Sumbangan Pragmatik Untuk Keharmonisan Dan Kedamian Hidup

JONI MN, Aman Rima*

 

“Perkecil-lah Perbedaan, tonjolkanlah persamaan, hindarilah perselisihan, dekatkanlah kebersetujuan”. (Joni MN)

Akhir dari sebuah perjuangan adalah datangnya kematian. Ruang lingkup perjuangan memang luas, yaitu seluas warna-warni kehidupan, hidup di dalam kehidupan dunia adalah sebuah pengabdian, perjuangan serta pengorbanan. Dunia yang merupakan tempat kita hidup hanyalah sebuah tempat persinggahan, sepeti panggung sandiwara, Senda Gurau, Perhiasan, dan ada yang menggunakan untuk saling membanggakan serta saling memperbanyak materi (harta).

Dunia bukanlah sebuah Tujuan, tapi sebuah Sarana persinggahan yaitu untuk mengumpulkan bekal, serta untuk menentukan status dan derajat di kehidupan akhirat kelak. Hal ini sering saya sebut di dalam dunia Pragmatik dengan Filsafat Bahasa adalah “Dunia bukanlah untuk dunia, tapi dunia adalah untuk menyampaikan ke akhirat”.

Hidup diciptakan oleh Tuhan selalu berpasang-pasang. Seperti halnya siang-malam, pria-wanita, depan-belakang, kiri-kanan. Maka sama halnya dengan pergaulan yang terjadi di masyarakat, tidak selalu baik tapi pasti juga ada buruknya. Karena dalam tiap pribadi manusia terdapat sifat yang berbeda, kelakuan yang berbeda dan atau pribadi yang berbeda-beda. Tidak semua orang yang berkumpul dan bermasyarakat mempunyai sifat baik, maka tidak menutup kemungkinan akan tercipta pula lingkungan yang buruk.

Jika yang terjadi pada lingkungan seseorang bergaul adalah masyarakat yang berkelakuan buruk, maka pilihan yang paling bijak adalah orang tersebut menghindarkan diri dari lingkungan yang berkelakuan buruk tersebut demi ketenangan batin pribadinya. Untuk dapat menghindarkan diri dari komunitas berkelakuan buruk maka sifat mementingkan kebaikan pribadi  atau egois lebih harus didahulukan, disinilah peranan sifat egois untuk kebaikan.

Setelah mencermati kondisi realitas sosial tentunya tidak terlepas berbicara masalah kehidupan (problem of life). Tentunya kita tahu bahwa hidup itu sendiri  adalah masalah dan tujuan hidup adalah mempertahankan hidup untuk kehidupan selanjutnya dan jalan mempertahankan hidup hanya dengan mengatasi masalah hidup, itu pun hanya untuk kehidupan berikutnya. Kehidupan sendiri tidak pernah membatasi hak ataupun kemerdekaan seseorang untuk bebas berekspresi, berkarya dan lain sebagainya. Namun demikian sejatinya kehidupan adalah saling berketergantungan antara sesama makhluk dan dalam kehidupan itu pula kita tidak terlepas dari aturan-aturan hidup baik bersumber dari norma konvensasi bersama dari masyarakat yang masuk kedalam ranah budaya dan kebudayaan ataupun norma-norma agama yang merupakan prinsip hidup umat muslim seutuhnya, karena dengan norma  tersebut, hidup kita akan jauh lebih memahami apa itu akhlak dalam hidup dan beretika, dalam hal ini adalah akhlak antara sesama manusia dan  makhluk lainnya. Didalam dunia pragmatik norma-norma yang beretika tersebut disebut dengan Prinsip atau maksim yang harus diketahui serta diperankan didalam kehidupan sehari-hari, karena didalam prinsip tersebut terkandung kaedah-kaedah yang dapat mengarahkan kita si pelaku dan addressee menuju kearah keharmonisasian baik di dalam menjaga hubungan sosial dan etika berinteraksi secara komunikasi verbal maupun yang non-verbal.

