Oleh. Drs. Jamhuri, MA[i]
AL-QUR’AN yang satu diturunkan dari Tuhan yang Satu, hadis-hadis diucapkan juga oleh Rasul yang satu yaitu Muhammad SAW., tapi dalam memahami keduanya banyak terjadi perbedaan. Perbedaan pada al-Qur’an terjadi dalam memahami isi (ayat), sedang dari segi nuzulnya tidak ada perbedaan pendapat. Artinya semua orang muslim yakin bahwa al-Qur’an itu merupakan firman Tuhan dengan sedikitpun tidak ada keraguan, Sebaliknya ketika satu ayat atau lebih dari al-Qur’an di bacakan, maka ada kemungkinan berbeda dalam memahaminya.
Perbedaan dalam memahami hadis Nabi tidak hanya terjadi terhadap materi dari hadis tersebut, tetapi juga dari segi benar atau tidaknya hadis itu berasal dari Rasul, bahkan dalam pemahaman terhadap apa yang diucapkan Nabi tidaklah begitu penting dalam kajian hadis, tetapi yang lebih penting adalah pembuktian apakan hadis itu benar diucapkan Rasul atau tidak. Karenanya ulama membagi hadis dari segi kepastian sebagai ucapan Rasul sangat tergantung kepada banyaknya para sahabat, tabi’in yang mendengar dan kengetahui hadis tersebut, dalam hal ini ulama mengelompokkannya kepada mutawatir, masyhur dan ahad.
Karena kepastian bahwa hadis metawatir datangnya dari Rasul, maka tidak ada perbedaan dikalangan ulama dan juga tidak banyak bahasannya dalam ilmu hadis. Jumlah hadis yang mutawatir ini menurut ulama tidaklah banyak, hanya puluhan dan itupun berkaitan dengan rukun-rukun. Sedangkan hadis masyhur adalah hadis yang didengar dan diketahui oleh orang banyak juga, namun jumlah orang yang mendengar dan mengetahuinya tidak sampai kepada mutawatir. Sedangkan hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, tiga orang atau lebih namun tidak sampai kepada hitungan mashur. Jumlah hadis ahad ini banyak dan hampir semua hadis yang kita hafal dan kita ketahui selama ini tergolong kepada ahad. Sehingga hampir tidak mungkin tidak ada perbedaan pendapat.
Contoh perbedaan pendapat dalam mamahami makna al-Qur’an : Dalam ayat disebutkan “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri selama tiga kali quru’.”
Makna kata quru’ dalam ayat ini adalah suci atau haidh, dan kedua kata ini tidak mungkin dapat bersatu. Artinya kedua keadaan suci dan haidh berbeda, bila seorang wanita dalam keadaan suci maka ia tidak haidh dan sebaliknya ketika sedang haidh maka ia tidak suci.
Lalu akibat dari kata-kata ini dalam prakteknya adalah : seorang wanita yang di talak oleh suaminya harus dalam keadaan suci (talak sunni), sehingga bila memaknai quru’ dengan suci maka hitungannya suci (masa talak), lalu haidh (I), lalu suci (I), lalu haidh (II), lalu suci (II), lalu haidh (III), lalu suci (III). Maka nikah selanjutnya baru boleh dilakukan setelah suci (III) pada masa haidh (IV) bagi mereka yang memaknai quru’ dengan suci. Sedangkan bagi mereka yang memaknai quru’ dengan haidh, maka si perempuan boleh menikah pada suci (III). Perbedaan waktu untuk boleh menikah bagi mereka yang memaknai quru’ dengan arti suci lebih lama dibanding dengan waktu kebolehan menikah bagi mereka yang memaknai quru’ dengan haidh.
Itu salah satu perbedaan dalam memahami makna kata yang ada dalam al-Qur’an. Perbedaan lain dalam hubungan antara al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Al-Qur’an memerintahkan ketika shalat untuk membaca ayat yang mudah “Faqra’uu maa tayassara minal Qur’an”, (bacalah apa yang mudah dari al-Qur’an).
Kata “ما” (apa) yang terdapat dalam ayat tersebut menunjukkan kepada “umum”, artinya boleh membaca surat dan ayat manapun dari al-Qur’an ketika shalat, tergantung kepada kemudahan orang yang menghafalnya. Ada di antara orang yang merasa mudah menghafal surat al-lkhlash, ada yang merasa mudah surat an-Nas, ada yang merasa mudah surat al-Falaq atau surat-surat lainnya. Berarti berdasarkan petunjuk ayat ini tidak harus surat al-Fatihah.
Nabi menyebutkan dalam hadisnya “La shalata liman lam yaqra’ bi fatihatil kitab” (Tidak shah/sempurna shalat bagi orang yang tidak membaca fatihah). Nabi bermaksud melalui hadis ini bahwa tidak ada ibadah shalat baik wajib atau sunat bila tidak membaca fatihah. Ulama sepakat bahwa hadis ini ahad dan shahih, karenanya ulama sepakat juga untuk mengamalkannya, tetapi mereka berbeda bagaimana kekuatan posisi pengamalannya. Imam Syafi’i memahami hadis ini shahih dan sebagai takhshish dari ayat di atas, pentakhshishan ayat dilakukan karena ayat itu umum dan zhanni yang mengharuskan takhshish dan mengamalkan hadis, sehingga tidak ada pilihan ayat yang dapat dibaca ketika shalat selain dari surat fatihah.
Imam Hanafi berpendapat bahwa ayat al-Qur’an adalah qath’i, karenanya diamalkan sebagaimana adanya dan hukum mengamalkannya adalah fardhu. Sedang hadis tentang bacaan fatihah yang dijadikan pentakhshish ayat menurut Syafi’i dipahami sebagai zhanni oleh Imam Hanafi, karenanya ia tidak boleh mentakhshish ayat yang qath’i. Namun sebagaimana telah disebutkan, beliau sepakat atas wajibnya mengamalkan hadis shahih, untuk itu Imam Hanafi tidak mau meninggalkan al-Qur’an yang qath’i dan tidak juga mau meninggalkan hadis yang shahih sehingga beliau mengamalkan kedua-duanya (ayat dan hadis) dengan metode jami’. Berarti menurut keduanya bacaan fatihah dalam shalat adalah wajib.
Contoh perbedaan lain dalam masalah wudhuk. Allah berfirman :
“Iza kuntum ilash shalah faghshilu wujuhakum, wa aydiyakum ilal marafiq, wamsahu bi ru’usikum, wa arjulakum ila ka’baini” (Apabila kamu hendak mendirikan shalat, basuhlah mukamu, dan basuhlah tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu serta basuhlah kakimu sampai kedua mata kaki)
Ayat ini memerintahkan semua orang yang hendak shalat untuk berwudhuk dengan cara membasuh muka, membasuh tangan sampai siku, menyapu kepada dan membasuh kaki sampai dua mata kaki. Perintah dalam ayat ini cukup jelas dan sangat mudah di pahami, sebenarnya tanpa penjelasan dari hadis juga semua orang dapat melaksanakannya, karena semua orang tahu cara membasuh muka, tangan, menyapu kepala dan membasuh kaki, apalagi ayat ini jelas menyebutkan dengan batasannya sekali gus. Dan kita percaya bahwa seseorang tidak berhenti membasuh sebelum anggota yang dibasuh itu bersih, dan orang juga tidak mau berlama-lama membasuh ketika apa yang dibasuh itu telah bersih.
Tetapi bersih atau tidak bersih untuk berhenti membasuh bukan suatu ketentuan yang yang dikehendaki, buktinya Rasul ketika melaksanakan perintah Allah tersebut membasuh dan menyapu anggota wudhuknya tidak pernah lebih dari tiga kali dan juga tidak harus tiga kali. Pernah satu kali dan juga dua kali, kendati menurut sebagian ulama periwayatan hadis tiga kali lebih banyak.
Nabi SAW. melalui hadis fi’linya kita ketahui :
“Tawadhdha’a Rasulullah SAW tsalatsan-tsalatsan” (Nabi berwudhu’ tiga-tiga kali).Kali lain Nabi melakukan dua-dua kali “Tawadhdha’a Rasulullah SAW marratani-marratani” (Nabi berwudhu’ dua-dua kali). Kali lainnya lagi Nabi melakukannya satu-satu kali “Tawadhdha’a Rasulullah SAW marratan-marratan” (Nabi berwudhu’ satu-satu kali).
Tiga hadis ini shahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah, sehingga ketika melakukan wudhu’ boleh membasuh anggota wuhdu’ satu kali atau dua kali atau juga tiga kali. Sebagian ulama seperti Syafi’i mengamalkan yang tiga-tiga kali karena menurut beliau bahwa hadis tiga-tiga kali lebih banyak perawi yang meriwayatkannya, dan ia juga mengakui keshahihan hadis dua kali dan satu kali. Imam yang lain mengamalkan hadis pembasuhan anggota wudhu’ satu-satu kali dan juga mengakui bahwa hadis tiga-tiga kali dan dua-dua kali adalah shahih.
Demikain diantara banyaknya sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam memahami Hukum Islam, dan kalau kita kaji dari sudut perbandingan Mazhab, maka kersemua pendapat yang beragam itu adalah benar dan shah untuk diamalkan.