Sebuah Kedamaian di Cot Panglima

KU TERJAGA dari lelap, menjelang tengah malam, tepat di Kilometer 29. Posisi dudukku di bangku depan sebuah angkutan umum L-300 rute Takengon-Banda Aceh, sejajar dengan sang supir. Juni 2011, merupakan kali pertama kulewati Cot Panglima sejak mengalami pelebaran jalan pada Februari 2011 lalu. Antrian kendaraan bermotor panjang mengular jauh ke depan dan di belakang mobil L300 yang kutumpangi. Sepertinya banyak kendaraan yang tersangkut/kepater di depan sana.

Bagaimana tidak, sejak dari Takengon hujan deras mengiringi perjalananku. Sesampainya di Cot Panglima sepertinya hujan belum lama berhenti, masih menyisakan titik-titik air pada tumbuh-tumbuhan di sekitar tempatku berhenti. Di sebelah kanan jalan terdapat beberapa warung kopi, para pengendara dan penumpang kendaraan banyak yang menunggu antrian berakhir di warung tersebut.

Aku menunggu di dalam mobil sembari memperhatikan kelakuan orang-orang di sekitarku. Volume televisi di salah satu warung terdengar nyaring diantara sepinya malam. Film india, sinetron, bola, iklan, ah aku bahkan tidak perlu berada di warung tersebut untuk mengetahui bahwa pemiliknya sedang menukar-nukar channel televisi, mencari hiburan yang sesuai dengan hatinya. Pilihannya jatuh pada Film Bollywood, film yang selalu kuhindari.

Analisaku, jika volume televisi itu bisa mencapai 101, sepertinya pemilik warung akan menekan remote hingga 101. Aku hanya dapat menarik napas panjang saat para pemain film harus berdendang dan menari Lagu India, yang tertanam di benakku jika lagu India diputar adalah para pemain filmnya akan berada diantara rerumputan, pepohonan dan selendang warna-warni. “Sebuah pemikiran yang kuno,” terbesit dalam hatiku.

Diantara “kemeriahan” lagu itu aku membayangkan bagaimana keadaan daerah ini sekitar 8-15 tahun yang lalu. Sepi, gelap dan mencekam. Kendaraan yang berjalan malam harus konvoi alias beriringan satu dengan lainnya jika tidak ingin menjadi sasaran para pencari target. Bahkan lampu di dalam mobilpun harus dihidupkan. Warung-warung kecil seperti itu, tidak pernah ada, apalagi sampai berani memutar kencang volume televisinya. Yang ada hanya suasana ketakutan, kekhawatiran, was-was, ingin rasanya malam cepat berlalu, atau kalau boleh memilih tidak pernah ada malam hari.

Antrian kendaraan perlahan berjalan, lambat, aku sampai pada titik jalan yang banyak membuat kendaraan kepater. Setiap supir kendaraan waspada, jalanannya turunan, licin, salah langkah bisa langsung meluncur ke jurang. Semua pengendara kendaraan bermotor seakan telah saling mengenal satu sama lain. Bahu-membahu jika ada kendaraan yang tergelincir atau tersangkut di beceknya tanah.

Suara para supir terdengar nyaring berbaur dengan decitan ban mobil yang direm atau sebaliknya, memberi kode kepada para pengendara lainnya. Belum lagi petugas keamanan yang mondar-mandir memastikan semua keadaan terkendali. Lampu-lampu kendaraan menyoroti jalanan yang licin. Rasa-rasanya tidak ada yang menyadari bahwa daerah ini, Cot Panglima, dulunya adalah tempat pembuangan mayat.

Mayat-mayat itu bisa jadi merupakan korban konflik Aceh pada masa lampau, atau korban kecelakaan yang tidak dapat dievakuasi oleh Tim SAR. Dahulu daerah ini selalu menelan korban setiap tahunnya. Jangankan malam hari, siang hari saja sering terjadi kecelakaan dan kontak senjata di daerah ini. Dahulu kendaraan L300 hanya berjalan 3 hari sekali, kondisi di jalanan benar-benar mencekam, kendati di siang hari. Kebijakan ini membuatku tak dapat menghadiri pemakaman abangku karena harus menunggu 3 hari kemudian. Ayahku juga melarangku pulang ke Takengon saat itu. Ia takut aku menjadi salah seorang korban di Cot Panglima. Saat itu aku menduduki bangku kelas 2 SMA. Aku hanya dapat menelan kesedihan karena kehilangan anggota keluarga di sudut kamar kost, seraya mendoakan abangku dari kejauhan. Tapi kini lihatlah, warga bahkan lebih memilih berjalan di malam hari, dengan alasan dapat tidur di jalan atau tidak mengantri di Cot Panglima saat masih menggunakan sistem buka-tutup jalan.

2011 lalu kebetulan aku ditugaskan di kampungku sendiri, Takengon. Bersamaku turut serta supervisi dari Kementrian Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pusat. Kutafsir umur pria yang duduk di samping supir ini sekitar 50-an. Menurutnya ini bukan pertama kalinya ia ke Takengon, ia pernah ke Takengon pada tahun 90-an lalu, jadi merasa sudah mengenal kampungku.

Malam itu hujan deras mulai dari Kota Bireuen, aku sudah memprediksi akan terjadi antrian panjang di Cot Panglima. Dugaanku benar, supir kami cukup lihai memilih bagian jalan yang tidak licin walau harus berpacu dengan waktu karena ban mobil berada di tepi jurang. Menit-menit yang menegangkan. Kuperhatikan supervisi, ia hanya diam sambil memainkan kamera pocketnya. Di kemudian hari ia mengakui sendiri  bahwa kendati AC mobil malam itu sangat dingin, namun keringatnya mengucur deras itu sebabnya ia hanya diam saat itu. Aku tersenyum mendengar ceritanya, karena jauh sebelum tiba di Cot Panglima, ia merasa telah mengenal jauh wilayah yang akan kami survey.

Cot Panglima layaknya Daerah Gunung Geurutee jika di Lintas Barat Aceh. Sama seperti Geurutee yang kini menjadi tempat wisata, Cot Panglima juga sering diabadikan oleh para pelintas jalur ini. Apalagi jika baru pertama kali bertandang ke Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Dengan lebar jalan 22 m, diapit oleh jurang dan bukit yang sudah tergerus sepanjang Km 26-29, daerah di sekitarnya potensial sekali berkembang pesat.

Proyek pelebaran jalan itu kini telah terhenti, jalanannya belum diaspal dan dinding-dinding bukit tidak dilapisi batu alam. Bagaimana jika musim hujan tiba? Aku membayangkan jalanan yang licin dan dinding bukit itu berpotensi longsor. Semoga saja itu hanya bayanganku. Tidak ingin rasanya kembali mendengar berita-berita mengerikan di daerah ini. Siapapun dia yang pernah melintasi Cot Panglima pasti menginginkan kedamaian ini terus berjalan. Kedamaian tidak harus didefinisikan dengan tidak adanya baku tembak, namun kedamaian dalam makna luas, seperti  tidak ada lagi rasa khawatir saat musim hujan tiba atau rasa lelah karena terlalu lama mengantri di jalanan.

Seorang teman pernah bertanya padaku. “Tahu tidak kalimat apa yang paling banyak di temukan di Aceh?”. “Apa?” Aku kembali bertanya padanya. “Damai itu indah” ujarnya, aku hanya tersenyum menanggapinya. Ya, damai itu indah.(Ria Devitariska)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.