SUKA atau tidak, krisis multidimensi yang melanda Indonesia hingga hari ini adalah akibat dari pudarnya nilai-nilai luhur Pancasila. Dimana nilai-nilai luhur Pancasila mengalami erosi secara menyeluruh dalam sila Pancasila tersebut.
Dalam Sila Pertama, Pancasila mengalami erosi nilai yang disebabkan oleh pemaksaan otoritas keagamaan oleh sekelompok orang terhadap kelompok yang lain. Sehingga nilai-nilai ketuhanan teredusir sesuai dengan kehendak kelompok yang berkuasa dan dominan. Begitupun Sila Kedua, dimana kemanusiaan tercabik dan tergerus oleh birahi pragmatisme, hedonisme dan konsumtifisme. Sehingga kemanusiaan semakin teralienasi dari ruang publik.
Sila Ketiga pun tercerai-berai akibat arogansi sektarian dan primordial yang menggurita, mulai dari level nasional hingga daerah. Akibatnya, martabat dan integritas anak bangsa terjerembab dalam cengkeraman kuku primordialisme dan arogansi sektarianisme.
Hal yang sama terjadi pada Sila Keempat. Dimana spirit permusyawaratan dan mufakat ditelikung kekuatan modal. Sehingga kata mufakat bukan lagi sebagai hasil dari kebijaksanaan bersama, tapi tak lebih sebagai degelan uang yang serba manipulatif. Sehingga tidak heran kalau banyak kebijakan yang dilahirkan eksekutif dan produk legislasi yang ditelurkan legislatif tak menyentuh kesejahteraan dan kebutuhan dasar rakyat banyak.
Sementara Sila Kelima tersungkur dalam kuasa kaum borjuis. Dimana keadilan direduksi menjadi milik kaum pemodal dan pemilik kuasa. Perselingkuhan terbuka penguasa dan pemilik modal ini menyebabkab masifnya kemiskinan structural. Kasus demonstrasi pertamabangan yang marak dilakukan di pelbagai penjuru tanah air, adalah wujud nyata dari perlawanan rakyat akan ketidak-adilan ini.
Degradasi nilai-nilai Pancasila ini kalau tidak secepatnya dipulihkan keluhuranya oleh negara, maka bisa jadi akan mematikan karakter dan nasionalisme anak bangsa yang berujung pada hilangnya jati diri bangsa. Namun menaruh harapan kepada negara adalah sesuatu yang kelihatannya agak utopis saat ini, mengingat pemerintah selaku nahkoda negeri ini justru ikut berkontribusi dalam pengkeroposan nilai-nilai Pancasila tersebut.
Hal ini dapat kita lihat dalam Sila Pertama. Dimana banyak peraturan daerah (Perda) bahkan produk Undang-undang terkesan mencedarai kebhinekaan, sehingga nilai-nilai ketuhanan dimaknai sesuai dengan kepentingan kaum mayoritas.
Sila Kedua juga mengalami pengkeroposan. Dimana negara membuka keran kapitalisme dan neoliberalisme. Sehingga menumbuhkan persaingan yang tak sehat bagi rakyat. Sehingga berdampak pada peminggiran kaum miskin dan rakyat jelata. Kekuatan korporasi pun diberi ruang dan menjelma menjadi “serdadu” yang menggilas kemanusiaan dan menumbuh-suburkan individualisme.
Sementara dalam Sila Ketiga, negara berkontribusi mencerai-beraikan persatuan bangsa dengan sistem pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) yang memberikan ruang pemujaan berlebihan kepada putra daerah, sehingga menimbulkan pengkotak-kotakan anak bangsa dengan menerabas prinsip-prinsip demokrasi. Bahkan berkecendrungan menghamburkan uang negara secara tidak proporsional.
Begitupun dalam Sila Keempat, negara juga ikut berkontribusi. Hal mana dapat kita lihat dari menguatnya kekuatan modal dalam perumusan kebijakan pembangunan. Sehingga mufakat, bukan lagi lahir dari kebijaksanaan sebuah kebersamaan, tapi tidak lebih sebagai intervensi uang. Sehingga permusyawaratan semakin terpinggirkan dari laku dan spirit kehidupan anak bangsa.
Hal yang sama terjadi pada Sila Kelima. Dimana negara menjadi pelaku aktif dalam menumbuhkan ketimpangan keadilan. Hal ini dapat kita lihat dalam dunia hukum dan peradilan, dimana keadilan menjadi barang langka bagi rakyat kecil. Hukum hanya tajam buat rakyat kecil dan tumpul ketika berhadapan dengan pemilik kuasa dan kaum pemodal.
Begitupun pembangunan masih jauh dari frasa keadilan. Dimana sebagain besar rakyat, terkhusus di Indonesia bagian Timur masih hidup dalam dera kemiskinan dan keterbelakangan. Bahkan banyak para ahli dan intelektual yang lahir dari rahim bangsa ini di lirik oleh negeri Jiran (Malaysia) dan negara-negara lain, karena di negara sendiri karya mereka tidak diapresiasi secara layak.
Ketika nilai-nilai luhur Pancasila ini belum terhujam dan terinternalisasi dalam kesadaran kolektif seluruh anak bangsa terlebih bagi penguasa, maka jangan pernah berharap karakter dan nasionalisme anak negeri ini akan menjadi penopang bangunan kebangsaan dan kenegaraan. Malah yang terjadi adalah penggerusan karakter anak bangsa yang semakin kuat dan deras, serta nasionalisme yang teredusir oleh kepentingan sepihak para elite republik.
Hal inilah sesungguhnya yang terjadi selama ini. Sehingga berdampak pada kondisi dalam negeri yang tak sepenuhnya harmoni. Karena nilai-nilai Pancasila menjauh dari cita ideal elite bangsa, sebagaimana yang diharapkan para pendiri bangsa (Founding Fathers). Sehingga menimbulkan keretakan pada cetakan kebangsaan dan kenegaraan. Dan keretakan inilah yang sesungguhnya dimanfaatkan pihak asing, guna menginfiltrasi liberalisme dan fundamentalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kondisi negara yang tidak sepenuhnya harmoni sebagai akibat dari degradasi nilai-nilai Pancasila tersebut diatas, menjadi sasaran empuk bagi negara lain untuk melakukan manuver-manuver politik dan ideologi keagamaan di kawasan NKRI. Sekiranya kondisi dalam negeri kita stabil dan harmoni; dimana keadilan, kesejahteraan dan kedamaian bagi rakyat terpenuhi secara baik, sebagai wujud implementasi nilai-nilai luhur Pancasila, maka negara lain pasti akan berpikir dua kali untuk mengacak dan mengobok kedaulatan NKRI.
Oleh karena itu, revitalisasi nilai-nilai luhur Pancasila menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan. Dengan menghidupkan kembali kearifan lokal dan modal sosial yang di warisi oleh pendahulu (pendiri bangsa). Untuk itu, semangat kekeluargaan yang merupakan marwah dari Pancasila mutlak digalakkan kembali sebagai langkah awal (starting point) untuk menghidupkan kembali ruh bangsa yang nyaris mati suri.(for_h4mk4@yahoo.co.id)
*Analis Sosial/berdomisili di Takengon