepada orang yang terikat dengan ikatan pernikahan yang sah saja diperkenankan melakukan aktivitas pornografi. Seorang tidak dibenarkan menampakkan auratnya kepada orang yang bukan mahramnya.

Ada ketentuan yang jelas dalam Islam bahwa, seorang wanita yang sudah baligh manakala keluar (masuk dalam kehidupan umum) harus mengenakan jilbab yakni pakaian luar yang menutup tubuhnya (QS: Al-Ahzab ayat 59), dan mengenakan kerudung yang menutupi kepala, leher dan dadanya (QS: An-Nur ayat 31), seorang wanita muslimah yang keluar tanpa memakai jilbab dan kerudung dianggap melanggar hukum dan layak mendapat hukum ta’zir, sebagaimana tersurat dalam qanun-qanun syari’at Islam.

Acuan islam dalam menata pakaian untuk menghindari perilaku pornografi dapat kita pahami dari beberapa ketentuan berikut; Pertama, Syari’at Islam menyuruh perempuan untuk menutupi perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak seperti wajah dan tangan. Kedua adalah hijab tidak boleh menjadi pamer kemewahan apalagi jika sampai menimbulkan syahwat laki-laki yang dalam al-Qur’an disebut tabarruj, hal ini didasarkan pada surat al-Ahzab (33) ayat 33. Ketiga, pakaian tidak boleh tipis sebab pakaian tembus pandang hanya akan memperkuat daya tarik perempuan dan menjadi sumber kejahatan. Keempat, pakaian harus longgar. Kelima, tidak boleh diberi parfum (ketika pergi keluar). Pelarangan itu untuk tujuan preventif karena bisa mengundang syahwat. Keenam, pakaian wanita tidak boleh menyerupai pakaian laki-laki.

Walau begitu, tidak berarti Islam mengekang kebebasan seseorang untuk berekspresi. Bahkan dalam koridor syariat, Islam mengakui bahwa setiap manusia, apakah ia seorang kiai, artis, maupun seniman memiliki naluri seksual, akan tetapi Islam mengarahkan supaya disalurkan pada tempat yang dihalalkan. Islam tidak sekadar menetapkan agar tidak ada seorangpun dalam wilayah Islam yang mengumbar aurat, tetapi Islam juga menciptakan suasana lingkungan yang kondusif. Pornografi yang terkait erat dengan promosi perzinahan yang secara keras dilarang oleh Al-Quran.

Problema pornografi dikalangan generasi muda menjadi persoalan yang krusial yang mesti mendapat perhatian baik dari orang tua maupun pemerintah, karena pornografi ini ibarat bibit kangker yang sedikit demi sedikit menggerogoti kekebalan tubah manusia, menurut hemat penulis ada hal yang perlu dilakukan dalam menekat merambahnya perilaku pornografi ini, Pertama, Membentuk opini publik  yang baik. Para opinion leader (pengendali opini) atau para pembuat pendapat, sering membuat pandangan yang merugikan masyarakat, media-media sering menayangkan program dan membuat imej bahwa produk porno itu merupakan kebutuhan dan keperluan manusia dan merupakan hak asasi manusia untuk mengekspos dan menikmati dan melakukannya. Pornografi itu merupakan ekspresi seni dan suatu bentuk kebebasan yang merupakan hak asasi manusia, malah ada yang berpendapat bahwa kebutuhan akan pornografi itu sesuai dengan naluri seks manusia. Disini perlu diketahui bahwa tidak ada media massa yang netral, mereka pasti bagian dari satu media misi kekuatan social tertentu, yang harus diwaspadai.

Disini perlunya media massa, baik cetak maupun elektronik agar tidak lagi memprovokasi umat dengan stimulasi-stimulasi yang merangsang kebutuhan pornografi/pornoaksi. Opini yang mendengung-dengungkan bahwa pornografi dan pornoaksi dan bentuk porno-porno lain harus diubah dan  ditangkal dengan opini bahwa semua bentuk pornografi itu adalah bahaya dan kemungkaran. Opini no pornografi, atau pornografi itu kemungkaran perlu disebarkan, bahwa pornografi itu adalah kemasiatan yang bahayanya cukup besar bagi moral bangsa, bahwa pornografi itu adalah muara bagi lahirnya kejahatan seksual dan kekerasan bahkan kejahatan lain.