Didalam prinsip pragmatik menganjurkan , bahwa, untuk mencapai kesuksesan di saat bertutur atau bertindak tutur serta berinteraksi guna membangun hubungan sosial dengan masyarakat tutur, diharapkan tindak-kan tersebut di ditindakkan dengan tulus (periksa, Prinsip Kesantunan [PK] Leech, 1983, dan Prinsip Kerja Sama [PK] Grice, 1975) . di dalam menjalani kehidupan kita tidak pernah lepas dari berinteraksi dengan sesama manusia dan lingkungan, interkasi yang dilakukan ini akan mengisi bekal-bekal kita nantinya, apakah itu bekal yang baik ataukah bekal yang buruk? Tentu, untuk menentukan hal tersebut adalah diri kita sendiri, berkomunikasi dan bertinda tutur (berbicara/menggunakan bahasa) ini adalah salah satu bahagian yang hasilnya akan dibawa sebagai bekal di kemudian hari. Ungkapan atau pilihan kata yang digunakan ketika berbicara baik secaral oral atau tulisan sangatlah menentukan keharmonisasian sesama insan tutur (pendengar atau pembaca), ungkapan yang diucapkan adalah merupakan suatu perbuatan juga, karena ungkapan tersebut adalah kegiatan kita bertindak sehari-hari untuk menyampaikan informasi, Ausitin (1962) menyebutnya tindak tutur di dalam bukunya yang berjudul “How to Do with Words”.  Di dalam Ilmu Pragmatik ada prinsip yang menganjurkan kita untuk saling menjaga sewaktu saat berinteraksi dan berkomunikasi, yang bertujuan agar kesuksesan dapat tercapai dan keharmonisan hubungan sosial antara peserta tutur. Leech (1983) menawarkan prinsip tindak tuturnya dengan maksim; (1) meminimalkan ungkapan perasaan yang tak santun, dan memaksimalkan perasaan yang santun, (2) memilih ujaran yang tidak merendahkan status (harga diri) seseorang, atau menhindari ujaran yang dapat membuat orang lain kehilangan muka atau harga diri. Sebagai orang Muslim ini yang disebut dengan berika dan berakhlaq mulia, yang tujuannya adalah mengurangi ketidak harmonisan di saat berinteraksi dengan sesama.

Yang dimaksud dengan akhlak yang mulia adalah akhlak terbentuk dari hati manusia yang mempunyai nilai ibadah setelah menerima rangsangan dari keadaan sosial. Karena kondisi realitas sosial yang membentuk hadirnya karakter seseorang untuk menggapai sebuah keadaan.

Salah satu contoh terapkanlah; ketika kita ingin dihargai orang lain maka kewajiban kita juga harus menghargai orang lain, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, menyantuni yang fakir, karena hal itu merupakan ciri-ciri akhlak yang baik dan terpuji. Contoh lain yang merupakan akhlaq terpuji antara sesama adalah menjaga lisan dalam perkataan agar tidak membuat orang lain yang ada di sekitar kita mudah tersinggung bahkan lebih menyakitkan lagi ketika kita berbicara hanya dengan melalui bisikan halus di  telinga teman dihadapan teman-teman yang lain, karena hal itu merupakan etika yang tidak santun bahkan diharamkan dalam Islam.

Seringkali kita berpikir dan memperbesar tentang kesalahan, keburukan dan aib orang lain. Seakan kita menjadi sengsara karena perilaku orang lain. Padahal tidak ada satupun yang menimpa kita melainkan buah dari perilaku diri kita sendiri. Tidaklah satu senyuman yang kita berikan kepada orang lain, kecuali kembali kepada kita. Tidak ada satu patah katapun yang kita ucapkan yang melukai hati orang lain, kecuali kan kembali kepada pembuatnya. Oleh karena itu jangan pernah menyalahkan siapapun jikalau hidup kita terpuruk; hidup kita seakan berat dan nestapa karena buah dari perbuatan kita sendiri. Tidak ada yang tertukar, semua perbuatan akan kembali kepada dirinya. Semakin hati penuh kesombongan (memaksimalkan keuntungan diri, meminimalkan keuntungan orang lain), seperti; suka pamer, berprasangka buruk, penuh kedengkian, kebencian, dll. Sebenarnya, hal ini hanya membuat waktu kita akan habis dipakai untuk memikirkan orang yang kita dengki, sehingga tidak lagi produktif, berbahagialah mereka yang lapang dan ikhlas ingin (memaksimalkan keuntungan bagi orang lain), yang selalu memandang setiap kejadian dengan pikiran dan sikap positip.  Aplikasinya terhadap sikap kita yang harus dilakukan ketika mengetahui orang lain berbuat salah adalah Tanya pada diri kita, apa yang paling diinginkan dari sikap orang lain pada diri kita ketika kita berbuat kesalahan yang sama? Tentu saja, kita sangat berharap agar orang lain tidak marah kepada kita. Kita pun berharap agar orang lain bisa menegur kesalahan kita dengan cara yang baik. Atau, kita berharap agar orang lain bisa bersikap santun dengan kesalahan kita dan memaafkan kita. Tentu tidak ingin orang lain marah besar atau bahkan mempermalukan kita di depan umum akibat kesalahan kita. Kalaupun hukuman dijatuhkan, kita ingin agar hukuman itu dijatuhkan dengan adil dan penuh etika. Kita ingin diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Kita juga ingin disemangati agar bisa bertanggung jawab dengan apa yang telah kita lakukan. Nah, kalau keinginan-keinginan ini ada pada diri kita, mengapa ketika orang lain berbuat salah kita malah mencacinya, menghina dan menghukumnya denga tidak adil?

