Oleh. Drs. Jamhuri, MA[i]
Shalat tarawih merupakan ibadah sunat yang dilaksanakan pada setiap malam di bulan ramadhan, penamaannya disamping shalat tarawih juga disebut dengan qiyamul lail atau juga witir, biasa dilakukan sesudah shalat isya. Shalat ini pada masa Rasulullah sampai kepada masa Abu Bakar shiddiq dilakukan secara individu (secara fardiah) kemudian ketika masa khalifah Umar Ibn Khatab diperintahkan untuk berjamaah dan ini dinyatakan sebagai bid’ah hasanah. Baik secara fardiah ataupun jamaah shalat ini tetap dilakukan dengan rakaat yang ganjil.
Bila kita telusuri hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan shalat tarawih ini, ditemukan keberagaman dalam pelaksanaannya, pernah dilakukan 5, 7, 9 atau 11 rakaat dan juga pernah dilakukan dengan rakaat labih dari jumlah 11, yaitu 23 atau bahkan lebih. Yang jelas kesemuanya adalah pelaksanaan ibadah sunat dan pernah dikerjakan oleh Nabi dengan jumlah rakaat yang tidak ketat.
Dalam perjalanan sejarah ketika syari’at ibadah tarawih ini menjadi fikih yakni dilaksanakan dengan aturan kesepakatan yang ketat baik dari segi waktu ataupun jumlah rakaat, dan pelaksanaannya seolah harus dengan cara berjamaah dan di tempat ibadah (masjid atau menasah), maka membuat sebagian orang lupa yang mana sebenarnya syari’at dari pelaksanaan tarawih itu.
Satu pertanyaan yang diajukan oleh seorang Imam Kampong/Desa yang juga menjadi imam shalat kepada saya, dan pertanyaan tersebut harus harus dijawab. Pertanyaannya adalah : Ketika ia memulai shalat tarawih pada malam pertama dan kedua ramadhan, ia menjadi imam dengan jumlah rakaat 23, Kemudian ia berencana untuk menggantinya dengan 11 rakaat (karena selama ini ia selalu membawakannya dengan 11 rakaat). Sedang untuk imam yang rakaat 23 ada imam yang lain yang kebetulan pada malam tersebut berhalangan untuk datang.
Sebenarnya untuk masyarakat Kampong/Desa tidak mempermasalahkan apakah shalat itu 11 rakaat atau 23 rakaat, karena untuk sebagian yang melaksanakan 11 rakaat, bila imamnya 23 rakaat maka ia akan berhenti pada hitungan 8 rakaat dan akan menunggu shalat sunat witir bersama atau ia akan laksanakan shalat witir secara fardiah (tidak berjamaah). Dan juga bersikap sama bagi masyarakat yang melaksanakan shalat tarawih 23 rakaat, mereka membiarkan imam yang shalat 11 rakaat untuk witir dan selanjutnya mereka lanjutkan kepada 23 rakaat.
Ketika pertanyaan tersebut harus saya jawab, maka saya katakan bahwa untuk shalat tarawih syari’atnya adalah shalat tarawih itu sendiri, boleh dilakukan secara beragam. Namun ketika menjadi fikih maka sebaiknya keberagaman itu untuk sebagian orang tidak boleh ada bahkan sampai dijadikan sebagai sebuah pertentangan. Karena itu saya katakan kepada tengku Imam yang bertanya, kalau tengku ingin mengerjakan shalat tarawih dengan 11 rakaat setelah pada malam pertama dan kedua dengan 23 rakaat boleh, tetapi tidak boleh menjadi imam shalat. Karena hal tersebut akan menjadikan tengku tidak konsisten dalam memimpin ibadah masyarakat, boleh jadi untuk sebagian orang yang memahami keberagaman dalam dalil membenarkan, namun bagi mereka yang tidak mengakui adanya keberagaman akan menjadi kegelisahan dalam beribadah.
Itulah satu bukti tingkat kepahaman masyarakat terhadap syariat yang menjadi fikih dalam pengamalan ibadah, karena itu perlu adanya kajian dan sosialsasi kepada masyarakat tentang penentuan yang mana sebenarnya syari’at dan yang mana fikih dari sebuah ibadah. Dan untuk pemimpin (imam) dalam ibadah masyarakat diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang sari’at dan fikih.
Hal ini dapat mengurangi kegelisahan dalam beribadah dan akan menambah kekhusu’an, karena inti dari ibadah adalah khusu’ dan khusu’ akan datang secara sempurna apabila kita beramal dengan mengetahui siapa yang menyuruh kita beribadah, bagaimana bentuk ibadah yang diperintahkan serta bagaimana kemapuan kita dalam melaksanakannya.