Kedua, Efketifitas regulasi (Peraturan), Masyarakat Indonesia hidup dengan keragaman patokan dan parameter. Keanekaragaman agama, budaya, dan etnis, kiranya akan membentuk penilaian yang berbeda menyangkut satu pokok soal seperti pornografi. Untuk itulah keberadaan Undang-Undang anti Pornografi (UU APP) dan peraturan-peraturan yang lain diharapkan bissa efektif bukan hanya menyatukan opini namun juga bisa mencegah dan sekaligus memberantas derasnya arus pornografi, meskipun harus didukung dengan kerjesama yang sinerjik antara pemerintah, dai, lemabaga social masyarakat, orang tua, dan masyarakat. Jangan ada kesan peraturan dan qanun yang ada tumpul dan impoten dalam prakteknya.

Ketiga, Membangkitkan kontrol masyarakat. Fenomena yang terjadi ditengah masyarakat adalah fenomena sosial, apa yang dipertontonkan televisi baik pertunjukan hiburan yang bersifat erotis adalah juga merupakan fenomena social, ukuran keberhasilan sebuah tontonan adalah hysteria penonton. Fenomena seperti ini terkadang sudah menjadi suatu kebiasaan yang dianggap baik menurut masyarakat, sehingga tuntutan akan hal seperti dangdut dengan goyang ngebor, film dengan aroma seks menjadi kebutuhan masyarakat, terkadang kebutuhan itu menjelma menjadi permintaan yang direspon oleh para produser dan pengusaha jasa media porno. Sebut saja misalnya kontroversi konser Lady Gaga.

Hal ini yang menjadikan arus pornografi itu sulit diberantas disebabkan ada permintaan. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa semua unsur punya peran penting dalam mengatasi pornografi dan sejenisnya ini, salah satunya adalah melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat, Publik kontrol ini akan sangat penting, mengingat pornografi iitu terkadang merupakan persoalan kebiasaan, sehingga penanganannya juga harus melalui pendekatan budaya yang terdapat dalam masyarakat itu, peran aktif lembaga adat, dan tokoh masyarakat serta komponen masyarakat lain menjadi hal yang urgen.

Apalagi disuatu masyarakat yang masih memegang utuh nilai-nilai adat ini akan sangat efektif ketika ada kesepahaman dan kesepakatan dalam mengatasi semua jenis pornografi. Seperti halnya hukum syar’i, hukum adat juga ada sangsi, ketika melanggar aturan dan norma-norma adat yang telah mengakar dari nenek moyang, karena suatu fenomena budaya sering lebih mudah didekati dengan pendekatan budaya seperti adat istiadat yang berlaku ditengah masyarakat, apalagi ketika adat itu justru lahir untuk membentengi keberadaan agama, seperti adat di daerah Gayo  ada istilah sumang siopat (empat hal yang tabu) yaitu sumang penengonen (tabu dalam penglihatan) sumang pengunulen (tabu dalam duduk) sumang peceraken (tabu dalam bicara) sumang pelangkahen (tabu dalam langkah) bahkan seperti juga di daerah Minang ada nilai adat yang mengatakan, adat pagar agama, agama dengan adat bagaikan zat dengan sifat.

Dalam adat Gayo dikatakan “edet kuet muperala agama renggang edet benasa nama edet menukum bersifet ujud hokum menukum musifet kalam”  adat kuat menjaga agama, adat renggang binasa nama, adat menghukum bersifet ujud, hukum menghukum bersifat kalam pasti.

Solusi dalam menghadapi persoalan pornografi ini tidak lain adalah dengan meningkatkan peran keluarga, peran masyarakat dan peran agama, peran pemerintah, peran adat menjadi bagian yang aktif, kreatif , produktif dan bertanggungjawab terhadap pengembangan moral yang lebih beradab. Seluruh sistem (media dan sarana informasi) yang ada harus ditata menjadi sistem pendukung yang kondusif yang menularkan nilai-nilai luhur dan bukan sebaliknya menjadi kanker yang menjalarkan penyakit kepada masyarakat. Semoga###

*Penulis berdomisili di seputaran Bener Meriah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.