Prinsip kesadaran di dalam pragmatik guna mencapai kesuksesan di dalam membangun hubungan sosial dan keharmonisan adalah adakalanya orang berbuat salah, bukan karena ingin berbuat salah, tetapi karena dirinya tidak mengerti bahwa hal yang dilakukannya itu salah. Contoh sederhana, ada sesorang yang baru saja datang dari pelosok desa yang merantau ke kota dan bekerja di sebuah restoran. Pada hari pertama bekerja ia sama sekali tidak merasa bersalah ketika selesai mencuci piring langsung dia menumpuknya disamping tempat cucian tersebut, dan membiarkan kran air itu terbuka sehingga airnya terus mengalir dan terbuang percuma, mengapa hal ini terjadi? Karena sewaktu dia di desa begitu selesai mencuci piring tanpa dikeringkan atau dilap memakai serbet dia langsung menyantolkannya atau menumpukannya dipinggir tempat cuci piring tersebut, dan dia mencucinya di air yang mengalir (sungai) atau pancoran tempat mandi di desanya tidak memakai kran sehingga tidak pernah ditutup. Di tempat tinggalnya air masih begitu melimpah. Nah disini nampaklah bahwa tata laksana di desanya dan di tempat dia bekerja Nampak perbedaannya dan membuat pandangan akan suatu masalah pun berbeda pula. Kalau demikian kejadiannya, apakah kita langsung memponis bahwa dia itu berbuat salah?. Sebaiknya adakan komunikasi terlebih dahulu, yaitu, tanyalah dahulu apakah dia tahu atau tidak bahwa yang dia lakukan adalah salah. bantu orang yang berbuat salah agar ia tetap semangat memperbaiki kesalahannya. Ini lebih mulia dan sangat baik serta dapat menyelesaikan masalah daripada mencaci, memaki, menghina dan mempermalukan bahkan memfitnah. Kita pasti sadar bahwa semua kita apalagi sesame muslim adalah bagian dari keluarga kita, saudara-saudara kita– kenapa kita harus menaruh penuh kebencian membicarakan kejelekannya? Tidak selayaknya kita berlaku tidak adil kepada diri kita.

Sebelumnya kita sudah mengetahui prinsip atau maksim bertindak tutur dari Leech, namun pada dasarnya kita juga memiliki Prinsip atau juga dapat disebut melengkapi maksimnya Leech, karena Prinsip yang ada pada kehidupan sosial yang terkonvensi melalui Agama Islam lebih komplit dari yang ada, sampai mencakup, cara berkomunikasi atau bertindak tutur, bergaul, dan berinteraksi di dalam menjalani hidup dan kehidupan kemudian menawarkan keharmonisan kepada si pelakunya bukan hanya di dunia tetapi kebahagian di alam selanjutnya, setelah kehidupan dunia berakhir, perinsip-prinsip tersebut, adalah dituangkan dalam ilustrasi sebagai berikut;.

