Berwisata ke Aceh Tengah, Jangan Lupa Lintasi Serule-Linge

 *Catatan Darmawan Masri

DATARAN tinggi Gayo dikenal memiliki panorama alam yang begitu eksotis serta aktivitas manusianya yang berbeda dengan kawasan pesisir Aceh umumnya. Tak heran kerap terlihat para penggemar fotografi seliwuran hunting foto di Tanah Gayo baik dari luar maupun yang berdomisili di Gayo, khususnya Takengon.

Seperti yang kami lakukan, Minggu (20/05) lalu, dengan beberapa teman pehobi fotografi pagi buta setelah subuh dengan menerobos kabut dingin dataran tinggi Gayo menuju ke kawasan timur wilayah Aceh Tengah.

Diantara yang turut serta ada Khairul Iman sebagai Ketua Tim Ekspedisi yang selama ini dikenal sebagai orang paling bertanggung jawab di Bandar Udara Rembele Kabupaten Bener Meriah. Lalu ada Khalisuddin, seorang staf di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Tengah. Munawardi, seorang penyelam dan staf di Dinas Perikanan Aceh Tengah.

Selanjutnya ada Azani, pesilat yang juga sebagai PNS di Setdakab Aceh Tengah. Mude Angkasa seorang staf kantor Camat Linge yang juga dikenal sebagai pebalap sepeda kategori MTB Down Hill dan terakhir Elmahmudi yang tentu tidak asing lagi bagi pehobi forografi di Aceh Tengah. Dia pemilik Erwin Digital Studio, usaha jasa cuci cetak foto ternama di Takengon.

Kami melakukan perjalanan ke kawasan yang bisa dikatakan terpencil di Tanoh Gayo. Kegiatan ini bisa disebut sebagai sebuah ekspedisi, belum disepakakati nama dari perjalanan ini, dan akhirnya kami semua sepakat menamainya dengan ekspedisi Lut Tawar-Kala Ili Linge. Karena memang perjalanan kami mengitari Danau Lut Tawar ke bagian selatan menuju timur, Serule hingga ke Kecamatan Linge.

Mendaki gunung, lewati lembah di hamparan gunung dan jalan berbatu yang sangat menantang, ditambah dengan pemandangan alam yang begitu indah, kami semua mengabadikannya dilensa kamera masing-masing.

Sesekali terlihat jalan yang sempit, disertai badan jalan yang hampir putus terbawa air, bahkan ada ruas jalan yang putus sehingga kami harus mengambil jalan alternatif dibagian kiri jalan itu. Sayangnya kami tidak sempat berziarah ke makam Muyang Cik Serule di Buntul Kebayakan Serule, makam Muyang Kaya, dan Muyang Gerpa yang berada dibelantara pinus sekitar 5 kilometer daripemukiman penduduk. Kami juga tidak sempat mampir ke Atu Bekas di kampung Atu Payung yang di atas batu besar berukuran sekitar 5 x 10 meter persegi terdapat banyak seperti telapak hewan.

Setelah melewati persimpangan Serule dan Penarun, mobil berhenti, Mude yang membawa sepeda Down Hill nya segera beraksi dijalanan berbatuan itu, tak mau ketinggalan momen untuk memotret atlit balap sepeda Down Hill binaan Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI) Aceh Tengah itu, kami pun bergegas mengarahkan lensa kepadanya, yang tengah melaju kencang.

Menjelang siang, kami tiba kawasan Ketapang di Kecamatan Linge, disinilah tempat peternakan terpadu di Kabupaten Aceh Tengah. Disini kami disambut oleh sebuah keluarga terakhir ku tahu kepala keluarganya bernama Saf Aman Tiwi. Di pondok milik Saf Aman Tiwi lah kami beristirahat, melepaskan kelelahan sambil melihat-lihat hasil pemotretan kami dalam perjalanan.

Sempat-sempatnya seorang anggota rombongan mengupload foto, share ke teman-teman melalui jejaring sosial Facebook. Ketapang Linge ternyata sudah ada sinyal telepon seluler.

