Kaya Nilai Falsafah, Munoling Sebagai Ekskul Siswa

 

MATAHARI seakan bersembunyi di balik awan yang bergelayut hampir di segenap penjuru kota ini. Deretan awan perlahan berarak-arak ke selatan menutupi Bur Birahpayang. Danau Lut Tawar membentuk pola gelombang saat ditampar anggin kencang. Rata-rata kecepatan angin berkisar 30 Knot atau 50 kilometer per jam. Situasi itu menjadi ciri khas pada pergelaran ResamBerume “Munoling”,.

Pagi itu, Ahad 10 Juni 2012, anak-anak tertawa lepas ketika sedang berlarian tanpa alas kaki di Petakan sawah. Ibu-Ibu menyusui memilih datang dengan meningalkan rumah, pemuda-pemudi (beberu-bebujang) siap dengan kostum resam berumenya.  Kakek- Nenek (awan-Anan) dalam satu rasa memadati areal persawahan kampung Toweren, Kecamatan Laut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah.  mereka tak  sabar menunggu waktu pergelaran resam (tradisi) berume “Munoling”, dimulai.

Peralatan  langka kini ditemukan.  resam munuling digelar, empat seladang (gubuk) berbahan dari bambu sebagai tiang, Supu serule dirajut dengan bengkon, kulit nunem sebagai talinya. dan tikar yang dibuat oleh masing-masing kelompok. Perserta Lomba terdiri dari empat kampung di kemukiman Toweren (Toweren Antara, Toweren Uken, Toweren Toa dan Waq Toweren). Tingkat kretifitas urang gayo masa lampau lebih tinggi dari pada kreatifitas urang Gayo saat ini.

Semua mata tertuju pada benda-benda unik dan antik, bahkan sebutan untuk peralatan Resam berume masih asing ditelinga. Untuk disaksikan bersama-sama.

Resam munuling adalah salah satu kegiatan pesta panen padi  bagi Urang Gayo yang setiap tahunnya rutin dilaksanakan. Menariknya proses pelaksanaan panen padi ini dilakukan secara tradisional, didalamnya tersimpan Falsafah, semangat kegotongroyangan (alang tulung berat berbantu). Mengandung aspek pengetahuan, keterampilan, nilai seni, manjemen ketahanan pangan  dan tersimpan kekuatan gerakan moral.

Dari proses membajak sawah, menyemai bibit padi, memotong padi (nuling), mengangkat padi yang sudah dipotong (raden) ke dalam tempat penampungan sementara (seladang) yang disebut (mubinuh), merontokan padi (nejik), serta memisahkan jerami (jempung) dengan padi (nejes), proses pemisahan padi kosong (ampa) dengan padi yang berisi atau (munangin) dalam suatu tempat yang dibuat khusus untuk itu (benyang), semua tahapan-tahapan ini dipandu oleh seorang juru kunci persawahan (Kejurun Belang)  sebagai panglima dari kegiatan persawahan masyarakat.

Resam inilah yang kemudian saat ini ditingalkan oleh masyarakat Gayo. Entah apa penyebabnya. Meminjam istilah Yusra Habib Abdul Gani bahwa Budaya dan tradisi kita sedang berada di persimpangan jalan, tidak bisa mengelak dari arus globalisasi informasi.

Namun paling tidak mampukah kita mempertahankan resam munoling yang kaya akan Falsafah itu? Sejauh manakah komitmen penguasa dengan merumuskan konsep, standarisasi, strategi untuk membangun rasa kebanggan terhadap budaya sendiri?. Bagaimana strategi budaya kita dapat mempengaruhui dan menawarkan sesuatu kepada dunia luar.? Hanya ada catatan resam munoling  yang terselip di hati kalangan muda Gayo.

Sebenarnya resam munoling adalah Sebuah proses pembelajaran tentang kearifan ala Gayo. Yang kaya akan makna filosofi tentang adat dan budaya yang mendahulukan adab. kata Win Ruhdi Bathin

Dalam rangka persiapan Festival Danau Lut Tawar 2013, resam menoling  kedepan hendaknya mendapat arti dengan memberikan sebuah merekomendasi yang ditumpahkan kedalam kegiatan ekstra kurikuler (ekskul) sebagai mautan lokal yang kemudian diajarkan pada siswa disetiap jenjangnya. Semoga. (Maharadi)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.