A. Prinsip yang dilarang; Egois, Sombong Dan Bohong

Karena;

  1. Orang EGOIS selalu berpusat kepada dirinya sendiri; lebih suka memikirkan atau membicarakan topik mengenai dirinya, kegiatannya, hobinya, masalahnya, dan segala hal yang menyangkut kepribadianya. Orang seperti ini kurang tertarik untuk mendengarkan, memperhatikan atau membantu orang lain. Akibatnya, orang lain segan menjalin hubungan dengannya. Berusahalah mengalihkan perhatian tidak hanya kepada diri sendiri akan tetapi juga kepada orang lain. Bagaimanapun juga untuk menjadi seorang pribadi yang utuh kita memerlukan orang lain.
  2. Orang yang SOMBONG merasa dirinya adalah superior dalam segala hal dibandingkan orang lain. Itu semua dapat tercemin dari kecendrungannya yang mudah mengkritik, mencela dan menganggap remeh orang lain; biasanya juga orang sombong suka pamer, suka bergaya ekslusif dan suka memilah atau memilih-milih dalam bergaul. Kebanyakan orang tidak menyukai atau tidak tertarik dengan orang yang sombong. Justru kerendahan hatilah yang dianggap sebagai salah satu sifat yang mulia yang disukai kebanyakan orang.
  3. Orang yang hobi BOHONG biasanya bisa menghasilkan suatu kebohongan dengan spontan, kreatif, tampak wajar bahkan dapat meyakinkan orang lain. Kebohongan terkadang cukup efektif untuk menyembunyikan atau menutupi kekurangan, untuk mencari alasan, untuk mengecoh orang lain atau untuk menghalalkan dosa. Namun kalau sudah terbongkar, sangat sulit untuk menghapus citra pembohong pada pikiran orang lain. Berusahalah untuk menghilangkan kebiasaan berbohong sebab sekali langsung keujian seumur hidup tidak akan dipercaya.

B. Untuk lebih memahami prinsip tersebut dan hubunganya denga Ilmu Pragmatik, yang mana dalam hal ini Imam Ghazali benar-benar menjalankan prinsip menghargai, terbukti ketika dia bertanya dan muridnya menjawad, dia tidak pernah mengatakan atau tidak pernah memponis bahwa jawaban muridnya “jawaban-mu salah”  atau “darimana kamu dapat Jawab itu? Bodoh sekali” , namun seorang Imam Ghazali yang memiliki Ilmu bisa di katakana sudah Mumpuni, dia selalu meng aprisiasi jawaban muridnya dengan ungkapan “benar, jawaban itu benar, tetapi ada yang lebih benar”  inilah yang dimaksud dengan beraklag mulia dan dapat dikatakan inilah pendidik yang benar – benar ingin merobah sikap dan tingkah laku para muridnya dari tidak baik menjadi baik, serta hal tersebut bernilai motivasi yang berbentuk instrinsik, dialognya sebagai berikut;

  1. Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ?
  2. Apa yang paling jauh dari kita di dunia ?
  3. Apa yang paling besar di dunia ?
  4. Apa yang paling berat di dunia ?
  5. Apa yang paling ringan di dunia ?
  6. Apa yang paling tajam di dunia ?

Dan kemudian suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya, kemudian ia bertanya….

Pertama : “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?”.
Murid-muridnya menjawab “orang tua,guru,kawan,dan sahabatnya”. Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “MATI”. Sebab itu sememangnya janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Ali Imran 185)

Kedua : “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”.
Murid -muridnya menjawab “negara Cina, bulan, matahari dan bintang – bintang”. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawapan yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah “MASA LALU”. Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Ketiga : “Apa yang paling besar di dunia ini?”.
Murid-muridnya menjawab, “gunung, bumi dan matahari”. Semua jawapan itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “NAFSU” (Al A’Raf 179).
Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.

Keempat : “Apa yang paling berat di dunia ini?”.

Ada yang menjawab “besi dan gajah”. Semua jawapan adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “MEMEGANG AMANAH” (Al Ahzab 72).
Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan ALLAH SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.

Kelima : “Apa yang paling ringan di dunia ini?”…

Ada yang menjawab “kapas, angin, debu dan daun-daunan”. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah MENINGGALKAN SHOLAT. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara bermesyuarat kita meninggalkan sholat.

Keenam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”…

Murid-muridnya menjawab dengan serentak, “pedang”. Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “LIDAH MANUSIA” Karena melalui lidah, Manusia selalu menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

 —

Tidak ada seorang yang akan menyakiti Anda, kecuali Anda pernah menyakiti orang lain

(Elanor Roosevelt)

*Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.