Lemeduk dan Iken Pedih Termasuk Ikan Mahal

Sesaat kami tiba di rumahnya Saf Aman Tiwi yang merupakan salah seorang peternak yang terbilang sukses mengelola ternak dan aset yang diberikan pemerintah kepadanya. Ternak sapi Bali piaraannya sudah mencapai puluhan ekor.

Oleh istri Saf Aman Tiwi, kami disungguhkan dengan sebuah hidangan yang maknyus, terlebih perut kami semua mulai lapar apalagi. Selesai makan, Saf Aman Tiwi yang baru pulang menjala ikan, menunjukkan hasil tangkapannya, ternyata ikan hasil tangkapannya lumayan banyak. Kami pun mengabadikannya dengan foto. Rupanya dia turun ke sungai Kala Ilie untuk menjala ikan setelah mendapat kabar kedatangan kami ke rumahnya.

Dalam bahasa Gayo, Lemeduk dan Iken Pedih yang berhasil dijala Saf Aman Tiwi itu menurut Munawardi salah seorang tim kami mengatakan, jenis ikan ini tergolong ikan ekonomis penting walaupun ikan ini bukan ikan langka, akan tetapi termasuk ikan mahal.

Lemuduk atau dalam beberapa daerah di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Lalawak, Tawes, Lampan  bernama latin Barbodes sp, dan Iken Pedih atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan nama Ikan Kencera (Tor Soro), bukan merupakan ikan endemik, akan tetapi juga terdapat di daerah-daerah lain dengan penamaan yang berbeda, seperti di Jawa Barat Iken Pedih dikenal dengan nama Ikan Dewa, Sumatera Utara dikenal dengan nama Ikan Batak, Sumatera Barat menamakannya dengan Ikan Larangan sedangkan dalam bahasa Aceh sendiri dikenal dengan nama Kerling atau Jurung.

“Cara berkembang biak ikan ini dengan bertelur setelah dewasa dan mengalami perkawinan pada musim tertentu”, kata Munawardi.

Ditambahkan Munawardi, meskipun ikan jenis ini bukan tergolong dalam kategori langka, akan tetapi saat ini sulit dijumpai, ikan ini hidup di sungai-sungai terpencil, seperti di daerah Linge, Samar Kilang dan tempat-tempat lain yang jarang dikunjungi oleh manusia, terang Munawardi.

Ikan yang tergolong mahal ini pun sangat nikmat, Saf Aman Tiwi pun memanggang ikan Lemuduk dan Iken Pedih yang ditangkapnya untuk kami nikmati. Sungguh sangat nikmat rasanya, bila ikan ini tidak ditangkap dengan cara yang berlebihan apalagi menangkapnya dengan menggunakan listrik alias strum, maka dipastikan di daerah ku tinggal yang juga dialiri oleh aliran sungai Pesangen, masih banyak dijumpai, akibat dari tangkapan menggunakan setrum itu, dipastikan ikan ini menjadi langka di daerah ku, sungguh sangat rugi rasanya.

Setelah tenaga kembali pulih, perut sudah terisi mata anggota rombongan mulai terlihat berat, mengantuk. Namun suhu sangat panas di kawasan yang berada sekitar 500 meter diatas permukaan laut tersebut. Tak heran, kipas angin yang berukuran besar siap sedia dirumah Saf Aman Tiwi.

Tak ingin terlena oleh buaian mata, Khalisuddin mengajak kami dan tentu ditemani Saf ke Wih (sungai-red) Kala Ili untuk berendam di sungai yang bermuara di Jambo Aye tersebut.

Diperjalanan ternyata ide baru muncul, bagamana jika sambil menjala ikan sekalian hunting foto. Saf Aman Tiwi memenuhi hasrat kami dan meminjam jala disalah satu rumah di sekitar lokasi tersebut.

