Rokok dan Tanggungjawab Sosial

Oleh: Indra Setia Bakti*

MANUSIA hidup bermasyarakat, sedangkan di dalam masyarakat terdapat beragam kepentingan. Diantara keberagaman tersebut, sesungguhnya ada kepentingan hakiki yang harus kita jaga bersama, yakni hak untuk memperoleh kehidupan yang sehat.

Salah satu manifestasinya ialah hak masyarakat bukan perokok untuk bebas dari asap rokok. Sudah menjadi tugas kita bersama untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat bukan perokok, yang sebagian besar diantaranya adalah wanita dan anak-anak. Dan ini dapat dimulai dengan kepedulian kita terhadap sesama. Sebab ribuan kali kita menghisap dan menghembuskan asap rokok, ribuan ketidaknyamanan melanda sekitar, dan ribuan risiko kesehatan mengancam masyarakat.

Manusia dan kebebasan. Dua kata yang melekat bagaikan zat dan sifatnya. Kita semua adalah manusia yang membutuhkan jaminan kebebasan (termasuk bebas merokok), tapi bukan kebebasan yang kebablasan. Sebab kebebasan kita dapat menjadi masalah ketika kebebasan tersebut mengganggu kebebasan orang lain.

Sudah sering beredar kabar dari mulut ke mulut tentang kejengkelan seseorang terhadap perokok. Asap rokok dituding telah mengganggu kenyamanan dan ketenangan orang lain. Padahal asap rokok sesungguhnya hanyalah merupakan hukum sebab-akibat, yang kurang etis tentu kebablasan manusianya. Faktanya hampir di setiap pertemuan di Tanah Gayo ini diselingi dengan perilaku merokok. Rokok menemani aktivitas manusia di dalam mobil, sekolah, kantor serta pertemuan keluarga. Mungkin delapan dari sepuluh lelaki Gayo adalah perokok.

Ironisnya, para oknum perokok tersebut seperti tidak memiliki rasa bersalah dengan perilaku buruk mereka. Secara tidak sadar kebebasan mereka telah memperkosa hak orang lain yang bukan perokok. Penulis sendiri sering mengalami kejadian yang tidak menyenangkan tersebut. Salu satunya ketika berada dalam perjalanan pulang-pergi Takengon-Banda Aceh. Sepanjang 2 x 315 km jarak yang ditempuh, sebagian lelaki merokok dengan seenaknya di dalam mobil angkutan.

Di sebagian daerah, pemerintah daerah telah menempuh langkah dengan menelurkan kebijakan kawasan anti rokok di tempat-tempat tertentu. Begitu pula dengan beberapa NGO, telah berupaya mencanangkan dan mensosialisasikan hari anti rokok sedunia. Namun langkah-langkah positif tersebut sepertinya masih belum memperoleh dukungan masyarakat sepenuhnya.

Dilemanya penjualan rokok di negeri ini telah memberikan keuntungan bagi produsen, sekaligus kehidupan bagi para buruh perkebunan dan industri rokok, sementara di sisi lain telah merenggut kualitas kesehatan konsumennya dan kenyamanan masyarakat bukan perokok. Sebuah paradoks yang kebijakannya perlu pertimbangan matang dari pemerintah. Sebab kebijakan yang dipilih pemerintah pasti akan memberikan keuntungan di satu pihak, dan kerugian di pihak lain.

Sementara itu, BKKBN pernah merilis data konsumen rokok di Indonesia, di mana sebagian besar dikonsumsi oleh kalangan menengah ke bawah. Ketidaksadaran menghisap rokok telah menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk gizi keluarga, karena sebagian dana tersedot untuk membeli rokok. Mungkin sudah milyaran batang rokok per tahun dihisap oleh manusia Indonesia, jutaan batang diantaranya dihisap oleh lelaki di Tanah Gayo. Maka penjajahan ekonomi pribadi pun menampakkan wujudnya.

Bagi anak-anak, perilaku merokok pada orang tua paling tidak telah memberikan dua dampak terburuk, yakni dampak kesehatan dan kecenderungan melakukan imitasi. Pertanyaannya siapa yang harus bertanggungjawab? Bagi penulis, para kepala keluarga perokok adalah aktor yang paling bertanggungjawab terhadap perilaku buruk anak-anak mereka. Sebab seorang ayah pada umumnya adalah idola si anak, yang sering dijadikan panutan dalam bersikap dan berperilaku.

Lelaki yang bertanggungjawab, yang benar-benar ‘menunjukkan merahnya’, akan lebih memprioritaskan penghasilan untuk kepentingan gizi dan pendidikan anak-anak mereka, di atas kenikmatan sesaat menghisap rokok. Kita telah sering mendengar para pelajar di Tanah Gayo ini kekurangan puding dan buku. Maka prioritaskan kepentingan mereka, demi masa depan generasi.

Bagaimana pun, faktor eksternal seperti kebijakan kawasan anti rokok yang ditetapkan oleh pemerintah tidak akan benar-benar efektif jika itu tidak dimulai dari kesadaran pribadi si perokok sendiri. Kebanyakan manusia berhenti merokok setelah ajal menjemputnya. Dan itulah kenyataan yang terjadi di dunia fana ini.

Mungkin sebagian perokok tidak terlalu peduli atau pura-pura tidak peduli akan dampak merokok terhadap kesehatan mereka. Namun minimal mereka perlu peduli akan dampak kebiasaan adiktif mereka bagi kesehatan orang lain, terutama sekali kesehatan keluarga mereka sendiri, yang aktivitasnya paling dekat dengan tempat mereka biasa merokok. Semoga kekuatan cintalah yang dapat membimbing mereka ke arah itu. Silahkan merokok dan hormatilah kehidupan bersama.(indra_oh_man@yahoo.co.id)

*Warga Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.