Oleh Johansyah*
Tidak terasa, tahun ini kita kembali diberi kesempatan untuk menunaikan ibadah puasa. Rasanya baru saja berlalu Idul fitri dan Idul Adha tahun lalu. Allah masih memberikan waktu dan mengundang kita menjadi peserta pendidikan dan pelatihan (Diklat) ramadhan. Untuk itu bersyukurlah atas anugerah besar ini, sebab banyak di antara kita yang tidak dapat lagi menikmati indahnya sahur dan buka puasa bersama keluarga karena telah dipanggil oleh Sang Khalik untuk kembali kepada-Nya.
Kehadiran ramadhan patut kita sambut dengan suka cita, sebab ramadhan adalah bulan yang agung. Pada akhir bulan Sya’ban Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Wahai semua manusia, telah datang kepadamu bulan yang agung, penuh keberkahan, di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Diwajibkan padanya puasa dan dianjurkan untuk menghidupkan malam-malamya. Siapa yang mengerjakan satu kebaikan (sunah) pada bulan ini, seolah-olah ia mengerjakan satu kewajiban di bulan-bulan lain. Siapa yang mengerjakan ibadah wajib seakan-akan mengerjakan tujuh puluh kali kewajiban di bulan-bulan lain“. (H.R. Muslim dari Salman).
Ramadhan adalah wahana pendidikan dan pelatihan spiritual. Dalam bulan ini orang yang menunaikan ibadah puasa dilatih untuk menahan diri (shiam) dari makan dan minun dan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Tentunya, esensi dari puasa bukanlah puasa makan minumnya, akan tetapi yang lebih penting adalah upaya membelenggu sifat-sifat kehewanan (bahimiyah), nafsu, dan sifat setan dalam diri seseorang untuk kemudian berupaya mengekspresikan potensi-potensi kebaikan dengan maksimal melalui amal nyata.
Selama sebelas bulan lamanya, umumnya orang disibukkan dengan urusan dunia dan kebutuhan dan keinginan fisik. Mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mencari uang untuk membangun rumah dan membeli mobil mewah, dan untuk pemenuhan kebutuhan duniawi lainnya. Andai saja puasa bukanlah perintah wajib, mungkin sebagian besar manusia akan terus lalai dengan alunan pemenuhan keinginan tersebut, sementara lupa menyisihkan waktunya untuk menata dan memenuhi kebutuhan jiwanya.
Ruhani atau jiwa manusia, sebenarnya sama dengan jasmani yang memiliki kebutuhan. Kebutuhan ruhani adalah sifat-sifat ketuhanan yang sebenarnya sudah bersemayam dalam setiap sanubari manusia. Pemenuhan kebutuhan ruhani ini sebenarnya sangat mudah yakni dengan melakukan sebanyak-banyaknya kebaikan amal. Semakin banyak seseorang berbuat baik, maka sebenarnya ia telah berusaha untuk memenuhi kebutuhan ruhaninya.
Puasa di bulan ramadhan sesungguhnya merupakan wahana pelatihan seseorang menuju manusia yang ideal sesuai dengan ekspektasi alqur’an, yaitu menjadi hamba yang bertakwa (QS. al-Baqarah: 183). Inilah jawaban yang sesungguhnya ketika ada yang menanyakan untuk apa sebenarnya puasa itu? Untuk mengasah potensi kemanusiaan kita sehingga secara batin dapat menjadi manusia sesusungguhnya sesuai cita-cita alqur’an.
Tentunya dalam bulan ramadhan, peluang manusia untuk berbenah diri lebih besar dari bulan-bulan lainnya. Hal ini tidak lain karena dalam bulan ramadhan rambu-rambu amal lebih diperketat penerapannya kepada manusia, seakan-akan ada satu kontrak individu dengan Allah. Ada satu sanksi yang simpel akan tetapi berat, diberlakukan dalam puasa, yaitu batalnya puasa apabila seseorang bersinggungan dengan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Inilah yang kemudian membuat orang yang menunaikan ibadah puasa lebih berhati-hati ketika ingin melakukan sesuatu, karena takut puasanya sia-sia.
Barangkali ketika di luar ramadhan, di antara kita terkadang bebas tanpa beban untuk mengoceh kelemahan orang lain secara jama’ah, atau sebagai pedagang kita gemar mengurangi takaran, sebagai pegawai kita sering memungut biaya administrasi yang sebanarnya tidak perlu dipungut, sebagai atasan terkadang seseorang sering memarahi bawahannya karena pekerjaannya kurang beres. Nah, dalam ramadhan semua tindak yang kurang terpuji itu sejatinya mampu ditepis, bahkan dihilangkan karena jika tidak puasa kita hanyalah puasa tingkat rendah (awam) yang hanya mampu menahan diri dari makan dan minum.
Untuk itu dengan adanya kontrak batin dengan Allah agar puasa kita diterima, maka kebiasaan buruk itu harus kita penjara dalam batin kita, selanjutnya menggatinya dengan menampilkan energi dan potensi kebaikan secara maksimal. Marilah ganti kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik; i’tikaf dimasjid, shalat tarawih di malam hari, memperbanyak baca alqur’an, memperbanyak sadakah, dan amalan-amalan sunat lainnya yang dianjurkan Rasulullah Saw.
Bulan ini memang bulan istimewa, di mana amal kebaikan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Tentu bulan di mana ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan ini akan lewat begitu saja dan tidak akan bernilai sekiranya orang yang menunaikannya tidak mengikuti rambu-rambu lalu lintas alqur’an dan hadits. Harus disadari bahwa yang membuat bulan ini agung sebenarnya adalah amal kebaikan. Tanpa kebaikan semuanya sama sekali tidak bermakna dan agung.
Menjadi Lulusan Diklat Ramadhan
Lebih kurang satu bulan ke depan orang-orang yang menunaikan ibadah puasa akan menjadi lulusan diklat ramadhan. Indikator keberhasilan diklat ramadhan dapat dilihat dari meningkat atau tidaknya intensitas amal kebaikan yang dilakukan seseorang, baik menyangkut tentang hablum minallah maupun hablumminannas nya.
Semua kegiatan positif yang dilakoninya dalam bulan ramadhan belumlah menjadi tolak ukur kesalehan seseorang jika tidak memberi efek positif terhadap amalnya pasca ramadhan. Akankah dia masih gemar jema’ah ke masjid atau bahkan hanya di bulan ramadhan, akankah ia masih niatan untuk mengkhatam alqur’an setelah di ramadhan sempat khatam beberapa kali, dan masihkan dia mempertahankan amal kebaikan lainnya pasca ramadhan berlalu. Ini adalah PR besar bagi lulusan diklat ramadhan.
Pada hakikatnya, memang kita dituntut untuk mampu mempertahankan apa yang kita perbuat dan kita peroleh ketika ramadhan. Amal kebaikan kita tidak terikat dengan waktu dan tempat tertentu. Sebab Allah menghimbau kita agar selalu bertakwa kepada Allah kapan dan di manapun, apakah dalam bulan ramadhan atau tidak, tidak ada batasan sama sekali.
Gelar takwa yang disematkan pada lulusan diklat ramadhan akan sangat bergantung pada konsistensi amalnya pasca ramadhan, sekiranya tidak meningkat, paling tidak dapat mempertahankan apa yang telah diperbuatnya saat di bulan ramadhan. Tentunya orang yang bertakwa itu adalah mereka yang bepikir dan berbuat berdasarkan ketentuan Allah sehingga setiap amal yang terpancar akan selalu berbuah manfaat, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
—
Johansyah, Pemerhati sosial keagamaan.