Hebat, ternyata Munawardi dan Azani mahir menjala, walau tak ada ikan yang terperangkap di jala yang dilempar keduanya. “Disini memang tidak ada ikan bang, mungkin karena kerap dilintasi manusia dan ternak sehingga tidak ada ikan yang suka di bagian sungai ini,” ujar Saf Aman Tiwi.

Wow…lemparan demi lemparan jala oleh Munawardi dan Azani ternyata menjadi momen menarik untuk difoto, sayangnya saya belum mahir memainkan kamera yang dipinjamkan Mude Angkasa. Entah hasil jefretan rekan-rekan yang lain ada yang bagus atau tidak. Belum terpantau.

Weh Ni Pola Penghangat Badan dan Pengusir Masuk Angin

Kami kembali ke rumah Saf Aman Tiwi, setelah dia turun dari mobil dengan sang anak laki-lakinya yang masih balita. Kami langsung pamitan dan beranjak nyantai pulang, perjalanan masih jauh, mengitari hutan pinus sesekali terlihat kerbau dibukit-bukit hutan itu, yah memang hampir semua wilayah Linge dijadikan tempat untuk memelihara hewan ternak (Gayo : Uwer).

Di kawasan Kampung Simpang Tige Uning, tiba-tiba Khalisuddin yang menyetir menghentikan laju mobil. Dia melihat satu unit sepeda motor dengan muatan beberapa bilah bambu bulat terparkir di tepi jalan. Dia langsung turun dan bergegas turun menuju kesemak-semak. Sesaat dia kembali dengan seorang Bapak yang di kenal warga kampung tersebut dengan panggilan Pak Imem. Sejak lama dia berprofesi sebagai Penderes Air Nira (Gayo : Weh Ni Pola).

Terlihat banyak pohon aren di tempat tersebut, dan bapak paruh baya rupanya sedang mengambil Air Nira dari batang aren. Cairan itu disadap dari bunga jantan pohon aren, rasanya begitu segar dan manis karena mengandung kadar gula 10 – 15%.

Kami semua menghampiri bapak itu dan mencicipi air yang dibawanya yang sudah disimpan didalam bambu berukuran sekira 1,5 meter (dalam bahasa Gayo disebut Lenge). Kami semua segera mengambil botol aqua yang tersimpan dimobil.

Segera kami minum air yang katanya memiliki berbagai khasiat ini, mulai dari menghangatkan badan dan pengusir masuk angin, Weh Ni Pola juga berfungsi untuk obat penyakit ginjal.

Benar khasiat yang terkandung di Weh Ni Pola itu, beberapa menit kemudian badan kami semua terasa hangat, dan masuk angin yang dilanda oleh tim mulai berkurang.

Setelah berfoto bersama kami pun berpamitan kepada bapak itu, seraya berjanji akan memberikan hasil cetakan fotonya kepadanya, yang akan diberikan oleh Mude Angkasa yang bekerja di kantor kecamatan setempat. Dia menolak saat akan dibayar dengan sejumlah uang.

Mengikuti jalan yang berliku, kami pun mulai bergerak meninggalkan daerah itu, sesekali mobil kami berhenti untuk mengabadikan momen-momen tertentu. Sungguh eksotis perjalanan kali ini, banyaknya spot foto yang didapat, menyantap ikan yang sudah lama tak kurasakan, Weh Ni Pola yang mengusir masuk angin kami, ditambah dengan bertambahnya sahabat dan rasa kekeluargaan sesama pecinta fotografi.

Semoga keindahan alam lintas Lut Tawar-Serule-Linge yang konon sarat catatan sejarah awal manusia pertama di Tanoh Gayo ini tetap asri, akses jalannya dibenahi sehingga menjadi salah satu kawasan tujuan wisata di Kabupaten Aceh Tengah ini. Bagi anda kerap datang ke Tanoh Gayo, berkeliling danau Lut Tawar mungkin sudah biasa, saat mencoba melintasi Serule hingga kawasan Linge.

*Guru honorer di salah satu SMAN di Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.