Oleh Johansyah*
SALAH satu keistimewaan Aceh yang diberikan oleh pemerintah Pusat adalah menyelenggarakan kehidupan beragama dalam bentuk penerapan syari’at Islam. Hal ini ditegaskan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang (UU) nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Untuk mewujudkannya, disahkan beberapa peraturan perundang-undangan seperti UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam, dan Qanun nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam.
Terhitung sejak tahun 1999, kurang lebih UU tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh ini telah berjalan 12 tahun. Namun implementasinya dapat dikatakan belum maksimal. Dari aspek kultural, Indikator dari asumsi tersebut antara lain adalah masih banyak di antara masyarakat Aceh yang belum memahami apa itu syari’at, dan bahkan banyak yang salah memaknainya; bahwa syari’at adalah hukum cambuk, rajia jilbab, rajia minuman keras serta judi. Selanjutnya, masyarakat secara umum menilai keberhasilan syari’at di sebuah daerah adalah dari kinerja dan sepak terjang Dinas Syari’at Islam (DSI), baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, bukan dari tingkat kepatuhan mereka secara individu dalam melaksanakan perintah Tuhan dan meninggalkan larangan-Nya.
Indikator lainnya adalah dari aspek struktural, yakni kemandulan dinas-dinas syari’at Islam tingkat kabupaten/kota dalam upaya menerapkan syari’at Islam. Di tingkat provinsi sendiri, peran Dinas Syari’at Islam (DSI) masih dominan pada penggodokan dan produk qanun demi qanun, sementara pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Di sisi lain wajah syari’at Islam masih tampil dalam bentuk simbol-simbol, di ataranya penulisan Arab-Jawi pada lembaga dan instansi pemerintahan.
Dengan kata lain, penerapan syari’at di Aceh masih dalam bentuk simbolis, belum sampai pada ranah substansi. Untuk itu, penerapan syari’at Islam di Aceh sejatinya harus ditata kembali, baik dalam aspek struktural maupun kultural. Secara struktural, pemerintah Aceh melalui DSI provinsi dan kabupaten/kota harus mampu meningkatkan kinerja mereka dengan merancang program-program yang mengarah penguatan implementasi syari’at Islam. Hal ini tentunya harus didukung dengan menempatkan pimpinan yang pro syari’at serta staf professional yang memahami permasalahan syari’at Islam.
Selain itu, keberadaan wilayatal hisbah (WH) yang pada pemerintahan Irwandi-Nazar ‘dihijrahkan’ ke Satpol Pamong Praja (Satpol-PP) perlu dikaji ulang lebih serius. Hemat penulis penyatuan ini tidak memiliki landasan yuridis yang kuat karena program dan orientasi kerja keduanya berbeda. Untuk itu, WH lebih baik dikembalikan ke DSI karena lebih dibutuhkan di sana. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan keduanya dapat bekerja sama, sebagaimana kepolisian dengan TNI.
Dalam tataran sosial, langkah yang harus ditempuh adalah membangun kesadaran syari’at. Maksudnya adalah bagaimana caranya agar masyarakat memiliki wawasan yang memadai tentang syari’at Islam sehingga mampu memandang lebih luas syari’at, sekaligus menepis anggapan ‘syari’at kejam’. Caranya sederhana, yaitu dengan memberikan pemahaman bahwa setiap ibadah yang dilakukan manusia, baik mahdah (vertikal), maupun ghairu mahdah (horizontal) sebenarnya tidak lepas dari bingkai syari’at. Yang berbeda mungkin hanya penindakan terhadap pelanggar syari’at dalam konteks syari’at Islam dengan konteks keindonesiaan secara umum yang menganut hukum positif.
Sebanarnya, membangun kesadaran bersyari’at ini jauh lebih penting dari pada rancangan qanun. Sebab orientasi kita bukanlah hukuman apa yang diberikan kepada pelanggar syari’at, tetapi bagaimana caranya agar orang tidak melakukan pelanggaran syari’at. Hal ini bahkan lebih efektif dalam mengubah asumsi ‘syari’at kejam’ dalam masyarakat kita. Lebih rilnya, dapat dikatakan bahwa pendekatan edukasi melalui sosialisasi lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan hukum yang menindak orang bersalah.
Sungguh disayangkan, start awal penerapan syari’at Islam di Aceh dulu lebih cenderung ditempuh dengan pendekatan hukum, bukan pendekatan edukasi. Padahal, walaupun syari’at Islam menjadi tuntutan masyarakat Aceh, kebenyakan mereka jelas tidak memahami substansi syari’at. Justru itu, langkah yang paling efektif sebenarnya adalah pendekatan edukasi dan sosialisasi syari’at yang lebih humanis dan ramah sesuai dengan misi Islam sebagai agama damai.
Penulis yakin, penerapan syari’at Islam di Aceh akan tetap jalan di tempat dan mengalamami stagnansi bilamana pola penerapannya masih berbasis punishment (hukuman). Penerapan syari’at Islam di Aceh akan lebih baik ketika masyarakat mengalami proses penyerdasan dan penyadaran dari kalangan-kalangan terdidik, yakni dengan terus memberikan wawasan, pengalaman, dan pengamalan keagamaan kepada mereka.
Melalui Tri Pusat Pendidikan
Dalam upaya memberikan pemahaman syari’at Islam kepada masyarakat, maka langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah Aceh saat ini adalah dengan mensosialisasikannya melalui tri pusat pendidikan; yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga adalah madrasah pertama bagi pendidikan anak. Untuk itu sejatinya keluarga menjadi pilar utama dalam mentransformasikan syari’at Islam. Maka pemerintah sebenarnya harus memiliki program yang dapat meningkatkan wawasan dan pengalaman serta pengamalan keagamaan orang tua. Selama ini lembaga tersebut barangkali sudah ada, seperti kelompok pengajian, kelompok wirid dan sebagainya. Maka lembaga-lembaga inilah yang harus dimanfaatkan pemerintah untuk program dimaksud.
Adapun di sekolah, pemerintah dapat memanfaatkan kurikulum muatan lokal dalam penguatan syari’at Islam, apakah melalui bidang studi tertentu, penataan kurikulum agama kembali di sekolah, atau memperkuat nuansa keislaman sekolah. Langkah ini tentunya harus didukung dengan kebijakan serta finansial yang memadai serta komitmen dan konsistensi dari semua pimpinan lembaga pendidikan.
Sementara dalam masyarakat, pemerintah dapat memanfaatkan lembaga-lembaga keagamaan non pemerintahan seperti remaja masjid, yayasan-yayasan serta lembaga lainnya untuk mengembangkan syari’at Islam. Dan barangkali seperti banyak diwacanakan, bagaimana upaya pemerintah untuk menguatkan hukum dan peradilan adat sehingga ketertiban dan suasana syari’at di suatu wilayah dapat terwujud dan tentunya meminimalisir tindak pelanggaran syari’at.
Sekiranya syari’at Islam sudah menjadi bagian penting dalam tri pusat pendidikan, maka syari’at akhirnya tidak tampil dalam wajah simbolis, melainkan tampil menjadi kultur atau budaya yang menyatu dengan masyarakat. Inilah yang kita sebut sebagai syari’at Islam kultural dan tentunya menjadi syarat terwujudnya masyarakat madani.
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh