Mengukur Keimanan dengan Keberagaman Awal Ramadhan

Drs. Jamhuri, MA[*]

Sering terjadi perbedaan pendapat dan pelaksanaan ibadah ‘id, utamanya ‘idul fitri. Perbedaan ini terjadi disebabkan perbedaan dalam berpegang kepada hadis Nabi, sebagian mereka berpegang dengan hadis ru’yah dan sebagian lagi berpegang dengan hadis hisab. Keduanya hadis ini shahih dan wajib di amalkan, namum terkadang keduanya dapat diamalkan sekaligus, tetapi terkadang juga satu dari hadis tersebut.

Kemampuan ru’yah dalam melihat  hilal adalah 1,5 derajat, di bawah hitungan ini belum terlihat. Namun ketika menggunakan hisab angka 1,5 derajat itu telah ada, karenanya mereka yang menggunakan hisab mengatakan hilal telah ada dan mereka berkewajiban berhari raya dan haram berpuasa, dan ketika hilal itu 1,5 derajat atau kurang  di awal ramadhan menurut hitungan hisab, maka mereka yang berpegang dengan hisab ini wajub berpuasa.

Dalam pelaksanaannya antara hisab dengan ru’yah tidak selalu terjadi perbedaan, sebagai contoh ramadhan tahun ini. Kedua kelompok hisab dan ru’yah berbeda dalam menghitung masuknya ramadhan, karena itu dalam hitungan hilal pada akhir ramadhan hilal akan nampak lebih besar. Maka pada saat itu akan terjadi persamaan hari ‘idul fitri.

Sudah menjadi kelaziman dikalangan (sebagian kecil) masyarakat awam bahkan masyarakat yang berpendidikan, ketika hari raya berbeda. Mereka memilih pendapat kelompok mana yang lebih cepat berhari raya dan mereka tidak puasa pada hari itu, kendati sebagian mereka tidak ikut berhari raya (shalat ‘Id). Namun kejadian ini berbalik ketika terjadi perbedaan dalam memulai bulan ramadhan, hanya sebagian kecil memilih mulai pada hari yang lebih cepat.

Fenomena beribadah seperti ini terkadang luput dari pemikiran dan pembicaraan orang-orang yang mempunyai pengetahuan untuk itu, sehingga seolah ada pembiaran terhadap amal ibadah masyarakat, apakah mereka mau beribadah puasa lebih cepat atau lambat, seharusnya ada sebuah pengetahuan bagi masyarakat dalam menentukan pilihan kapan ibadah wajib mulai dan kapan berakhirnya. Karena dalam kajian Ilmu Hukum Islam puasa adalah kewajiban sebulan penuh yang tidak boleh kurang dan juga tidak boleh lebih walaupun setengah hari.

Tidak menjadi permasalahan bagi keluarga yang mengelompokkan diri mereka kepada dua pemahaman yang berkembang, sebagian mereka mengelompokkan diri kepada Muhammadiyah (kaum muda) dan sebagian lagi mengelompokkan diri kepada NU (kaum tua), sehingga mereka dalam kasus hilal ini pasti dalam memilih dan menentukan sikap. Sedang bagi masyarakat yang tidak mengetahui apakah dirinya harus memilih Muhammadiyah atau NU merasa kesusahan dengan keberagaman tersebut, yang sebenarnya keberagaman tersebut adalah kebenaran.

Di satu sisi ketidak tahuan harus memilih diantara kedua kebenaran, di sisi yang sama juga merasa bingung apakah boleh memilih NU apa mulai masuknya ramadhan dan memilih Muhammadiyah pada saat melaksanakan ‘idul fithri, atau sebaliknya memilih Muhammadiyah ketika memulai ramadhan dan memilih NU ketika ber’idul fithri. Atau juga merupakan keharusan menetukan Muhammadiyah dalam memulai bulan ramadhan dan Muhammadiyah dalam ber’idul fithri, atau keharusan juga memulainya dengan NU dan ber’idul fithri dengan NU juga.

Lalu apakah artinya taqlid dan ittiba’ dalam ilmu hukum Islam. Ulama sepakat memaknai taqlid dengan mengikuti pendapat dengan tidak mengetahui alasan atau dalil dari perbutan yang dilakukan, sedang ittiba’ adalah mengikuti pendapat dengan mengetahui alasan atau dalil dari apa yang dilakukan. Untuk kasus masuknya bulan ramadhan dan awal syawal mebanyakan masyarakat bertaqlid kepada pendapat yang ada, dan sebagiannya juga ada yang ittiba’. Ketaqlidan mereka boleh jadi karena organisasi keagamaan yang diikuti NU atau Muhammadiyah, tapi ada juga sebagian masyarakat yang ittiba’ dengan oraganisasi kedua organisasi tersebut.

Masih kepada mereka yang tidak mengetahui organisasi apa yang harus diikuti, dan mereka tidak tahu mau taqlid kemana, akhirnya mereka mengikut ketetapan pemerintah. Sedang bagi mereka yang mengetahui keberadaan dua hadis yang berbeda dan keduanya benar, mungkin agak sulit menentukan pilihan, karena itu di sini penulis memberi masukan agar dalam ittiba’ harus konsisten untuk satu masa perbuatan.

Seagai contoh kasu perbedaan masuknya awal ramadhan tahun ini. Bagi mereka yang mengamalkan hadis rukyah kendaknyalah mengamalkannya juga untuk penentuan bulan syawal, demikian juga dengan mereka yang mengamalkan hadis hisab hendaklan konsisten dengan apa yang telah di amalkan yaitu penentuan ramadhan dan syawal dengan hisab. Namun bila ingin berumah dan mengamalkan hadis yang berbeda karena juga hadis Nabi, tetap dibenarkan untuk waktu yang lain. Misal : Tahun ini mengamalkan hadis hisab untuk penentuan masuknya ramadhan dan awal syawal dan untuk tahun dengan berpegang dengan hadis rukyah untuk penentuan hilal ramadhan dan syawal.



[*] Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Araniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.